Kopi TIMES

Tantangan Kesejahteraan Mental Mahasiswa di Indonesia

Minggu, 28 Juli 2024 - 13:00 | 111.59k
Ade Herdian Putra, S.Pd., M.Pd, Dosen Departemen Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Padang
Ade Herdian Putra, S.Pd., M.Pd, Dosen Departemen Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Padang
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PADANG – Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus akhir-akhir ini, mahasiswa Indonesia sering terjebak dalam tekanan luar biasa. Tuntutan akademik yang tinggi, harapan untuk selalu tampil cemerlang, serta tekanan untuk membentuk identitas diri yang kuat, berpotensi membebani mental mahasiswa. Dalam upaya mengejar prestasi akademik, banyak mahasiswa yang mengabaikan kesejahteraan mental mereka, hingga akhirnya merasa kelelahan psikologis dan fisik.

Hasil penelitian Ade Herdian Putra dan Zadrian Ardi pada tahun 2023 menunjukkan 39,20% mahasiswa Indonesia mengalami stres kategori tinggi. Stres ini sering kali berasal dari beban akademik yang berat, seperti tugas yang menumpuk, jadwal kuliah yang padat, dan tekanan untuk lulus dengan nilai yang tinggi. 

Advertisement

Tidak hanya itu, mahasiswa juga dihadapkan pada ekspektasi dari keluarga dan masyarakat yang menginginkan mereka untuk segera sukses setelah lulus. Kondisi ini membuat banyak mahasiswa merasa terjebak dalam lingkaran tekanan yang sulit untuk dilepaskan.

Selain tekanan akademik, faktor sosial dan budaya juga turut memengaruhi kesejahteraan mental mahasiswa. Budaya prestasi yang sangat kuat di Indonesia menjadikan nilai akademik sebagai tolok ukur utama kesuksesan, sehingga mengesampingkan pentingnya keseimbangan antara kehidupan akademik dan pribadi. 

Banyak mahasiswa merasa perlu untuk selalu tampil baik di depan teman-teman dan keluarga, sehingga mengabaikan kondisi psikologis mereka sendiri. Hal ini diperburuk oleh stigma yang masih melekat terhadap masalah kesehatan mental, membuat mahasiswa enggan untuk mencari bantuan ketika mereka membutuhkannya.

Di era digital ini, media sosial menjadi pisau bermata dua bagi kesehatan mental mahasiswa. Pada satu sisi, media sosial menjadi wadah bagi mahasiswa untuk bersosialisasi dan mencari dukungan. Namun di sisi lain, tekanan untuk menampilkan citra diri yang sempurna di media sosial sering kali berujung pada perasaan tidak puas dengan diri sendiri. Hal ini terutama sekali terjadi pada mahasiswa yang sering membandingkan diri mereka dengan orang lain di media sosial.

Pada dasarnya, tidak semua mahasiswa memiliki cara yang sama dalam menghadapi stres atau gangguan kesehatan mental lainnya. Beberapa mungkin lebih memilih untuk berbicara dengan teman atau keluarga sebagai cara untuk meredakan beban, sementara yang lain mungkin memerlukan dukungan profesional. Sayangnya, akses layanan kesehatan mental yang memadai di perguruan tinggi masih menjadi tantangan dan keterbatasan di Indonesia.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan inklusif dari berbagai pihak. Perguruan tinggi harus lebih proaktif dalam menyediakan dukungan bagi kesejahteraan mental mahasiswa. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan memperkuat layanan bimbingan dan konseling di kampus. Layanan ini tidak hanya perlu mudah diakses, tetapi juga harus dioperasikan oleh profesional yang terlatih dalam menangani isu-isu kesehatan mental. 

Selain itu, perguruan tinggi bisa mengadakan program edukasi tentang pentingnya kesehatan mental dan kampanye untuk mengurangi stigma. Hal ini penting untuk menciptakan lingkungan kampus yang mendukung dan inklusif, di mana mahasiswa merasa aman untuk membicarakan masalah mereka.

Peran keluarga dan teman juga tidak kalah pentingnya dalam mendukung kesejahteraan mental mahasiswa. Keluarga dan teman dekat perlu lebih peka terhadap gejala stres atau gangguan kesehatan mental lainnya yang mungkin muncul pada mahasiswa. 

Mendengarkan dengan empati tanpa menghakimi bisa menjadi langkah awal yang sangat membantu. Ini adalah bagian dari menciptakan jaringan dukungan sosial yang kuat, yang bisa menjadi tempat bagi mahasiswa untuk mengurangi beban mental mereka.

Terakhir, perguruan tinggi perlu menekankan bahwa mencari bantuan adalah langkah yang positif dan bukan tanda kelemahan. Mahasiswa harus didorong untuk mencari bantuan jika mereka merasa kesulitan, baik melalui konselor kampus atau profesional kesehatan mental lainnya. Perguruan tinggi juga bisa berperan dalam memfasilitasi akses ke layanan ini dengan menyediakan informasi yang jelas dan mudah dijangkau.

***

*) Oleh : Ade Herdian Putra, S.Pd., M.Pd, Dosen Departemen Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Padang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES