
TIMESINDONESIA, LOMBOK – Pilkada Serentak 2024 menjadi momentum partai politik (parpol) panen pundi-pundi kekayaan kepada bakal calon kepala daerah yang maju di setiap kabupaten/kota, dan provinsi. Transaksi jual-beli kursi kendaraan parpol sebagai syarat untuk memenuhi persyaratan di KPU begitu masif di telinga para pemain politik.
Transaksi jual-beli kendaraan sudah dianggap menjadi hal lumrah dalam setiap kontestasi politik, entah itu pemilihan umum (Pemilu), yaitu pemilihan presiden dan pemilihan legislatif, pemilihan anggota penyelenggara pemilu, hingga berlanjut pada pemilihan kepala daerah (Pilkada). Transaksi jual-beli kendaraan politik sudah tidak menjadi tabu pada dimensi perpolitikan Indonesia.
Advertisement
Transaksional politik seperti tak terbendung oleh beberapa sebab, pertama permisifnya negara terhadap tindakan koruptif, terutama ditandai dengan lumpuhnya KPK, sejak direvisinya regulasi antirasuah tersebut. Kedua, nyaris seluruh parpol tidak memiliki ideologi kepartaian yang melihat kandidat dari integritas, tokoh kapabel, dan memiliki kapabilitas yang mumpuni. Melainkan, terpilih dari dukungan parpol, lebih karena elektabilitas, kader parpol, atau tajir dalam mengatasi amunisi politik dan operasional roda organisasi parpol.
Ketiga, sistem politik dan sistem hukum belum memberikan efek jera pada kelakuan koruptif transaksional. Pantaslah kemudian hari, kita menyaksikan banyak dampak peristiwa yang justru dialami rakyat. Misalnya, musibah banjir selama 10 tahun tidak pernah terjadi, datang tiba-tiba.
Setelah ditelisik, hutan tandus karena terjadi perambahan hutan produktif. Kongkalikong terhadap Hak Penguasaan Hutan. Disebabkan kebijakan kepala daerah yang terlalu pro-oligarki secara sporadis, tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan, aspek kelestarian alam, serta ekosistem makhluk lintas generasi.
Hal-hal demikian masih bisa ada titik cerah, apabila ada iktikad baik parpol mempertimbangkan kandidat yang terbaik dan tidak ansich transaksional semata. Bisakah, rasanya pesimistik. Untuk sebuah harapan faktual, kita harus optimistik. Sebab, bukankah tak ada peristiwa kejahatan yang tak menyisakan jejak. Jadi, parpol dan kandidat erat kaitannya dalam membangun daerah yang lebih baik dari waktu ke waktu, bukan sebaliknya.
Perilaku politik ini diciptakan oleh partai politik itu sendiri, yang sudah hilang dari ideologi kebangsaan. Kita perlu mengetahui, perkembangan partai politik di Indonesia sudah berjalan cukup lama, mulai dari masa demokrasi liberal dan masa demokrasi terpimpin (orde lama), masa orde baru, masa orde reformasi. Dari tiga masa ini perlu kita mengetahui dari tiga aspek, yaitu ideologi partai, sistem kepartaian, dan tipologi partai.
Berdasarkan tulisan Dr. Muhadam Labolo berjudul (Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia). Menegaskan terdapat tiga masa perkembangan politik yang berpengaruh terhadap kondisi perpolitikan di tanah air, karena perilaku partai politik itu sendiri:
Pertama, partai politik pada masa demokrasi liberal, pada kurun waktu 1950-1959 menganut sistem pemerintahan parlementer, pada masa ini jumlah partai politik cukup banyak (sistem kepartaian multipartai) sebanyak 29 partai. Pada masa itu, sistem multipartai mengakibatkan partai politik hanya berorientasi untuk mendapatkan kekuasaan, sehingga menyebabkan ketidakstabilan politik dan pemerintahan.
Pada masa ini, terdapat empat ideologi kepartaian yaitu agama, nasionalis, sosialis, dan komunis. Hingga pada puncak terdapat 40 lebih partai politik pada masa ini, kemudian presiden Soekarno pada waktu itu mengeluarkan Penpres untuk mengatur partai politik dikenal Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) sehingga pada waktu itu tersisa 10 partai.
Kedua, pada masa orde baru, masa pemerintahan presiden Jenderal Soeharto, pada pemilihan umum 1971 diikuti 9 partai politik dan golongan karya (Golkar). Dimana masa ini Golkar menjadi partai baru yang mendapatkan dukungan dari pemerintah dan ABRI, yang sudah dirintis pada masa orde lama.
Kemudian, pada tahun 1973 terjadi peleburan partai politik atau fusi melalui UU No. 3 Tahun 1973, pemerintah menyederhanakan jumlah partai dengan kebijakan fusi partai. Empat partai politik islam yaitu NU, Parmusi, Partai Sarikat Islam, dan Perti bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Lima partai lainnya yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia, Partai Katholik, Partai Murba, IPKI bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sehingga pada tahun 1977 hanya tiga organisasi partai politik yaitu PPP, PDI, dan Golkar, hingga bertahan sampai Pemilu 1997.
Ketiga, partai politik masa orde reformasi, munculnya era reformasi menjadi momentum partai politik tumbuh kembali setelah mengalami pengkerdilan partai pada masa orde baru. Euphoria politik ditandai dengan kemunculan begitu banyak partai politik, peraturan yang dikeluarkan Presiden BJ Habibie untuk menerapkan kembali sistem multipartai.
Euphoria politik, demokrasi, dan kebebasan juga menghasilkan penghapusan kewajiban parpol untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas, seperti ditetapkan pada UU keormasan 1985. Pada tahun 1999, tercatat 141 partai politik dan 48 diantaranya dinyatakan memenuhi syarat untuk dapat mengikuti Pemilu.
Bila melihat ketiga masa, partai politik dan para politisi memiliki tantangan tersendiri untuk dapat bertahan dalam persaingan politik. Penerapan partai politik pada era reformasi seperti pada masa demokrasi liberal dan terpimpin, namun terdapat suatu perbedaan yang mendasar, pada masa demokrasi liberal dan terpimpin, partai politik betul-betul memiliki ideologi yang jelas dan dijalankan dengan konsisten, sangat jauh berbeda dengan pada masa reformasi, partai politik sudah kehilangan ideologi sebagai landasan utama, saat ini partai politik hanya menjadi AD/ART partai sebagai pajangan semata.
Pada momentum Pilkada Serentak 2024, parpol justru menjadikan momentum untuk meraup keuntungan kekayaan. Meruak informasi di lapangan, harga satu kursi disesuaikan berapa dihabiskan meraih satu kursi pemilihan legislatif di kabupaten/kota, provinsi pada Pemilu 14 Februari 2024. Untuk calon bupati dan wakil bupati harus membeli satu kursi kisaran harga Rp 250 juta hingga tembus Rp 500 juta, belum lagi untuk calon Gubernur dan Wakil Gubernur harus membeli kursi parpol Rp 700 hingga Rp 1 miliar, yang disesuaikan dengan wilayahnya.
Tidaklah mudah, harus melakukan lobi-lobian yang cukup masif secara berjenjang mulai dari tingkat kabupaten, provinsi, hingga pusat. Tentu kondisi harus melampaui pembiayaan yang cukup. Belum lagi pada masa kampanye, harus menyiapkan minimal Rp 10 miliar sampai Rp 15 miliar untuk memenangkan sebuah kontestasi pilkada, itupun ukuran daerah kecil. Bagaimana dengan daerah besar dengan potensi yang menjanjikan, tentu lebih besar lagi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menegaskan, bahwa mahar politik sangat merusak tatanan demokrasi, karena dengan cara mahar politik akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang tidak kompeten dan korup. Mahar politik yang sudah dipasang oleh parpol untuk melahirkan calon kepala daerah, bahkan pemimpin negara. Mahar politik juga kerap disebut sebagai “uang perahu” untuk memuluskan kendaraan politik yang diberikan kepada targetnya. Mahar politik inilah yang menyebabkan ongkos politik di tanah air begitu mahal.
Dalam mengeluarkan mahar politik, para calon tentu tidak hanya mengandalkan dirinya sendiri, melainkan sudah membangun lingkaran nepotisme yang biasa membangun komitmen dengan para pengusaha yang dapat menjadi jaminan menjanjikan ketika terpilih nantinya. Melalui program-program pembangunan menjadi komitmen bersama dalam memuluskan target tersebut.
Pemerintah sendiri sudah mengeluarkan beberapa peraturan dalam mencegah terjadinya mahar politik, di antaranya terdapat pada UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota. Dalam pasal 47, disebutkan bahwa “partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan gubernur, bupati, dan walikota”.
Peraturan melarang mahar politik juga terdapat pada UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, di pasal 228 yang menyebutkan “partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden”.
Mahar politik memiliki dampak yang buruk, baik bagi demokrasi, regulasi, dan masyarakat secara luas. Figur kepala daerah yang mengandalkan uang cenderung melahirkan pemimpin yang pragmatis, dan bisa menang dengan cara apapun, bukan kuat secara integritas dan ideal. Kondisi ini pun sudah diantisipasi jauh oleh lembaga antirasuah dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih (Good Government and Clean Government).
Menurut Johny Lomulus, Mahar Politik atau yang biasa disebut juga Money Politic merupakan kebijaksanaan atau tindakan memberikan sejumlah uang kepada pemilih atau pimpinan partai agar masuk sebagai calon kepala daerah. Selain itu, mahar politik juga sama halnya dengan transaksi politik, meminta dan diminta, seperti layaknya jual beli barang antik dengan harga diluar kemampuan calon. Mengingat proses pilkada bersifat musiman, hanya lima tahun sekali, sehingga dirasa wajar momentum pilkada dimanfaatkan sebagai ajang jual beli politik.
Sayup-sayup santernya pola-pola transaksional berujung mahar politik, menjadikan rekrutmen kepemimpinan terpilih di daerah terdistorsi sedari awal. Masif sekaligus permisifnya kita pada tindakan demikian bisa seperti bola salju yang menyeruak ke rongga-rongga embrio persoalan.
Lantas, apakah terjadi pada semua? Tentu tidak. Saya percaya, masih banyak dan masih ada kandidat-kandidat yang nantinya terpilih, dari akomodasi obyektif para parpol serta kekuatan kerakyatan yang tumbuh dan meluas, menurut kehendak zaman. Jika sebaliknya, kita mesti bertanya lebih mendalam. Mungkin saatnya, merenungi demokrasi lokal yang kian binal.
***
*) Oleh : Hery Mahardika, Jurnalis Times Indonesia.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |