Kopi TIMES Info Haji 2024

Saintisme, Spiritualitas, dan Haji Berdampak

Minggu, 21 Juli 2024 - 17:58 | 32.61k
Akh. Muzakki Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya; Anggota Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024.
Akh. Muzakki Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya; Anggota Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024.
FOKUS

Info Haji 2024

Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – “Betulkah makin saintifik, makin emoh spiritualitas haji?” Pertanyaan ini pernah mengemuka di beberapa orang saat berhaji di Arab Saudi. Pernah beredar di kalangan mereka. Juga pernah menjadi diskusi menarik di sebuah acara tasyakkur haji. Kala itu, tersembul pernyataan dari seseorang yang hadir: “Untung mau berhaji. Biasanya, orang makin ilmuwan, makin tidak mengenal dunia spiritual.” Berkembanglah pembicaraan lebih lanjut di sejumlah kalangan.

Pernyataan terakhir yang disebut di atas lalu penting untuk diurai lebih lanjut ke dalam substansi mendasar. Rumusannya bisa diungkapkan ke dalam pertanyaan seperti tersebut di atas: “Betulkah makin saintifik, makin emoh spiritualitas haji?” Atau dengan bahasa yang lebih sederhana, “Betulkah makin pintar, makin emoh spiritualitas haji?” Lalu jika diungkapkan dengan rumusan balikan, akan muncul pernyataan dampingan begini: makin tidak saintifik, makin suka pada spiritualitas haji. Atau, makin tidak saintifik, makin gandrung pada spiritualitas haji.

Advertisement

Penting dijelaskan di awal dua istilah kunci: keilmiahan dan spiritualitas haji. Ada istilah lain, sebetulnya: saintisme. Hanya saya lebih senang menggunakan istilah “keilmiahan” daripada “saintisme”. Karena istilah yang disebut terakhir ini biasanya digunakan secara peyoratif. Cenderung untuk merendahkan sains. Dengan cara ditabrakkan kepada keyakinan agama atau budaya tradisional. Kata “keilmiahan” menunjuk kepada gejala yang lahir dari kepemilikan terhadap sains secara memadai. Spiritualitas lebih menujuk kepada makna baitiniah dari setiap gejala.

Haji adalah ibadah yang multidimensional. Kesehatan fisik memang menjadi prasyarat. Sisanya macam-macam. Mulai dari kemampuan finansial hingga ketersedaiaan kesempatan. Yang terakhir ini baik karena kesibukan diri maupun antrean panjang untuk berhaji. Tapi, semua itu lebih masuk ke dalam cakupan material haji. Haji itu, sejatinya, melintasi cakupan material. Ada dimensi batiniyah yang tidak serta-merta, dan bahkan justeru cenderung tersembunyi dari, kasat mata. Itulah nilai spiritual. Itulah yang menjadi salah satu kekuatan spiritualitas haji.

Apakah Anda akan menyebut klenik pada urusan spiritualitas haji? Apakah Anda akan menyebut mistik pada persoalan spiritualitas haji? Tak seharusnya penyebutan itu ada. Tak selayaknya Anda sampai pada penyebutan keduanya atas dimensi baitiniay  dari ibadah haji. memang, apapun definisi dan pemaknaan yang berlaku dalam dunia keilmuan agama dan filsafat atas kata klenik dan mistik, penyebutan kedua kata itu dalam praktiknya di perkembangan hidup Masyarakat dilakukan secara peyoratif. Cenderung mengolok. Atau bahkan menistakan. Persis seperti penyebutan kata “saintisme’ seperti dijelaskan di atas.

Untuk memperjelas bagaimana sikap diri seseorang terhadap data dan fakta, penting kita telaah bagian dari profil jemaah haji Indonesia yang disebut dengan risti sebagai contoh kasus. Mungkin Anda belum tahu apa itu risti. Risti itu kependekan dari frase “risiko tinggi”. Begitu besarnya perhatian pemerintah kepada risti ini, hingga dalam layanan Jemaah haji di Arab Saudi dibentuk pula Poliristi. Bagian layanan yang diberikan kepada  jamaah haji yang masuk kategori dimaksud. Poliristi adalah strategi Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) untuk memberikan layanan mobile bagi jemaah haji yang masuk kategori risti.

Pertanyaannya, siapakah jemaah yang masuk kategori risti di atas? Mereka adalah jemaah haji yang memiliki potensi besar dan risiko tinggi untuk memiliki persoalan Kesehatan dalam pelaksanaan ibadah haji. Kepala KKHI Daerah Kerja (Daker) Mekkah, dr. Enny Nuryanti, menyampaikan hasil pemeriksaan dan pemantauan lapangan pada rapat pemetaan kerja monitoring dan evaluasi di kantor Daker Mekkah (29 Mei 2024). Setengah bulan sebelum puncak ibadah haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina(Armuzna) pada 15-17 Juni 2024 lalu.

Ada dua jenis penyakit yang masuk kategori risti: jantung dan paru. KKHI, menurut dr Enny, memberikan edukasi secara kuat pada jemaah haji yang masuk kategori risti dimaksud di semua sektor-maktab. “Jemaah haji dihimbau untuk tetap menggunakan masker selama melaksanakan ibadah haji,” begitu nasehatnya. Lebih lanjut, dr Enny menyampaikan fakta: “Tahun 2022, kasus berbasis risti lumayan lebih rendah dibanding tahun 2024, karena jemaah masih disiplin menggunakan masker dalam berhaji.”

Menindaklanjuti gambaran kesehatan jamaah haji di atas, disarankan pula oleh para petugas kesehatan haji agar jemaah haji dalam kategori risti lebih memprioritas ibadah wajib saja dari ritual haji. Juga agar tetap mengenakan masker, terutama saat harus berada di kerumunan. Termasuk saat berkegiatan di luar hotel. Lalu, apa respon jemaah haji? juga pimpinan rombongan mereka?

Kasus muncul dalam kaitannya dengan pengambilan miqat dan shalat sunnah di Masjid Bir Ali. Seperti diceritakan oleh konsultan ibadah, Prof. Aswadi (02 Juni 20224). Hanya beberapa hari saja pasca dikeluarkannya saran dan arahan medis dari para petugas haji. Ada sejumlah jemaah haji lansia yang awalnya tidak berkenan untuk turun dari bus tapi lalu dipaksa untuk turun dan mengambil miqat serta shalat sunnah di masjid tersebut. Juga, para Jemaah itu awalnya tetap mengenakan masker tapi lalu dipaksa untuk melepas masker karena alasan untuk pentingan miqat.  

Nah, di sini ada urusan ketaatan pada sains dan keyakinan keagamaan yang dimiliki. Keduanya tak selalu berjalan seiring. Bahkan dalam kasus di atas, justeru keduanya ditabrakkan. Temuan medis oleh petugas kesehatan terkalahkan oleh keyakinan keagamaan dalam soal miqat dan menutup muka dengan masker.

Contoh kedua adalah kisah yang diceritakan oleh Kepala Sektor 8 Daker Mekkah, Ahmad Bahir Ghozali. Suatu hari, seorang jemaah dari sektornya meninggal dunia. Dia pun harus mengurus jenazah itu. Hingga ke pemakaman. Setelah semua beres dan siap, berangkatlah para petugas di bawah koordinasinya itu untuk mengantarkan jenazah ke peristirahatan terakhir di sebuah area pemakaman di Makkah. Lalu, dia pun kebingungan, karena semua kendaraan terpakai untuk pengiringan jenazah itu walau akhirnya dia bisa berangkat dengan taksi.

Pemakaman pun usai dilaksanakan. Giliran balik ke hotel, dia pun tak mendapatkan tumpangan. Karena semua kendaraan sudah penuh penumpang. Berjalanlah dia seorang diri dari area pemakaman ke jalan besar menuju kota.  Dalam hatinya pun dia berdoa: “Ya Allah, kami tadi menjalankan tugas untuk mengurus jenazah hamba-Mu hingga ke pemakaman. Saat ini tak ada kendaraan yang bisa kutumpangi. Ya Allah, tolonglah kami agar bisa mendapatkan tumpangan ke jalan besar menuju kota.”

Belum juga sepuluh detik doa itu dipanjatkan, tiba-tiba muncul sebuah mobil yang dikendarai seorang lelaki menghampirinya dan langsung menawarinya tumpangan ke kota. Padahal tadinya tak ada mobil satupun tersisa di belakang. Dalam hati Kepala Sektor itu, muncul ucapan: “Ya Allah cepat sekali pertolongan itu Engkau datangkan!” Dia pun takjub dengan yang terjadi padanya. Dalam hatinya, seperti tak mungkin itu terjadi. Karena dari sebelumnya, dia telah memeriksa bahwa tak ada mobil satupun yang tersisa di area pemakaman dan sekitarnya.

Dua kisah di atas memang tak berkaitan satu sama lain. Juga jalan ceritanya tak selalu menunjuk langsung pada saintisme daala hubungannya dengan spiritualitas haji. Tapi, yang jelas, keduanya terjadi dan berlangsung dalam kaitannya dnegan pelaksanaan rangkaian ibadah haji. Tentu, orang yang mengalami langsung seperti Ahmad Bahir Ghozali yang menceritakan ulang pengalaman spiritualnya di atas kepadaku [bersama Pak Wibowo Prasetyo, Prof. Masnun Tahir dan Prof. Martin Kustanti pada saat monitoring pemberangkatan Jemaah haji Sektor 8 ke Madinah pada Rabu, 26 Juni 2024] akan memiliki pemahaman dan pemaknaan batiniah yeng berbeda dibanding yang tidak mengalami langsung.

Berangkat dari dua kisah di atas, pertanyaan menarik berikutnya untuk kebanyakan kita adalah, apakah Anda menolak atau mengakabri spiritualitas haji? jawabannya bergantung pada dua hal: latar belakang dan proses kesertaan diri. Dari sisi latar belakang, tradisi keagamaan yang kuat memiliki peluang yang tinggi daripada yang tidak. Tapi itu saja tidak cukup. Masih harus dilenfkapi dnegan faktor kedua, kekertaan diri. Bahasa Inggrisnya, engagement. Semakin tersertakan diri kedalam spiritualitas haji, semakintinggi peluang untuk bisa mengambil makna baitinyah dari seluruh rangakain proses ibadah haji. kedua faktor itu harus hadir bersama. Hilang salah satu, akan menurunkan lainnya. Hadir kedua akan menyempurnakan penerimaan pada spiritualitas haji.

Maka, rumus berikut menjadi penting dicamkan: jalani prosedurnya, nikmati prosesnya, ambil hikmahnya.  Rumus tiga langkah ini penting dipraktikkan oleh calon jemaah haji Indonesia pada musim mendatang. Tak akan mampu seorang jemaah untuk bisa mengambil hikmah haji jika dia tak menikmati proses yang menjadi rangkaian ibadah haji. Padahal, mengambil hikmah ini bagian sentral dari spiritualitas haji. Maka, sungguh rugi saat seorang jemaah haji gagal mengambil makna batiniyah dari ibadah haji.

Tapi, praktik menikmati proses tak akan bisa dilakukan jika seorang jemaah tak melakukan penyerahan diri secara penuh (total submission) kepada proses yang terjadi pada ibadah haji. Karena itu, mengeluh hanya akan mengurangi derajat penyerahan diri secara penuh itu. Apakah mengeluh pada alam maupun layanan yang tersediakan. Apalagi, hingga harus marah-marah dan maki-maki. Engkau bisa saja puas dengan praktik marah-marah dan maki-maki. Tapi sebetulnya, engkau telah menjauhkan diri sendiri dari keharusan kepasrahan diri yang menjadi prasyarat bagi lahirnya kemampuan untuk bisa menikmati proses haji.

Tentu saja, tak akan bisa seseorang menikmati proses, jika dia tidak menjalani prosedur haji dengan seksama. Di sinilah kepatuhan pada prosedur haji tidak bisa ditawar-tawar. Di situlah letak rahasia rukun haji. Ritual haji yang bersifat wajib dan tak bisa ditinggalkan. Pelaksanaannya akan makin sempurna oleh ibadah-ibadah sunnah lainnya dalam haji.

Saat tiga langkah dari rumus di atas bisa dilakukan dengan maksimal, maka nikmat haji akan bisa dirasakan. Pada titik inilah konsep haji berdampak bisa ditemukan. Haji mabrur, sebagaimana yang lazim dikenal, adalah nama lain dari haji berdampak. Haji yang membuat pelakunya mendapatkan keberkahan karena dampak baiknya langsung mengenai babakan kehidupannya selanjutnya. Bahkan, dampak hajinya itu bisa pula dirasakan oleh orang-orang di sekelilingnya. (*)

 

 

*) Oleh: Akh. Muzakki Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya; Anggota Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES