
TIMESINDONESIA, PADANG – Perubahan iklim adalah sebuah proses dinamis dan berkelanjutan yang dampaknya sudah sangat terasa, terutama di sektor pertanian baik secara langsung maupun tidak langsung. Pertanian, khususnya subsektor tanaman pangan, sangat rentan terhadap perubahan iklim karena tiga faktor utama: biofisik, genetika, dan manajemen.
Perubahan iklim telah menyebabkan penurunan produksi pangan, khususnya di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Penurunan ini terutama disebabkan oleh meningkatnya suhu dan salinitas tanah, cuaca ekstrem yang menyebabkan kekeringan dan banjir, serangan hama dan penyakit, serta penurunan kapasitas produksi akibat kerusakan infrastruktur pertanian. Studi di daerah tropis menunjukkan bahwa produksi jagung dan beras akan menurun karena peningkatan suhu udara dan perubahan iklim.
Advertisement
Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia akan sangat menderita akibat perubahan iklim, terutama kekeringan dan banjir, karena fenomena ini akan menurunkan produksi pangan dan kapasitas produksi. Produk domestik bruto (PDB) Indonesia, 15 persen berasal dari sektor pertanian di mana 41 persen dari angkatan kerja bergantung pada sektor ini. Indonesia akan menghadapi masalah serius akibat perubahan iklim jika tidak segera dilakukan penanganan baik teknis maupun non-teknis melalui kebijakan yang tepat.
Dampak perubahan iklim berupa pemanasan global ditandai dengan meningkatnya suhu udara yang mempengaruhi fisiologi tanaman. Pemanasan global menyebabkan peningkatan suhu minimum malam hari sebesar 1°C dan menurunkan hasil padi sebesar 10 persen. Secara kasat mata, dampak perubahan iklim di beberapa sentra produksi padi adalah terjadinya kekeringan dan banjir secara tidak teratur, serta serangan hama dan penyakit.
Dampak perubahan iklim di Indonesia sangat terkait dengan peningkatan cuaca ekstrem baik dalam hal frekuensi maupun intensitasnya. Dari hasil banyak Penelitian dilakukan menunjukkan bahwa dalam 100 tahun terakhir, frekuensi dan intensitas fenomena El Nino-Southern Oscillation (ENSO) meningkat, di mana 10 di antaranya terjadi setelah tahun 1940-an.
Kekeringan dan banjir di Indonesia telah menyebabkan kegagalan panen, dan dalam 10 tahun terakhir terjadi cuaca kering ekstrem El Nino dan La Nina. Variasi curah hujan di Jawa, sebagai sentra produksi tanaman pangan utama di Indonesia, seperti padi, jagung, kedelai, dan tebu, sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO, dengan kumulatif kegagalan panen akibat kekeringan (El Nino) sekitar 250 ribu hektar dan banjir (La Nina) sekitar 90 ribu hektar. Selain itu, serangan hama dan penyakit yang menyerang tanaman pangan juga meningkat secara signifikan selama periode cuaca ekstrem.
Pemanasan global merupakan fenomena yang ditandai oleh peningkatan suhu rata-rata atmosfer bumi akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) ke atmosfer. Penyebabnya diduga berasal dari proses alami maupun intervensi manusia. Emisi GRK meningkat seiring dengan aktivitas manusia, terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan bahan bakar fosil seperti minyak, gas bumi, dan batubara, serta alih fungsi hutan dan penggunaan lahan secara intensif. Aktivitas ini secara langsung atau tidak langsung mengubah komposisi atmosfer, meningkatkan jumlah gas rumah kaca, dan memperparah efek rumah kaca sehingga menyebabkan pemanasan global.
Pemanasan global berdampak pada pemendekan musim hujan, meningkatkan risiko kekeringan di daerah yang menerapkan dua kali panen (IP-200). Infrastruktur pertanian seperti irigasi tidak banyak membantu karena sebagian besar sumber daya air untuk 7,6 juta hektar sawah di Indonesia berasal dari sumber non-bendungan, sementara hanya 11 persen berasal dari sistem bendungan.
Akibatnya, saat musim hujan, air tidak bisa disimpan untuk musim kemarau, dan banyak sawah mengalami kekeringan serius. Intensitas tanam di sawah dengan bendungan bisa mencapai 2,4 kali, sedangkan sawah dengan sumber air non-bendungan hanya 1,6 kali atau kurang dari dua kali panen. Perubahan iklim memperburuk pola tanam dan produksi pangan, merusak hampir setengah dari infrastruktur irigasi karena kurangnya komitmen politik untuk pemeliharaan.
Tanaman pangan, terutama padi, sangat rentan terhadap perubahan iklim karena tiga faktor utama: biofisik, genetika, dan manajemen. Kerentanannya terkait dengan sistem penggunaan lahan, sifat tanah, pola tanam, teknologi pengelolaan tanah, air, tanaman, serta varietas tanaman.
Perubahan iklim berdampak pada pola hujan, kejadian iklim ekstrem seperti banjir dan kekeringan, peningkatan suhu udara, dan kenaikan permukaan air laut. Ketahanan pangan, yang berarti akses fisik dan ekonomi terhadap pangan yang layak bagi semua anggota rumah tangga, tergantung pada empat dimensi: ketersediaan pangan, aksesibilitas, stabilitas harga, dan pemanfaatan. Jika salah satu hilang, negara bisa mengalami kerawanan pangan serius.
Perubahan iklim menyebabkan risiko lingkungan seperti banjir, kekeringan, dan bencana alam lainnya yang berujung pada gagal panen, penurunan produksi pangan, dan mempengaruhi ketahanan pangan Indonesia. Dampaknya sangat terasa di kalangan penduduk miskin di pedesaan dan perkotaan, mengurangi akses terhadap pangan yang memadai dan berkualitas, serta menyebabkan kekurangan gizi, terutama di kalangan anak-anak dan penduduk di daerah terpencil.
Untuk meningkatkan ketahanan pangan suatu negara, beberapa perubahan kebijakan dapat dirumuskan sebagai berikut. Pertama, meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam produksi pangan, yang melibatkan integrasi dengan pembangunan pedesaan dan penciptaan lapangan kerja, sehingga hasil panen dapat maksimal dan ekonomi pedesaan dapat tumbuh.
Kedua, mengurangi kemiskinan melalui subsidi beras murah bagi penduduk miskin dan pemberdayaan masyarakat miskin yang aktif, serta promosi diversifikasi pangan di daerah pedesaan untuk meningkatkan ketahanan pangan lokal.
Ketiga, peningkatan kapasitas penelitian dan pengembangan yang fokus pada mitigasi perubahan iklim dan penggunaan varietas padi yang toleran terhadap kekeringan dan banjir, serta perbaikan sarana irigasi untuk mendukung pertanian yang berkelanjutan.
Keempat, menghapus peraturan daerah yang menghambat distribusi pangan regional, serta meningkatkan infrastruktur dan pengembangan cadangan pangan di tingkat lokal untuk memastikan distribusi pangan yang merata dan mengurangi risiko kelangkaan.
Kelima, penguatan kelembagaan melalui peningkatan modal sosial dan perbaikan tata kelola di semua tingkat, serta keputusan desentralisasi investasi untuk memastikan dana dan sumber daya dialokasikan dengan efisien dan efektif.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan ketahanan pangan nasional dapat ditingkatkan secara signifikan, mengurangi kerawanan pangan, dan mendukung kesejahteraan masyarakat.
***
*) Oleh : Rahmi Awallina, S.TP., MP., Dosen Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |