
TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Setelah TPS Piyungan ditutup pada 23 Juli 2023, pemandangan sampah di kota Yogyakarta mulai tidak tertata. Tampak sampah-sampah berserakan di beberapa titik seperti trotoar hingga meluber ke bahu jalan.
Meski sudah banyak spanduk imbauan untuk tidak membuang sampah disitu, rasanya sudah tidak mempan lagi menjawab kebingungan warga akan kemana lagi mereka harus membuang sampah-sampah mereka. Tidak terasa pula penutupan TPS Piyungan sudah berjalan satu tahun, solusi demi solusi untuk menangani permasalahan sampah pun masih belum menemui titik terangnya.
Advertisement
Melihat Yogyakarta yang dulu bersih, sekarang sudah tidak terdefinisikan lagi. Ditambah lagi literasi persampahan yang minim membuat beberapa orang memilih jalan pintas untuk membakar sampahnya. Bukan hal yang salah, tapi dalam pembakaran sampah perlu pemilahan dan pemilihan tempat agar tidak memunculkan permasalahan lain, yaitu polusi udara. Sehingga tak lama berselang, fenomena pneumonia pun merebak di beberapa daerah dan rata-rata yang terdampak adalah anak-anak.
Sampah Adalah Permasalahan Serius
Selama ini kita masih belum sadar bahwasanya permasalahan sampah adalah permasalahan serius. Yang bukan hanya sebatas membuang pada tempatnya saja, tetapi juga memilah sebagai esensi terpentingnya. Sebagai warga Indonesia dan tinggal di Yogyakarta selama lebih 30 belum pernah saya mendapatkan literasi atau edukasi terkait persampahan kecuali imbauan ”Jangan buang sampah sembarangan”.
Slogan ”Jangan buang sampah sembarangan” memang terbukti efektif dan menghasilkan Yogyakarta sebagai kota dan provinsi yang bersih. Nyaris tidak melihat sampah berserakan dipinggir jalan, meski tetap ada, tapi itu tidak banyak. Karena memang penerapan membuang sampah pada tempatnya sudah menjadi budaya masyarakat Yogyakarta.
Tetapi, permasalahan utama bukanlah tentang sampah yang dibuang sembarangan, melainkan manajemen pengelolaan sampah dan pemilihannya, yang dirasa sangat terlambat. Masyarakat kita belum siap mengelola sampahnya secara mandiri dikarenakan masyarakat kita tidak dibiasakan untuk memilah sampah, ditambah lagi penanganannya yang dirasa kurang serius. Sehingga masyarakat hanya bisa mengeluhkan tanpa ada solusi yang pasti dari pemerintah sebagai pihak pengelola.
Pemerintah pun sampai hari ini seperti belum memberikan solusi yang efektif dan beberapa kebijakan yang dirasa masih belum digarap secara serius dalam permasalahan sampah ini. Langkah awal yang dilakukan pemerintah dengan membuka TPS-TPS darurat sementara di beberapa titik di Jogja, untuk menampung limbah rumah tangga dengan catatan sudah ”dipilah”. Bank sampah pun belum seutuhnya menjawab permasalahan ini, karena rata-rata sampah yang ditampung adalah sampah anorganik dari bahan sintetik tertentu.
Belum lama juga Intermediate Treatment Facility (ITF) di Bawuran, Pleret yang direncanakan untuk pengolahan sampah skala kecil dengan target 5 ton per hari pun terancam mangkrak. Sedangkan ITF ini ditargetkan akan beroperasi September 2024 mendatang. Belum ada penjelasan yang pasti dari pihak DLH Bantul dalam menanggapi isu ini selain adanya permasalah komunikasi antara pihak DLH dengan kontraktor yang akan menggarap proyek ITF tersebut.
Literasi Sampah dan Proyek Masa Depan
Permasalahan-permasalahan diatas seperti sebuah rangkuman panjang tentang bagaimana selama ini isu sampah tidak pernah dianggap serius di Yogyakarta, baik di tingkat kota/kabupaten sampai tingkat provinsinya. Masyarakat selama ini dimanjakan dengan tanpa adanya literasi dan buaian identitas kota yang bersih. Maka, sudah saatnya kita semua sebagai stakeholder kota ini mulai sadar akan pentingnya sampah dan literasi sampah itu sendiri.
Disadari atau tidak permasalahan sampah tidak bisa ditangani sendiri oleh pemerintah. Namun, masyarakat pun harus mulai sadar dengan hal tersebut. Itulah mengapa pentingnya literasi sampah mengingat masyarakat merupakan salah satu pelaku aktif penyumbang sampah. Sehingga perlu disadarkan dengan pengetahuan sehingga dapat menjadi keyakinan dan kepedulian dalam tatanan masyarakat kita dalam memandang isu sampah.
Ada kalanya sampah memang sesuatu yang sepele dan tidak ada harganya, karena sampah memang secara definisi adalah sisa atau hasil dari kegiatan manusia sehari-hari yang tidak bisa lagi bermanfaat. Definisi tersebut sudah melekat erat di alam bawah sadar masyarakat kita.
Padahal, di beberapa kalangan masyarakat sampah merupakan sumber kehidupan sebagai bahan produk yang dapat dimanfaatkan bahkan menghasilkan keuntungan. Maka, literasi menjadi sangat penting dan krusial karena selama ini kita belum pernah melihat penekanan literatur yang spesifik dalam pengelolaan sampah. Baik di dunia pendidikan pun literasi sampah belum dilakukan secara serius.
Di belahan dunia lain, sampah mungkin didefinisikan lebih dari keuntungan, Maishima Incineration Plant salah satu contohnya. Maishima Incineration Plant adalah tempat pengolahan sampah di Jepang dengan design yang unik karena tempat pengolahan sampah ini juga menjadi destinasi wisata sekaligus sarana edukasi masyarakat dalam pengelolaan sampah.
Konsep seperti ini dapat kita adopsi sebagai investasi masa depan, sehingga representasi sampah tidak lagi sebagai hal yang kotor dan tidak berguna. Melainkan representasi sampah bisa menjadi investasi masa depan dan sumber anugrah bagi umat manusia.
***
*) Oleh : Fuandani Istiati, S.I., Kom., M.A., Dosen Ilmu Komunikasi UAD.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id.
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected].
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |