TIMESINDONESIA, BANTEN – Dalam dua bulan ke depan, pada November 2024, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak sedang menanti. Pilkada yang menerapkan asas bebas, rahasia, jujur dan adil diharapkan menjadi langkah awal yang baik bagi pembangunan bangsa. Oleh karenanya, nilai-nilai demokratis dan transparansi dalam Pilkada harga mati, yang harus dijunjung bersama baik kontestan maupun partisan.
Dalam alam demokrasi, peran partisan sangat sentral. Kualitas Pilkada, seperti halnya Pemilu, sebagai suatu mekanisme politis untuk mengangkat seorang pemimpin, ditentukan kualifikasi partisan politik. Dalam mekanisme semacam ini, peran pemilih adalah pemberi mandat bagi kontestan yang keluar sebagai pemenang. Demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Advertisement
Dalam teori demokrasi Islam, peran dan fungsi pemilih juga topik sentral. Imam Al-Haramain Abu-l-Ma'ali Al-Juwaini (1028-1085 M), dalam kitabnya Ghiyatsu-l-Umam fi Iltibasi-l-Zhulam, menganggap persepektif pemilih sebagai pertimbangan utama formula kepemimpinan dalam Islam. Pengangkatan seorang pemimpin harus diukur dari tingkat solidaritas pemilih.
Al-Juwaini berbeda dari pandangan mayoritas ulama yang mengatakan pengangkatan seorang pemimpin diukur dengan ukuran kuantitatif dan besaran jumlah suara. Dasar para ulama ini adalah pengangkatan pemimpin negara sama dengan pengangkatan imam shalat Jumat, yang harus memenuhi sekian jumlah jamaah.
Al-Juwaini menilai masalah politik pengangkatan seorang pemimpin jauh lebih urgen dan mendesak dari pada penentuan imam shalat. Karenanya ukuran-ukuran angka kuantitatif yang berlaku dalam imam shalat tidak bisa jadi patokan atau analogi urusan kebangsaan dan kenegaraan. Untuk keluar dari perdebatan ini, Al-Juwaini menawarkan standarisasi baru, yaitu solidaritas sosial.
Seorang pemimpin terpilih harus mampu mengendalikan gejolak sosial, meredam konflik, merangkul kepentingan semua pihak, serta harus memiliki kualitas independensi yang tinggi. Istilah dari Al-Juwaini adalah seorang pemimpin harus seorang Mujtahid. Dengan kemampuan ijtihad yang independen ini, seorang pemimpin tidak dikendalikan oleh kepentingan pihak-pihak tertentu, melainkan kepentingan publik dan rakyat banyak.
Standar kualitatif ala Al-Juwaini tersebut menjadi pijakan emosional bagi rakyat pemilih, yang merasa hak-hak aspirasi politiknya tidak tersampaikan. Kerap kali kontestan Pilkada, termasuk Pemilu, yang sudah menang di TPS (tempat pemungutan suara) namun kalah di tahan perhitungan akhir. Manipulasi-manipulasi dalam pemilihan umum lahir karena mengejar angka kuantitatif, dan pemilihan umum tidak diorientasikan untuk menampilkan kualitas-kualitas putra bangsa.
Rakyat Pemilih adalah Raja
Proses pemilihan pemimpin yang mengecewakan aspirasi pemilih melalui kecurangan-kecurangan Pemilu, misalnya, tidak memiliki nilai dalam pandangan politik Islam. Karena rakyat pemilih adalah raja, sekaligus pemberi mandat kepada pemimpin, maka aspirasi pemilih harus dinomorsatukan.
Abu Bakar Muhammad bin Walid Al-Thurthusyi (1059-1127 M.), dalam kitabnya yang terkenal Siraju-l-Muluk fi Suluki-l-Muluk, membandingkan seorang pemimpin dengan koki yang bertugas di dapur, berjuang melawan panas asap dan keringat lelah, hanya demi menyiapkan hidangan. Ketika semua hidangan telah selesai, sang koki tidak menikmati jerih payahnya sendiri.
Sementara rakyat pemilih bagi Al-Thurthusyi, adalah para pelanggan yang menikmati makanan buatan sang koki. Mereka duduk tenang menunggu, lalu makan menikmati hidangan dengan tenang, tanpa harus bersusah payah menghadapi asap dan api di dapur, tanpa perlu berkeringat. Pemimpin ibarat seorang pelayanan, dan rakyat adalah rajanya.
Perbandingan yang dibuat oleh ulama muslim di bidang kajian politik Islam, tidak menyalahi prinsip dalam kaidah hukum fikih Islam, bahwa setiap kebijakan pemimpin harus berorientasi pada kepentingan rakyat atau Tasharrufu-l-Imam Manuthun bi-l-Mashlahah. Pengertian Maslahah yang dimaksud dalam kaidah fikih ini adalah maslahah yang dimaksud dalam fikih siyasah Islam.
Dengan begitu, kepentingan para partisan pemilih di Pilkada serentak nanti harus diutamakan. Dan para kontestan juga harus mengutamakan kepentingan pemilihnya dari pada kemenangan dirinya sendiri, dengan tetap menerapkan asas jujur dan adil, tanpa manipulasi apapun terhadap hasil dan kertas suara. Sebab, sorang pemimpin tidak harus mereka yang banyak mendulang suara, tapi pemimpin adalah yang mengutamakan rakyat. Mereka menjadi juara di hati rakyat alias "people champion". (*)
***
*) Oleh : Imam Nawawi, Dosen Universitas Syeikh Nawawi Banten.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |