Kopi TIMES

Hak Cuti Pasca UU Kesejahteraan Ibu dan Anak

Senin, 15 Juli 2024 - 10:36 | 64.92k
Johan Imanuel, Advokat dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan
Johan Imanuel, Advokat dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Terbitnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (UU Kesejahteraan Ibu dan Anak) memperluas hak cuti bagi pekerja yang melahirkan dan hak cuti bagi pekerja yang menjadi pendampingnya.

Yang menjadi pertanyaan, apakah hak cuti tersebut dapat diterapkan dalam pelaksanaan hubungan kerja sejak undang-undang tersebut berlaku? Tentunya, sejak diundangkan, undang-undang tersebut berlaku. UU Kesejahteraan Ibu dan Anak berlaku sejak tanggal diundangkan (Pasal 46 UU Kesejahteraan Ibu dan Anak), yaitu tanggal 2 Juli 2024, sehingga berlaku tanpa tenggang waktu ke depan.

Advertisement

Namun, jika dicermati, beberapa ketentuan akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah, yaitu Pasal 16 sampai dengan Pasal 36 UU Kesejahteraan Ibu dan Anak, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 37 UU Kesejahteraan Ibu dan Anak yang menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan, pelaksanaan, pembinaan, pengawasan, dan evaluasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Sedangkan mengenai ketentuan hak cuti bagi pekerja yang merupakan ibu melahirkan dan pendampingnya (suami dan/atau keluarganya), menurut hemat penulis, tanpa menunggu peraturan pemerintah sebagai pelaksana UU Kesejahteraan Ibu dan Anak sudah dapat dilaksanakan.

Hak cuti yang dimaksud dapat dicermati dalam Pasal 4, 5, dan 6 UU Kesejahteraan Ibu dan Anak. Dalam Pasal 4 ayat (3), menyebutkan cuti melahirkan dengan ketentuan paling singkat 3 (tiga) bulan pertama dan paling lama 3 (tiga) bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan wajib diberikan oleh pemberi kerja sesuai Pasal 4 ayat (4) UU Kesejahteraan Ibu dan Anak.

Kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter tersebut dalam Pasal 4 ayat (5) UU Kesejahteraan Ibu dan Anak meliputi: ibu yang mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan/atau komplikasi pasca persalinan atau keguguran; dan/atau anak yang dilahirkan mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan/atau komplikasi.

Selanjutnya, dalam Pasal 5 ayat (1) UU Kesejahteraan Ibu dan Anak disebutkan setiap ibu tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan tetap memperoleh haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan serta berhak mendapat upah: secara penuh untuk 3 (tiga) bulan pertama; secara penuh untuk bulan keempat; 75% (tujuh puluh lima persen) dari upah untuk bulan kelima dan bulan keenam sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Ibu dan Anak.

Mengenai hak cuti pekerja sebagai pendamping ibu melahirkan sebagai suami dan/atau keluarganya diatur dalam Pasal 6 UU Kesejahteraan Ibu dan Anak. Untuk pekerja yang merupakan suami, maka berhak mendapatkan cuti pendampingan istri: masa persalinan, selama 2 (dua) hari dan dapat diberikan paling lama 3 (tiga) hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan; atau saat mengalami keguguran, selama 2 (dua) hari sebagaimana diatur pada Pasal 6 ayat (2) UU Kesejahteraan Ibu dan Anak.

Selain itu, pekerja tersebut diberikan waktu yang cukup untuk mendampingi istri dan/atau anak dengan alasan: istri yang mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan/atau komplikasi pasca persalinan atau keguguran; anak yang dilahirkan mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan/atau komplikasi; istri yang melahirkan meninggal dunia; dan/atau anak yang dilahirkan meninggal dunia, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (3) UU Kesejahteraan Ibu dan Anak.

Untuk diketahui, dalam penjelasan Pasal 6 UU Kesejahteraan Ibu dan Anak disebutkan cukup jelas sehingga menurut hemat penulis, hak cuti suami/pendampingnya tetap memerlukan kesepakatan sehingga hal ini memang diperlukan penyesuaian pada perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan/atau perjanjian kerja bersama agar tidak multi-tafsir dan tidak berpotensi diperdebatkan apabila malah menjadi perselisihan di kemudian hari.

***

*) Oleh : Johan Imanuel, Advokat dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES