
TIMESINDONESIA, SULAWESI TENGGARA – Seseorang pasti telah membuat marah Pak Umar, sebab pada suatu subuh ia pulang dengan keadaan marah besar. Seorang lelaki tua yang bertubuh gemuk, dengan jenggot panjang di dagunya dan anaknya yang masih mudah mengamati umar dari kejauhan. Ia tidak pernah semarah ini “kata lekaki tua itu”. Pak umar kenapa ayah? Sampai tidak terkontrol seperti itu. “tanya anak lekaki tua itu”.
Pak umar adalah lelaki tua yang sejak lama tinggal dikompleks dusun Gedongan, Yogyakarta. Kesehariannya sebagai peternak, ia memiliki 3 ekor sapi dan 5 ekor kambing. Selain itu, Pak Umar dikenal seorang yang alim di kompleksnya. Lima waktunya ia habiskan di Masjid dekat kompleks tempat tinggalnya. Ia terkenal murah senyum dan tidak gampang marah.
Advertisement
Pak Umar merupakan lulusan sarjana agama di salah satu kampus ternama di Yogyakarta. Dulu ia bercita-cita menjadi seorang pendakwah, sampai kemudian cita-citanya ia kubur dalam-dalam karena ia harus merawat anaknya yang sakit parah. Untuk menyambung hidup keluarganya, ia harus mendapatkan uang tambahan dari profesinya sebagai peternak. Karena ia memiliki keilmuan agama saat mengenyam pendidikan, maka ia nyambi sebagai guru ngaji di masjid dekat kompleksnya. Walaupun tidak seberapa penghasilannya, karena semangat ibadah dan mendapatkan pahala menjadi motivasi utamanya.
Pada suatu waktu, ia akan melaksanakan sholat subuh di masjid dekat kompleksnya. Seperti biasanya ia tidak perna lepas dengan sholat berjamaah di masjid. Namun kali ini amat berbeda dengan biasanya. Ketika selepas melaksanakan sholat subuh, ia beranjak pulang ke rumah karena akan mengurus ternaknya untuk diberi makan.
Satu hal yang tidak terduga ia sangat marah ketika sendal yang baru saja ia beli ternyata diambil orang. Pak Umar yang dikenal penyabar dan tidak pernah marah itu, langsung berubah 360 derajat. Ia memaki dan mencaci orang yang mengambil sendalnya. Pak Umar istigfar pak “tegur seorang jamaah sambil menenangkan”. Itu sendal saya yang baru saja saya beli “jawab Pak Umar dengan jengkelnya”.
Melihat kejadian itu, warga sekitar keompleks rumah pak Umar seakan tidak habis pikir dengan sikap pak Umar. Selama ini mereka menganggap pak Umar adalah role model atau contoh dalam kehidupan beragama. Tapi sepertinya, luapan emosi yang dikeluarkan oleh pak Umar subuh tadi, sepertinya bukan hanya karena persoalan sendalnya yang diambil orang, bisa jadi ada hal yang selama ini telah membuatnya stres. “ucapa seorang warga”.
Kalau saya yang diperlakukan seperti itu yah pasti marah juga. Lah sendal saya diambil orang di rumah Tuhan pula “sambil tertawa terbahak-bahak”. “seorang dengan nada serius”. Memang Tuhan itu ternyata hanya ada di rumahnya yah, kalau sudah keluar, Tuhan tinggal di sana, kalau butuh ke rumah Tuhan saja.
Fenomena Beragama
Cerita diatas menjadi satu pelajaran yang penting untuk direnungi. Agama apapun di dunia ini, tidak ada Tuhan yang mengajak kepada perpecahan, ekspolitasi, menebar kebencian satu sama lain dan sebagainya. justru sebaliknya, Tuhan merupakan motivasi dan doktrin yang memberikan jalan untuk saling menemukan kebaikan dan menebar kebaikan antara sesama manusia.
Namun realitas saat ini, Tuhan justru hanya berada di rumahnya, terkungkung dengan segala ajarannya. hambanya, tidak membawa misi Tuhan dalam setiap aktivitasnya. Sehingga banyak kita temukan orang beragama, namun tidak mencerminkan seorang yang beragama. Jose Casanova menuturkan bahwa agama saat ini harus mengambil peran pada setiap aspek kehidupan, agar memberikan pencerahan pada setiap sendi kehidupan manusia.
Justru kalau ini dilakukan, kita akan menemukan kehidupan beragama yang arif, bijakasana, tidak mudah terjerumus pada Tindakan yang saling mengklaim kebenaran satu sama lain. Olehnya itu, Tuhan jangan hanya di sembah di rumahnya, dan disimpan di rumahnya saja.
***
*) Oleh : Asman, Pegiat literasi Asal Sulawesi Tenggara.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |