Kopi TIMES

Kelas Menengah dan Krisis Pernikahan

Kamis, 01 Agustus 2024 - 15:00 | 55.36k
Gea Dwi Asmara, Dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Ahmad Dahlan
Gea Dwi Asmara, Dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Ahmad Dahlan
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Topik mengenai kelas menengah kini menjadi pusat perhatian banyak pihak, terutama karena penurunan dalam jumlah kelas menengah yang sedang terjadi. Fenomena ini bukan sekadar angka statistik, melainkan mencerminkan perubahan mendalam dalam struktur sosial dan ekonomi kita. Penurunan ini tidak hanya mempengaruhi dinamika ekonomi makro tetapi juga berimbas langsung pada kesejahteraan individu dan keluarga.

Siapakah yang dimaksud kelas menengah? Kelas menengah adalah kelompok yang memiliki pendapatan dan standar hidup yang lebih baik dibandingkan kelas bawah, tetapi tidak setinggi kelas atas. Menurut publikasi Bank Dunia berjudul "Aspiring Indonesia-Expanding The Middle Class" (2019), kelas menengah dibagi menjadi dua kategori yaitu calon kelas menengah (aspiring middle class) dan kelas menengah (middle class). 

Advertisement

Bank Dunia menetapkan rentang pengeluaran untuk kelas menengah antara 3,5 hingga 17 kali lipat dari garis kemiskinan per kapita per bulan. Berdasarkan data BPS pada Maret 2024, garis kemiskinan sebesar Rp582.932 per kapita per bulan, sehingga pengeluaran untuk kategori kelas menengah berkisar antara Rp2.040.262 hingga Rp9.909.844 per orang per bulan.

Meskipun kelas menengah sering dianggap sebagai pilar penting penggerak ekonomi nasional, karena kontribusinya terhadap konsumsi dan pertumbuhan ekonomi, kelompok ini seringkali harus menghadapi tantangan hidup pas-pasan dari hari ke hari.
Mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, mencatat bahwa kelas menengah seringkali kekurangan perlindungan sosial yang memadai. Meskipun menghadapi tekanan ekonomi, mereka tidak memenuhi syarat untuk bantuan sosial karena tidak termasuk dalam kelompok miskin. 

Sementara itu, kebijakan pemerintah seperti pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) lebih menguntungkan kelas atas, sedangkan kelas menengah tidak merasakan manfaatnya. Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang baru-baru ini menjadi 11 persen juga mengurangi daya beli, sehingga menyebabkan fenomena "mantab" (makan tabungan) di kalangan kelas menengah yang terpaksa menggunakan tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Tekanan Ekonomi Mempengaruhi Keputusan Pernikahan

Pada tahun 2021, terdapat kesenjangan signifikan dalam sisa gaji bulanan antara kelas menengah dan kelas kaya dalam kelompok usia produktif (15-64 tahun). Sisa gaji rata-rata warga kelas atas mencapai Rp 1,59 juta per orang per bulan, yang nilainya sekitar 3,64 kali lebih besar dibandingkan dengan sisa gaji kelas menengah. Dengan rata-rata sisa gaji kelas menengah sebesar Rp 435.888 per bulan, jumlah uang yang tersedia untuk ditabung dan diinvestasikan sangat terbatas.

Akibatnya, warga kelas menengah sering kali menghadapi kesulitan dalam merencanakan tabungan atau investasi untuk masa depan mereka. Terbatasnya dana yang dapat disisihkan membuat mereka sulit menyisihkan uang untuk rencana jangka panjang, seperti membeli rumah atau menikah. Banyak pasangan di kelas menengah yang terpaksa menunda rencana pernikahan mereka karena keterbatasan finansial, mengingat kebutuhan akan tabungan yang lebih besar untuk biaya pernikahan dan kehidupan rumah tangga.

Laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) berjudul Statistik Indonesia 2024 menunjukkan bahwa angka pernikahan di Indonesia telah menurun secara signifikan, mencapai titik terendahnya. Data terbaru mengungkapkan bahwa jumlah pernikahan pada tahun 2023 mengalami penurunan sebesar 7,51 persen dibandingkan tahun 2022, dengan total mencapai 1,58 juta pernikahan. Dalam dekade terakhir, angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan yang konsisten, dengan puncak tertingginya tercatat pada tahun 2013, yang mencapai 2,21 juta pernikahan.

Penelitian oleh Azizah Fadhilah Adhani, mengungkapkan bahwa salah satu alasan utama di balik penundaan atau bahkan penghindaran pernikahan di kalangan Generasi Z, yang mencakup sekitar 34,74% dari seluruh populasi usia produktif di Indonesia, adalah masalah finansial. 

Dalam situasi ekonomi yang tidak stabil dan harga-harga yang terus meningkat, banyak dari Generasi Z mengalami tekanan berat akibat beban keuangan. Tanggung jawab finansial yang besar, seperti biaya hidup yang tinggi, kebutuhan perumahan, dan kewajiban lainnya, membuat pernikahan terasa sebagai keputusan yang sulit diambil.

Untuk memperbaiki kondisi kelas menengah dan menciptakan lapisan kelas menengah yang lebih kuat, pemerintah perlu mendorong masyarakat untuk bekerja di sektor formal. Bekerja di sektor formal tidak hanya memberikan peluang untuk memperoleh penghasilan yang lebih tinggi tetapi juga memastikan perlindungan jaminan sosial yang lebih baik, seperti asuransi kesehatan dan pensiun.

Selain itu, penting bagi individu untuk terus memperbarui keterampilan mereka. Pendidikan dan pelatihan tambahan diperlukan agar mereka dapat mengakses pekerjaan dengan kompensasi yang lebih baik dan kesempatan karier yang lebih luas. Dengan mengupgrade keterampilan, masyarakat dapat memenuhi tuntutan pasar kerja yang berkembang dan memperkuat posisi mereka dalam ekonomi formal.

Peningkatan kualitas finansial ini juga dapat berdampak pada aspek-aspek kehidupan pribadi, termasuk pernikahan. Dengan memiliki penghasilan yang lebih stabil dan perlindungan sosial yang lebih baik, individu akan merasa lebih siap secara finansial dan emosional untuk mengambil langkah besar seperti pernikahan.

Keseluruhan, perbaikan dalam stabilitas ekonomi dan kesempatan kerja yang lebih baik dapat mengurangi kekhawatiran terkait biaya hidup dan tanggung jawab finansial, sehingga memungkinkan individu di kelas menengah untuk merencanakan dan melaksanakan pernikahan tanpa harus menunda rencana mereka.

***

*) Oleh : Gea Dwi Asmara, Dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Ahmad Dahlan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES