
TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Dalam perjalanan sejarah ekonomi syariah di Indonesia, salah satu terobosan penting adalah pembentukan fatwa tentang wakaf uang pada Juli 2002. Fatwa ini diharapkan dapat mendorong umat Islam untuk mengoptimalkan potensi ekonominya melalui instrumen wakaf yang fleksibel dan bermanfaat bagi kemaslahatan umat. Namun, setelah 22 tahun berlalu, aset wakaf uang di Indonesia hingga tahun 2024 hanya mencapai 6,7 triliun rupiah. Angka ini terbilang kecil jika dibandingkan dengan fenomena judi online dan pinjaman online.
Selama lima tahun terakhir, aset dari judi online dan pinjaman online telah meroket hingga mencapai 600 triliun rupiah, berdasarkan data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Kenaikan signifikan ini bukan hanya mencerminkan besarnya skala ekonomi informal yang tumbuh secara pesat, tetapi juga mengindikasikan adanya pergeseran preferensi masyarakat terhadap aktivitas yang bersifat spekulatif dan berisiko tinggi.
Advertisement
Fenomena ini semakin kompleks ketika kita melihat data demografis pelaku judi online yang didominasi oleh penduduk dari Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah. Wilayah-wilayah ini, yang merupakan pusat kegiatan ekonomi dan pendidikan, menunjukkan bahwa praktik maysir (judi) dan riba telah menjadi masalah yang meluas di berbagai lapisan masyarakat.
Fenomena ini menggugah pertanyaan mendasar: mengapa hal-hal yang negatif dan merusak justru lebih diminati? Ada beberapa faktor yang bisa kita cermati untuk memahami dinamika ini.
1. Egoisme Mengalahkan Empati
Judi online memberikan kesenangan instan dan janji keuntungan finansial, meskipun seringkali ilusi. Hal ini mencerminkan kecenderungan manusia yang lebih mementingkan kepuasan diri sendiri dan kebutuhan materi jangka pendek dibandingkan dengan kontribusi jangka panjang untuk kesejahteraan sosial.
Sementara wakaf, yang bertujuan memberikan manfaat bagi masyarakat luas, butuh rasa empati dan kesadaran sosial yang tinggi. Fenomena ini menunjukkan masih banyak orang cenderung memilih kepuasan pribadi daripada melakukan tindakan altruistik yang memiliki dampak positif yang lebih besar bagi orang lain.
2. Mentalitas dan Budaya Konsumtif
Budaya konsumtif yang semakin mengakar di masyarakat juga berperan dalam maraknya judi dan pinjaman online. Keinginan untuk memiliki barang-barang mewah dan gaya hidup glamor seringkali mendorong seseorang untuk mengambil risiko tinggi demi memenuhi hasrat tersebut.
3. Kurangnya Edukasi dan Sosialisasi
Meski fatwa tentang wakaf uang sudah ada sejak tahun 2002, upaya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat masih kurang optimal. Banyak yang belum memahami sepenuhnya bagaimana wakaf uang dapat memberikan dampak positif yang luas. Di sisi lain, judi online dan pinjaman online gencar melakukan promosi yang menarik dan mudah diakses oleh siapa saja.
4. Tantangan Regulasi dan Penegakan Hukum
Regulasi terhadap aktivitas judi online dan pinjaman online seringkali belum efektif. Penegakan hukum yang lemah membuat para pelaku merasa aman dan terus melanjutkan praktik-praktik tersebut. Sebaliknya, pengelolaan wakaf uang memerlukan regulasi yang jelas dan dukungan pemerintah untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas.
Di sisi lain, wakaf uang masih menghadapi berbagai tantangan yang menghambat pertumbuhannya. Kurangnya edukasi dan sosialisasi tentang manfaat wakaf uang, serta minimnya inovasi dalam pengelolaannya, menjadi beberapa faktor utama. Padahal, dengan pengelolaan yang baik, wakaf uang memiliki potensi besar untuk mendanai berbagai proyek sosial dan ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
Ironi ini seharusnya menjadi refleksi bagi kita semua. Sementara sektor-sektor merusak tumbuh subur, instrumen yang memiliki potensi positif seperti wakaf uang justru berjalan lambat. Sudah saatnya kita memberikan perhatian lebih pada instrumen keuangan yang mampu memberikan dampak positif jangka panjang bagi masyarakat.
Dalam menghadapi situasi ini, diperlukan upaya bersama untuk mengembalikan nilai-nilai positif dalam masyarakat. Edukasi tentang pentingnya wakaf uang dan manfaat jangka panjangnya harus ditingkatkan. Kemudian dari segi pengelolaan wakaf uang diharapkan lebih berprinsip akuntabel serta transparan.
Pemerintah juga perlu memperkuat regulasi dan penegakan hukum terhadap praktik judi dan pinjaman online yang merugikan. Selain itu, mendorong budaya ekonomi yang sehat dan beretika harus menjadi prioritas.
***
*) Oleh : Fitria Nurma Sari, Dosen Perbankan Syariah, Universitas Ahmad Dahlan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |