Kopi TIMES

Menimbang Islam di Ambang Tambang

Selasa, 06 Agustus 2024 - 13:37 | 51.86k
Muhammad Abid Al Akbar, Anggota PCNU Kota Tangerang Selatan dan Mahasiswa S2 Kajian Timur Tengah dan Kajian Studi Islam Universitas Indonesia
Muhammad Abid Al Akbar, Anggota PCNU Kota Tangerang Selatan dan Mahasiswa S2 Kajian Timur Tengah dan Kajian Studi Islam Universitas Indonesia

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pasca pernyataan sikap Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah atas penerimaan konsesi tambang yang akan diberikan oleh negara, gemuruh publik tercengang. Netizen yang sudah terlanjur mengkritik Nahdlatul Ulama (NU) karena lebih dulu menerima konsesi tambang, kini harus bekerja dua kali, karena Muhammadiyah yang kemudian menjadi sasaran selanjutnya. 

Sederhana memang, bahwa Islam adalah memberikan rahmah (kasih sayang) untuk alam semesta, dan dunia pertambangan bertolak belakang akan hal itu. Namun nasi sudah menjadi bubur. Dua organisasi muslim terbesar di dunia akan diamanahkan mengelola tambang. Rezeki yang sulit ditolak memang. 

Advertisement

Sedikit kembali ke belakang, meminjam Istilah Soekarno Muda pada bukunya "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme", bahwa salah satu alasan Belanda menjajah Indonesia adalah karena 'rezeki'. Rezeki yang ada di negeri Belanda tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dan atau menambah kekayaan masyarakatnya, Oleh karena itu mereka perlu menjajah Indonesia. 

Negeri dengan berkelimpahan rezekinya dari atas bumi, permukaan bumi, hingga perut bumi, semuanya seharusnya cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya, tinggal bagaimana para warganya dan pengelolanya mampu mengatur rezeki itu dengan baik. 

Namun, apa yang menjadi seharusnya terhadap bagaimana hasil tambang mampu didistribusikan dengan baik dan mampu mendongkrak ekonomi Indonesia nampaknya belum signifikan. Jika melihat data pada tahun 2023, Indonesia adalah negara dengan penghasilan nikel terbesar di dunia. Kemudian juga diketahui bersama, bahwa Indonesia masuk 10 negara dengan penghasil tambang terbesar di dunia. 

Namun dengan pencapaian itu, berapa persen dari hasil tambang yang mampu dirasakan oleh masyarakat akar rumput? Atau setidaknya, berapa persen yang mampu diterima masyarakat sekitar pertambangan, yang menghirup udara kotor dan terimbas limbah pertambangannya? Disinilah NU dan Muhammadiyah perlu berperan.  

Pengambilan keputusan oleh NU dan Muhammadiyah memang dinilai mengecewakan hati dan menciderai nurani sebagian umat Islam. Padahal apabila dilihat dari kacamata yang lebih jernih, niscaya pengelolaan tambang tersebut dapat membawa dampak substansial pada sektor dakwah. 

Islamisasi yang menjadi nafas bagi NU dan Muhammadiyah tidak hanya bergerak di dalam masjid atau pondok pesantren, melainkan pada sektor pengelolaan alam. Toh, juga Allah ta'ala memberikan nikmat berupa Alam untuk dikelola dan dimanfaatkan sedemikian mungkin oleh umat manusia. 

Pengelolaan alam yang dilaksanakan ormas Islam apabila membawa dampak yang substansial (meskipun terdapat dampak pragmatis) juga dapat dipertimbangkan untuk menilai baik buruknya, misalnya apabila pengelolaan tambang berada di tangan orang-orang kompeten dalam ormas Islam, hal tersebut tentu menjadi pertimbangan.

NU dan Muhammadiyah pada kesempatan ini juga dapat memperluas sektor amaliahnya. NU yang akarnya adalah pendidikan, dalam hal ini pondok-pondok pesantren, akan teruji dan menjadi challenging untuk mengembangkan SDM NU dalam sektor pengelolaan alam. 

Begitupun Muhammadiyah, selain dalam sektor pendidikan dan kesehatan yang menjadi lumbung besar bagi SDM Masyarakat Muhammadiyah, pengelolaan tambang mampu menambah kesempurnaan amal budinya pada sektor pengelolaan alam. 

Agaknya para aktivis lingkungan dari ormas Islam tersebut bukannya tak setuju akan kebijakan tersebut, mereka lebih tepat dikatakan krisis kepercayaan (trust issue) kepada para pejabat mereka yang agaknya terlihat pragmatis dalam pengambilan keputusan ini. 

NU dan Muhammadiyah sebagai kiblat Islam modern seharusnya dapat merefleksikan dirinya terhadap konsep-konsep ideologis seperti yang ditawarkan Muhammad Abduh. Beliau menawarkan akan improvisasi nilai-nilai Qur’ani dalam bentuk penerapan gagasan sosial yang bergerak di bidang ekonomi, politik, industri dan lain-lain. 

Dalam gagasannya ini kita dapat menganalogikan etika pertambangan dengan improvisasi nilai-nilai pengelolaan pertambangan, sehingga pada penerapannya manusia tidak keluar dari koridor etikal reifikasi antara subjek-objek kelola. 

Melihat bagaimana dunia pertambangan bergerak, adalah bagaimana juga caranya agar pengelolaan tambang mampu meningkatkan dan memberdayakan masyarakat akar rumput. Tidak dari hasil saja, namun pemberdayaan SDM masyarakat akar rumput yang perlu menjadi catatan, di tengah minimnya lapangan pekerjaan, terutama bagi Generasi Z. 

Oleh karena itu, di sisi itulah NU dan Muhammadiyah bisa begerak. Mengabdi kepada masyarakat dengan memanfaatkan apa yang menjadi tantangan dan kebutuhan masyarakat. Syukur-syukur, pemberdayaan ini diisi oleh para kader Muhammadiyah dan NU yang menjadi tonggak organisasi nantinya. 

Dengan menjadi Organisasi Islam terbesar di dunia, NU dan Muhammadiyah tentu akan dipandang oleh organisasi keagamaan lainnya di dari seluruh dunia, karena tidak hanya mengurus hal-hal ukhrawi saja, namun juga hal duniawi, yang tentu berorientasi kepada ukhrawi. 

Memandang sebelah mata subjek pengelola tambang justru akan mengakibatkan dekadensi kepercayaan terhadap ormas Islam. Secara tidak langsung mayoritas pihak memandang akan stagnansi ormas Islam yang hanya bergerak di bidang sosial dan dakwah semata, dan membatasi peran mereka dalam pengelolaan sumber daya.

Seakan-akan ormas agama hanya boleh berdakwah dalam bentuk lisan dan tulisan semata, tidak pada sektor industri, elaborasi antara etika dakwah dan etika kelola merupakan kombinasi yang ciamil apabila mampu diterapkan dalam pengelolaan tambang nantinya. 

Maka saatnya wait and see, dan jika pada akhirnya NU dan Muhammadiyah tidak mampu mengelola tambang dengan baik dan tidak memberikan dampak signifikan terhadap masyarakat akar rumput, maka konsesi tambang perlu dicabut. Itu tandanya, ormas Islam belum sanggup dan mampu menjawab tantangan zaman. 

***

*) Oleh : Muhammad Abid Al Akbar, Anggota PCNU Kota Tangerang Selatan dan Mahasiswa S2 Kajian Timur Tengah dan Kajian Studi Islam Universitas Indonesia. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id.

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES