TIMESINDONESIA, JAKARTA – Mengejutkan, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Baleg DPR RI) akan merevisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) pada hari Rabu (21/8/2024). Pembahasan revisi itu bergulir usai Mahkamah Konstitusi (MK) memutus judicial review atas UU Pilkada yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora, Selasa (20/8/2024).
Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 tersebut memuat, ambang batas (threshold) pengusungan calon kepala daerah di pilkada disetarakan dengan besaran persentase persyaratan calon perseorangan, yaitu berbasis jumlah penduduk.
Advertisement
Siasat politik dibalik upaya pengesahan RUU Pilkada oleh Badan Legislasi Republik Indonesia ini membangkitkan amarah publik. Karena Upaya pengesahan RUU Pilkada ini kental dengan unsur politis dan dilakukan hanya dalam hitungan jam setelah Putusan MK dibacakan.
Sejak terbitnya Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, banyak kelompok politik yang terganggu dengan hasil Putusan ini. Sehingga melakukan segala cara untuk mencari celah dalam mendelegitimasi Putusan MK tersebut.
Adu Mekanik Lembaga Negara
Suasana “kegilaan” demokrasi pada rezim Presiden Jokowi sudah dibatas yang sangat serius. Dalam seluruh pertarungan politik belakangan ini, baik Pileg maupun Pilpres, Jokowi dan kelompok politiknya sangat mendominasi dan mengintervensi lembaga negara dengan regulasi politik yang ugal-ugalan.
Indonesia adalah negara hukum, sehingga seluruh tindakan negara harus didasarkan pada ketentuan hukum. Karena tindakan negara yang tidak berdasarkan hukum selalu dengan sendirinya melanggar keadilan.
Namun bukan tindak mungkin, dibawah topeng legalitas, kesewenangan kekuasaan negara dapat merajalela dengan bebas (Frans Magnis-Suseno, 2018). Skema politik rezim jokowi untuk melanggengkan kekuasaannya telah melukai esensi kita sebagai negara hukum yang demokratis.
Secara filosofis MK melakukan prinsip checks and balances (mengawasi dan mengimbangi) pembentukan UU. Hal ini sebagaimana kutipan pernyataan Hans Kelsen sebagai berikut, “recognized the need for an institution with power to control or regulate legislation”. Artinya, MK terbentuk sebagai jawaban atas perlunya cabang kekuasan yang mampu mengontrol atau mengawasi pembentukan legislasi (UU).
Tindakan untuk mengesahkan UU Pilkada setelah Putusan MK ini, sangat kental dengan nuansa politik dan berbahaya bagi demokrasi dan sistem hukum negara kita. Sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD1945, Putusan Mahkamah Konsitusi bersifat final dan mengikat.
Selain itu, Putusan MK bersifat Erga Omnes yang bermakna mengikat untuk semua pihak, termasuk DPR, Presiden, hingga Komisi Pemilihan Umum (KPU). Maka dari itu, jelaslah bahwa putusan MK tidak dapat dianulir atau diubah melalui revisi undang-undang yang telah dibatalkan MK.
Upaya DPR yang mendadak menggelar rapat untuk membahas revisi UU Pilkada dapat dikategorikan sebagai tindakan yang menyalahi hukum demi kepentingan politik (pembangkangan konstitusi). Tindakan semacam ini, menunjukkan adanya kepentingan tertentu yang mencoba untuk mengabaikan prinsip negara hukum yang seharusnya dipegang teguh oleh setiap komponen bangsa (Amal, T. A. 2024).
Memecah Kebuntuan
Fenomena kegamangan hukum antar lembaga negara ini, haruslah disikapi dengan arif dan bijaksana. Komisi Pemilihan Umum adalah pintu terakhir untuk menjawab keraguan publik. Adanya dua aturan hukum Putusan MK dan UU Pilkada yang baru, harus ditentukan secara obyektif dan berdasar pada keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum.
Pertarungan Kekuasaan Politik, selalu menggunakan seluruh strategi dan siasat untuk mencapai tujuannya, dan seringkali mengabaikan aturan dan prinsip dasar dalam hukum. Karena itulah penting untuk membuat regulasi politik yang jangka panjang. Hal ini untuk mencegah supaya aturan main politik tidak diubah 5 tahunan oleh kelompok kepentingan tertentu.
Sistem Negara demokrasi memastikan bahwa rakyat adalah sepenuhnya pemilik kedaulatan. Sehingga sebagai bangsa yang beradab, kita bertugas untuk memastikan seluruh proses politik hukum ini berjalan dengan baik dan sesuai prosedur hukum. Sehingga tidak ada kewenangan lembaga negara yang tumpang tindih satu sama lain.
***
*) Oleh : Taufikur Rohman, S.H., Founder Cakap Hukum dan Co-Founder Navigator Muda Indonesia.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |