TIMESINDONESIA, CIPUTAT – Kemajemukan Indonesia tidak lagi menjadi hal yang perlu dipertanyakan eksistensinya, kemajemukan amatlah terang benderang bak matahari di siang hari, kemajemukan atau pluralitas sosial di Indonesia dapat ditemukan dalam berbagai bidang seperti agama, etnis, bahasa dan sebagainya. Polemik pluralitas yang masih menjaga eksistensinya sampai saat ini ialah polemik mengenai agama dalam konteks plural isu-isu intoleranisme masih menjadi buah bibir yang hangat diperbincangkan hingga saat ini.
Wacana solutif atas polemik di atas sebetulnya telah terjawab sejak lama, yaitu dengan mengedepankan sikap toleran dan masifitas akan doktrin beragama secara inklusif. Toleranisme seharusnya menjadi conventional wisdom, bahkan semacam hukum tak tertulis bagi masyarakat plural dalam rangka terciptanya masyarakat yang humanistik (civil humanist) yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan bernegara yang implikasinya adalah memperkecil probabilitas terjadinya konflik antar umat beragama.
Advertisement
Toleransi dapat dianggap suatu prinsip fundamental demokrasi yang memiliki kekuataan ambivalen yang termanifestasi dalam dua bentuk: bentuk solid dan bentuk demokratis. Menjadi individu yang toleran dapat dilakukan dengan membiarkan orang lain menjadi dirinya sendiri, menghargai pilihan orang lain atas dirinya sendiri, toleransi menggiring dialog akan suatu sikap saling mengakui satu sama lain.
Toleransi tidaklah berkonsekuensi akan suatu tindakan afirmasi akan kebenaran suatu agama, permisalan historis akan hal ini ialah pengakuan akan kerasulan Nabi Muhammad yang dilakukan oleh Kaisar Heraklius dari Bizantium dan Al Mukaukis penguasa Kristen koptik dari Mesir, pengakuan tersebut tidak lantas menjadikan mereka berdua seorang muslim. Konsep toleransi merupakan konsep yang amat moderat bagi umat beragama untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerja sama dalam bingkai plural.
Kebebasan Beragama Sebagai Solusi Valid
Jawaban solutif selanjutnya atas fenomena pluralitas sosial yang terjadi di Indonesia adalah dengan menormalisasi diksi “Kebebasan Beragama”, diksi kebebasan beragama kerap dianggap sebagai wacana liberal yang kelak akan menghantarkan kepada degradasi nilai fundamentalis beragama, padahal dalam realitanya kebebasan beragama cukup untuk menjadi solusi valid bagi pluralitas sosial di Indonesia.
Konsep kebebasan beragama ini juga telah banyak dijelaskan oleh para cendikiawan nasional seperti Buya Syafi’i Ma’arif (Mantan Ketua PP Muhammadiyah) yang dalam pandangannya mengenai kebebasan beragama erat korelasinya dengan hak asasi manusia, bahwa setiap manusia memiliki hak merdeka beragama dan berkeyakinan, hak kemerdekaan ini mempunyai dua poin penting dalam pelaksanaannya yaitu, menghormati keputusan orang lain dalam pilihannya, kemudian tidak adanya pemaksaan dalam beragama dan berkeyakinan.
Kebebasan beragama, berkeyakinan, dan berekspresi dapat diklasifikasikan menjadi satu kesatuan dalam Hak Asasi Manusia yang juga dilindungi baik dalam hukum nasional maupun hukum internasional. Jaminan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam hukum internasional dapat ditemukan dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 1948 atau the 1948 Universal Declaration of Human Rights (UDHR), Kovenan International tentang Hak-hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Pasal yang berkaitan dengan kebebasan beragama dalam hukum nasional juga dapat ditemukan dalam Pasal 22 Undang-undang Hak Asasi Manusia sebagai berikut: Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Segala jenis bentuk beragama baik dalam keyakinan maupun peribadatan yang mencakup di dalamnya ketentuan berpakaian dalam beragama juga menjadi unsur yang diakui kebebasannya dalam undang-undang. Namun pada kenyataannya narasi mengenai toleransi dan kebebasan beragama tidak sepenuhnya berjalan mulus di Indonesia, pasalnya isu-isu terkait intoleransi masih saja tergaung di tengah publik.
Kemerdekaan
Realita yang menurut kami ironis ialah adanya narasi intoleransi yang akhir-akhir ini kembali mencuat di media massa mengenai adanya kebijakan diskriminatif yang menyudutkan perempuan muslimah dengan adanya penyeragaman kostum pasukan pengibar bendera (Paskibraka) dalam rangka upacara menyambut hari kemerdekaan tanpa adanya opsi penggunaan hijab bagi pasukan perempuan yang beragama Islam.
Kepala BPIP Prof Yudian Wahyudi selaku penanggung jawab memberikan klise mengenai pentingnya keseragaman dalam pengibaran bendera yang menurut penulis terdapat beberapa kesalahan berpikir (logical fallacy) sekaligus kontradiksi. Kesalahan berpikir yang pertama ialah terjadinya nir-representasi keragaman dalam proses pengibaran bendera tersebut, sakralitas kebhinekaan Indonesia perlu dipertanyakan apabila kebhinekaan dalam hal teknis seperti cara berpakaian dalam pengibaran bendera saja dipermasalahkan.
Kesalahan yang kedua adalah kontradiksi yang terjadi dalam narasi-narasi toleransi yang selalu dibangun, seharusnya BPIP selaku penanggung jawab dapat bersikap toleran terhadap cara berpakaian yang berlaku pada ketentuan agama, bukan malah membuat standar pakem berpakaian yang ironisnya bertentangan dengan ketentuan salah satu agama di Indonesia dengan klise keseragaman.
Tujuan pandangan beliau dalam beberapa tulisannya yang menerangkan tentang inklusifitas beragama juga perlu adanya analisa kembali. Isu intoleransi dalam beberapa tulisan beliau agaknya hanyalah tertuju pada kelompok mayoritas, yang argumen ini dikuatkan dengan upaya menyamakan antara ego-mayoritas dengan tindakan rasisme.
Secara apriori narasi tersebut dapat dibenarkan dan juga disalahkan, bahkan aturan pakem berpakaian tersebut merupakan salah satu bentuk rasisme kepada kelompok mayoritas dengan berdalih “meruntuhkan ego-mayoritas”. Kelompok mayoritas dan kelompok minoritas dalam filsafat perenialistik merupakan komponen yang egaliter dalam hak dan kewajiban.
Akibat adanya fenomena diskriminatif seperti di atas maka bias makna toleransi semakin jelas, dengan adanya kesan skeptistik, kepada siapakah isu toleransi itu dituju, dan apa yang dimaksud toleransi apabila diksi tersebut hanya ditujukan kepada salah satu kelompok. (*)
***
*) Oleh: Abudzar Al Ghifari Marwan, Aktivis HMI Cabang Ciputat.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
_____
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |