Kopi TIMES

Islam Rasional dan Intelektual

Senin, 29 Juli 2024 - 15:19 | 18.55k
Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA)
Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Kata rasional berasal dari bahasa Inggris, rational, yang secara harfiah berarti harg masuk akal atau berakal Kata rasional selanjutnya berarti pemikiran, pandangan, dan pendapat yang sejalan dengan pendapat akal pikiran.

Islam rasional buat pertama kali diperkenalkan oleh Harun Nasution dalam bukunya Wahyu dan Akal, serta Islam Rasional.

Advertisement

Melalui buku-buku ini. Islam rasional dapat dikenali cirinya sebagai berikut.

Pertama, dalam bidang teologi, mereka banyak mengunakan akal dan banyak memberikan kebebasan kepada manusia untuk menentukan pilihannya dalam berbuat. Yang termasuk kelompok ini, antara lain Mu'tazilah dan Maturidiah Samarkand.

Kedua, dalam bidang fikih, mereka banyak menggunakan al-rayu’ (pemikiran akal sehat) dan al-qiyas atau analogi Mereka itu antara lain Abu Hanifah dan para pengikutnya.

Ketiga, dalam bidang ma filsafat, mereka banyak mendahulukan pendapat akal, baru kemudian diikuti dengan wahyu. Mereka itu antara lain Ibn Rusyd, al-Razi, dan Ibn Sina.

Keempat, dalam bidang tasawuf, mereka banyak menggunakan filsafat dalam membangun konsepnya untuk memperoleh penyantun secara batin dengan Tuhan.

Islam adalah pandangan dunia yang berorientasi kemasa depan. Suatu sistem pemikiran dan tindakan yang mengandung keabsahan abadi pasti memiliki pula komponen-komponen yang dirancang untuk menghadapi tantangan dimasa yang akan datang.

Suatu ideologi universal yang terus menerus berupaya untuk mewujudkan sepenuhnya ajaran-ajarn dasarnya harus memusatkan perhatiannya pada pembentukan masa depan. Suatu peradaban dengan sejarah yang gemilang harus memandang ke masa depan untuk meraih kembali kejayaan-kejayaan masa silamnya. Karenanya, sebagai sebuah agama, ideologi, dan peradaban, Islam memberikan suatu pandangan dunia yang terutama ditujukan untuk pembangunan masa depan baik di dunia maupun diakhirat nanti.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Selain itu, Islam rasional juga dapat disebut sebagai Islam intelektual yang di dalamnya banyak menggunakan pemikiran teologi, filsafat, dan makrifat.

Islam intelektual ini buat pertama kali diperkenalkan oleh Sayyed Hossein Nasr dan William C. Chittick melalui bukunya berjudul Islam Intelektual : Teologi, Filsafat & Marifat. Pada bagian pengantar buku itu dikatakan bahwa aktivitas intelektual umat Islam telah mati...

Sejumlah akademisi Islam, baik dari Indonesia maupun wilayah-wilayah lalam lain, yang sempat menghabiskan masa studinya di perguruan tinggi Eropa atau Amerika, tetapi tidak menguasai epistemologi dan juga filsafat, adalah korban yang memprihatinkan dari tipu daya para orientalis ini. Mereka sama seperti para orientalia, mengklaim bahwa Islam, atau tepatnya Al-Qur'an, tidak memiliki konsep tentang politik atau sistem kene garaan yang jelas. Klaim atau pernyataan seperti ini, yang dilontarkan sebagian akade misi atau 'ulama Islam, sebenarnya tak lebih dari sekadar memamerkan kebodohannya sendiri.

Islam rasional dan intelektual diperlukan dalam rangka mengingatkan umat Islam agar memanfaatkan akal pikiran sebagai anugerah Allah SWT yang paling berharga. Di dalam berbagai ayat Al-Qur'an, Allah SWT memerintahkan manusia agar menggunaan akal pikiran secara optimal. Karena demikian pentingnya penggunakan akal pikiran itu, maka jumlah perintah menggunakan akal pikiran di dalam Al-Qur'an jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah perintah shalat.

Al-Qur'an telah memberikan space atau peluang yang luas kepada akal untuk melahirkan berbagai gagasan dan pemikiran yang inovatif.

Lahirnya berbagai karya ilmiah dalam berbagai bidang di zaman Klasik yang selanjutnya membawa kemajuan dan kejayaan umat Islam, terjadi karena umat Islam pada masa itu menghargai dan menghormati penggunaan akal. Sebaliknya, ketika akal dibelenggu, pintu ijtihad ditutup, dan semua orang harus taqlid secara buta, maka umat Islam mulai mengalami kemunduran.

Seorang intelektual dituntut agar senantiasa tampil sebagai pengharu dalam masyarakat, karena kemampuan berpikirnya telah teruji untuk selalu bertanya akan keberadaan diri dan lingkungannya.

Dengan sikap dan pendekatan yang objektif dengan metode ilmiah dalam upaya mencapai kebenaran yang hakiki, sehingga tak kadang seringkali tampil sebagai control social atau sebagai pengkritik dalam kehidupan masyarakat.

Sejalan dengan tuntutan peran dari kaum intelektual khususnya intelektual muslim, tidak hanya terbatas pada mereka yang berada di lingkungan perguruan tinggi, melainkan ide,gagasan, dan pemikiran serta tanggung jawab moral dan etik dalam pengembangan masyarakat.

Seorang intelektual bisa lahir dari sarjana, kyai, pejabat, perwira militer, politisi, wartawan, seniman, mahasiswa, dan profesi lainnya. Sehingga tidak heran ketika kalau keberadaan kaum intelektual itu, sangat diharapkan perannya dalam menciptakan sejarah pertumbuhan suatu masyarakat.

Intelektual muslim atau cendekiawan muslim adalah orang-orang yang senantiasa menggunakan akal pikiran dan kalbunya untuk memahami segala sesuatu dalam alam semesta ini.

Pemahaman itu diarahkan agar memberikan manfaat yang maksimal bagi semesta alam. Intelektual muslim adalah orang-orang yang telah diberikan oleh Allah SWT pengetahuan yang diperoleh melalui medote-metode pembelajaran, dan memiliki hikmah, wisdom atau kebijaksanaan yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya.

Barang siapa yang telah memperoleh hikmah, maka sesungguhnya mereka telah memperoleh kebajikan yang banyak dalam berbagai aspek kehidupannya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Intelektual Muslim dapat dipahami orang yang memiliki kecerdasan dan pemahaman terhadap agama maupun ilmu pengetahuan serta kepekaan pada masalah sosial, dengan menjadikan islam sebagai pandangan hidup dan landasan dalam berpikir. Ulama sebagai intelektual muslim tidak hanya mampu menguasai ajaran agama, namun juga ulama sebagai penggerak dalam penyebaran dan perkembangan islam di Indonesia.

Namun demikian, Islam rasional juga menyadari keterbatasannya. Mereka mengetahui ada wilayah yang tidak boleh disentuh oleh akal pikiran, yaitu wilayah yang bersifat qath'i dan taabbudi (laa majaala fihi al-'aql = tidak ada peluang bagi akal untuk memikirkannya), seperti masalah akidah, ibadah, akhlak, dan beberapa hal masalah muamalah yang telah memiliki kepastian hukum dari Tuhan secara muthlaq.

Bersamaan dengan itu, sejarah juga mencatat, bahwa Islam rasional ini cenderung menomorduakan wahyu, asyik dalam perdebatan dan lupa pada visi, misi dan tujuan ajaran Islam, sehingga Islam terjebak pada sekadar wacana yang diperdebatkan, bukan untuk diamalkan, bahkan cenderung memaksakan pendapat akal tersebut pada orang lain yang tak sepaham, yang terkadang menggunakan cara-cara kekerasan. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA)

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES