Kopi TIMES

Polarisasi Sosial, Kenapa Masih Ada?

Kamis, 11 Juli 2024 - 15:15 | 99.25k
Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Sosial adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat atau yang berkenaan dengan kepentingan umum.

Dalam kehidupan sosial mengandung pola-pola tertentu yang ditunjukkan melalui sikap masyarakat terhadap suatu persoalan atau fenomena yang sedang terjadi.

Advertisement

Kondisi semacam itu dapat disebut sebagai bentuk dari polarisasi sosial, polarisasi sosial sendiri adalah suatu proses terbagi atau terpisahnya masyarakat atau kelompok-kelompok masyarakat dalam hal nilai-nilai, keyakinan, atau identitas mereka.

Kondisi semacam itu sering kali terjadi di saat perbedaan-perbedaan yang ada di antara masyarakat atau kelompok-kelompok tersebut diperbesar, dengan kata lain mereka saling membangun tembok pembatas sehingga tercipta perbedaan secara tajam antar dua kelompok atau lebih terkait perspektif mereka terhadap isu-isu politik, budaya, dan isu-isu sosial lainnya.

Apabila ditelaah, relevansi kondisi polarisasi sosial di Indonesia saat ini disebabkan oleh isu-isu politik yang tak kunjung padam sehingga berakar kemana-mana.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Disaat orang bertanya, kok bisa terjadi hal semacam itu? Jawaban paling utama yaitu tidak semua orang memiliki pola pikir yang sama atas apa yang mereka yakini, atau tidak semua orang mau untuk memposisikan apa yang mereka yakini pada situasi-situasi tertentu sehingga terjadi tolak belakang antara individu yang satu dengan individu yang lain atau antar kelompok.

Kemudian era digital saat ini menjadi factor pendukung utama yang sangat mengkompori terbentuknya polarisasi sosial. Di era sekarang dapat dipastikan orang-orang yang terpolarisasi, pertama, telah mampu menggunakan teknologi informasi (minimal gadget).

Kedua, mereka mulai beranjak pada penggunaan media sosial, bukan hanya WhatsApp yang menjadi media untuk bertukar kabar dengan sanak keluarga dan rekan, tetapi mereka sudah pada tahap penggunaan media sosial yang menyediakan informasi dari seluruh penjuru dunia seperti Tiktok, instagram, youtube, facebook, dan lain sebagainya.

Ketiga, masyarakat yang terpolarisasi cenderung memposting informasi-informasi politik yang sesuai dengan apa yang mereka yakini saja, atau tergiring oleh opini media masa yang keliru atau hoax, dan mengabaikan atau tidak mau mencari tau lebih dalam atau memvalidasi terkait informasi khususnya isu-isu politik yang mereka terima.

Hal seperti ini didukung pula dengan algoritma media sosial yang mana akan menampilkan informasi berdasarkan pihak-pihak yang aktif bermedia sosial, akun yang memiliki banyak followers, atau pihak-pihak yang memiliki super power sebagai public figure.

Akibatnya aliran informasi yang terima oleh masyarakat melalui sosial media hanya berasal dari satu pihak atau beberapa pihak saja yang mana sangat mungkin mereka adalah satu kelompok. Atau dengan kemungkinan lain, muncul informasi dari beberapa pihak yang berbeda keyakinan/kelompok, sehingga saat mereka menerima informasi yang berbeda atau bertentangan dengan keyakinan politiknya langsung tersulut emosi atau tidak bisa menerima akan hal tersebut, seperti dengan adu komentar atau saling stitch konten video.

Dari informasi yang mereka dapat, individu atau kelompok yang terpolarisasi akan melakukan repost atau memposting ulang seperti di WhatsApp story, whatsapp grup, dan lain sebagainya terkait konten-konten politik yang sealiran dengan keyakinannya.

Dari sikap seperti itu dapat menimbulkan polarisasi sosial antara mereka yang memposting dengan individu lain yang tertaut dengannya, seperti ada rekan dikontak whatsapp yang melihat postingan tersebut sehingga ikut tersinggung dan ketika bertemu secara nyata mereka langsung saling menghindar seakan beda kubu karena perbedaan pilihan politiknya.

Hal ini juga berefek terhadap munculnya ujaran kebencian secara simultan terhadap kelompok yang berbeda pandangan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kondisi polarisasi sosial apabila dibiarkan begitu saja lama kelamaan akan berpengaruh terhadap jati diri masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai bangsa demokratis serta menjunjung nilai-nilai mufakat khususnya bagi generasi muda sebagai aset bangsa.

Harus ada langkah taktis yang harus dilakukan untuk meredam tingginya polarisasi sosial yang terjadi Indonesia.

 Menumbuhkan sikap skeptis atau tidak mudah percaya dengan informasi politik yang didapat melalui konten di media sosial harus dibudayakan, khususnya bagi generasi millennial dan generasi Z, yang mana selaku pemeran utama penggerak kehidupan bangsa.

Kedua, kita sebagai aset Negara yang terdidik dan memiliki pola pikir terstruktur harus mampu membuktikan sebagai SDM Indonesia yang berkualitas dengan mendedikasikan diri sebagai penyedia informasi (content provider) sekaligus verifikator informasi (fact-checker).

Ketiga, kita harus mampu berfikir secara komperhensif, tidak hanya memikirkan kepentingan politik sesaat, tetapi juga harus bisa berfikir jangka panjang. Apabila individu mampu berfikir menyeluruh dan jangka panjang, maka kita akan terhindar dari sikap yang akan menjurus pada polarisasi sosial, sehingga akan berkontribusi baik untuk esensi dan eksistensi Negara Indonesia sebagai Negara demokratis. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES