Kopi TIMES

Pendidikan Bukan Hanya Tentang Naik Kelas

Rabu, 14 Agustus 2024 - 09:57 | 24.57k
Rizky Ridho Pratomo, Volunteer Enthusiast dan Content Writer
Rizky Ridho Pratomo, Volunteer Enthusiast dan Content Writer

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pendidikan memang penting untuk kemajuan sebuah bangsa, tetapi apa makna dari pendidikan itu sendiri? Di satu sisi, pendidikan seringkali dipandang sebagai upaya untuk naik kelas dan mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Dalam konteks ini, menempuh pendidikan hingga ke perguruan tinggi menjadi sangat penting. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin terpandanglah seseorang. 

Survei dari IDN Times tahun 2022 menemukan bahwa tiga alasan paling banyak dalam memilih jurusan kuliah adalah ingin mendapatkan pengetahuan baru (52,4%), menjadi profesional di suatu bidang (43,3%), dan harapan mendapat pekerjaan lebih mudah (32.1%). Data ini sedikit banyaknya jadi cerminan soal harapan dan ekspektasi terhadap perguruan tinggi. 

Advertisement

Namun demikian, tidak sampai 7% orang Indonesia lulus perguruan tinggi pada tahun 2023. Riset dari Kompas tahun 2022 mengindikasikan kenaikan kuliah yang tidak sebanding dengan kenaikan gaji. Angka partisipasi kasar perguruan tinggi pun hanya mencapai 31,45% di tahun 2023. Beberapa media bahkan juga menyoroti kasus anak muda yang terpaksa mengundurkan diri dari kuliah karena mahalnya biaya pendidikan tinggi.

Data-data tersebut membuat penulis khawatir bahwa upaya untuk naik kelas melalui pendidikan tinggi hanyalah mimpi belaka bagi sebagian besar masyarakat. Tidak semua lapisan masyarakat memiliki akses dan kekuatan finansial yang memadai untuk bisa kuliah di perguruan tinggi. Bappenas tahun 2024 mencatat ada 40 juta pekerja yang bergaji di bawah 5 juta dengan rata-rata jumlah anggota keluarga sebanyak lima orang. 

Sementara itu, menurut Badan Pusat Statistik tahun 2021, total biaya yang perlu dikeluarkan untuk kuliah di universitas negeri adalah Rp12,71 juta dan di universitas swasta Rp17,01 juta. Jumlah tersebut bisa bervariasi tergantung pada jurusan dan universitas yang dipilih.

Kalaupun seseorang berhasil mengenyam pendidikan tinggi, tidak ada jaminan mereka bisa langsung mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. Banyak dari rekan-rekan penulis yang bekerja di bidang yang jauh berbeda dari jurusan yang mereka ambil saat kuliah, sehingga mereka harus belajar lagi dari nol. Situasi tersebut akan berbeda jika kita mengambil jalur karier sebagai peneliti atau dosen yang menuntut keselarasan dalam keilmuan.

Proses untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik pun memerlukan waktu yang tidak sebentar. Ada banyak hal yang harus dipelajari di luar pendidikan formal, seperti norma dan etika profesional, kemampuan teknis terkait pekerjaan, keahlian mengelola emosi, membangun jaringan profesional, cara memperlakukan orang dengan baik dan santun, pengelolaan finansial yang cakap, serta ilmu agama dan lainnya. Kombinasi ilmu-ilmu tersebut, ditambah dengan keahlian yang diasah saat kuliah, menjadikan kita pribadi yang holistik dan kompeten.

Artinya, gelar pendidikan tinggi hanya menjadi pembuka pintu bagi kita untuk memulai perjalanan hidup yang sebenarnya. Hal itu pun karena ekosistem kita masih memandang gelar sarjana penting dan relevan. Gelar pendidikan artinya kita bertanggung jawab atas pilihan pendidikan kita.

Namun bagi penulis, pendidikan bukanlah tentang mencapai upaya naik kelas. Itu hanya konsekuensi dari proses pendidikan itu sendiri. Pendidikan adalah proses mendidik diri sendiri agar terus relevan, kompeten, beradab, dan bermanfaat melalui proses pembelajaran yang tidak pernah putus. Zaman pasti berubah, sehingga kita perlu mempelajari hal-hal baru dari berbagai sumber, berpikiran terbuka, dan tetap rendah hati. 

Jika dipikirkan kembali, bukannya itu tujuan akhir pendidikan?

***

*) Oleh : Rizky Ridho Pratomo, Volunteer Enthusiast dan Content Writer.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES