Tantangan dan Peluang Digitalisasi Industri Kesehatan
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Teknologi kesehatan digital sedang berkembang pesat dan mempermudah warga bangsa Indonesia mengakses layanan kesehatan.
Berkat teknologi kesehatan digital, kini orang Indonesia dapat mengakses informasi kesehatan secara mudah. Mereka juga dapat memantau kondisi kesehatan secara real-time, dan dapat membeli obat secara online.
Advertisement
Pandemi Covid-19 dan perkembangan teknologi digital adalah faktor yang memicu digitalisasi kesehatan di Indonesia dapat melakukan lompatan besar. Pandemi Covid-19 ‘memaksa’ pihak Kemenkes RI membaharui visinya, melakukan digitalisasi di sektor kesehatan, mulai dari pelayanan kesehatan pada awal kehidupan di dalam kandungan hingga pelayanan kesehatan terpadu bagi pasien lansia.
Visi tersebut tertuang di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI) No. 21 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2020-2024. Permenkes tersebut mensyaratkan adanya upaya perubahan tata kelola pembangunan kesehatan yang meliputi integrasi sistem informasi, penelitian, dan pengembangan kesehatan.
Permenkes itu pun memuat sejumlah target transformasi digital kesehatan Indonesia di antaranya menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi dan ketrampilan digital sehingga dapat menganalisa data kesehatan sehingga dapat memberi solusi secara lebih akurat.
Bertumbuh Pesat
Proses digitalisasi di sektor industri kesehatan memang sedang melaju pesat. Sebagaimana diketahui, antara periode 1990-2020, sektor pelayanan kesehatan Indonesia secara bertahap mengadopsi teknologi informasi untuk mengembangkan bisnis sekaligus peningkatan pelayanannya.
Data Kemenkominfo (2019) menyebutkan, pada awal tahun 2019 sebanyak 3.126 fasilitas layanan kesehatan membutuhkan optimalisasi layanan internet. Namun, pada akhir 2019, Kemenkominfo telah menyediakan akses internet pada 226 titik fasyankes (fasilitas layanan kesehatan).
Selanjutnya sebanyak 2.192 fasyankes adakan dilakukan percepatan layanan internet pada 2020. Sebanyak 708 fasyankes akan dilakukan akselerasi akses internet pada kuartal 1 tahun 2021.
Data Badan Pusat Statistik (2022), menunjukkan bahwa rata-rata fasyankes primer dan sekunder tumbuh 1,5 persen per tahun. Jumlah tersebut meningkat sebesar 12.601 unit pada 2017 menjadi 13.372 unit pada 2021.
Jumlah puskesmas rata-rata tumbuh 1,09 persen pertahun atau meningkat dari 9.825 unit pada 2017 menjadi 10.260 pada 2021. Sedangkan rumah sakit (baik rumah sakit umum dan khusus), rata-rata tumbuh 2,9 persen pertahun atau naik dari 2.776 unit pada 2017 menjadi 3.112 unit pada 2021.
Kesenjangan digital
Kemenkes mengungkapan bahwa sejak tahun 2020, warga Indonesia memang memiliki kecenderungan untuk memanfaatkan teknologi digital guna mengakses informasi dan layanan kesehatan.
Data yang dirilis oleh DMN3 (2020) menyebutkan bahwa dalam era digital, sebanyak 47 persen konsumen mencari informasi tentang dokter. Namun, tren mengakses infomasi dan layanan kesehatan secara online tidak optimal karena terkendala oleh faktor kesenjangan digital atau digital divide (digital gap).
Kesenjangan digital terjadi karena persebaran perangkat digital dan ketersediaan internet yang belum merata, dan tingkat literasi digital sebagian warga masyarakat masih rendah. Data Kemenkominfo (2022) menunjukkan dari skala 5, indeks literasi digital masyarakat Indonesia ada di angka 3,54.
Pemanfaatan AI dalam Tes Genomik
Tantangan digitalisasi industri kesehatan berikutnya adalah mengelola potensi genomik dengan baik. Situs web Prodiagital.com menerangkan bahwa genomik adalah studi tentang profil gen yang ada di dalam DNA seorang individu. Genomik mempelajari tentang fungsi gen, perkembangan, serta respons atau kinerjanya di dalam tubuh yang berefek terhadap kesehatan seseorang.
Tes genomik berbeda dengan tes genetik. Tes genetik memeriksa mutasi pada satu gen tunggal, sementara tes genomik memeriksa genom yaitu set lengkap gen pada tubuh seseorang untuk mendeteksi interaksi gen terhadap tubuh dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan seseorang.
Melalui pemanfaatan teknologi digital, terutama teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Raquel Dias & Ali Torkamani (2019) mengemukakan bahwa algoritma AI dapat secara signifikan meningkatkan pemetaan fenotipe ke genotipe, terutama melalui ekstraksi konsep diagnostik tingkat tinggi yang tertanam dalam citra medis dan ata catatan kesehatan elektronik yang lebih besar dan kompleks sehingga memberikan prediksi akurat tentang apa yang mungkin terjadi pada kondisi pasien di masa mendatang.
Algoritma berbasis AI bisa menjadi alat bantu medis yang super dalam kemampuannya menafsirkan data yang kompleks. Namun, kekuatan dan kompleksitasnya juga dapat menghasilkan kesimpulan yang salah atau bahkan tidak etis dan diskriminatif ketika diterapkan pada data kesehatan manusia.
Jadi, untuk meminimalkan risiko, diperlukan skoring risiko genetik yang relevan, serta data dalam jumlah banyak yang sudah dipersonalisasi dan dikombinasikan dengan faktor lingkungan, perilaku, dan riwayat medis yang lengkap. Selain itu, penerapan AI dalam tes genomik mengandaikan sikap yang teliti dan pertimbangan yang cermat.
Tanpa pertimbangan yang cermat terhadap metode dan bias yang tertanam dalam sistem AI terlatih, dan tapa regulasi serta panduan etis yang baik, kegunaan praktis dari teknologi AI dalam diagnostik klinis menjadi terbatas, bahkan menimbulkan masalah hukum dan etika.
Data Terfragmentasi
Tantangan yang lebih sulit dari upaya pengembangan digitalisasi industri kesehatan adalah stats data kesehatan yang masih terfragmentasi karena masih banyak yang dalam format kertas (belum proses digitilisasi), serta tersebar dan tercecer di banyak tempat.
Salah satu ekosistem pendukung digitalisasi kesehatan adalah ketersediaan big data. Sumber big data yang paling umum dalam perawatan kesehatan adalah catatan kesehatan elektronik (digital), yang biasanya berisi riwayat medis pasien, informasi demografi, pengobatan, imunisasi, hasil tes, dan catatan kemajuan kesehatan pasien.
Namun, ekosistem ini masih jauh dari kenyataan bagi industri kesehatan Indonesia. Pasalnya, data kesehatan yang masih terfragmentasi, karena sebagian besar belum direkam secara elektronik.
Kementerian Kesehatan atau Kemenkes (2020) mencatat rasio dokter di Indonesia adalah 03,8 per 1.000 populasi, sedangkan rasio tempat tidur RS berkisar 1,2 per 1.000 populasi. Padahal total populasi Indonesia pada tahun 2020 adalah 270 juta.
Menurut Kemenkes, setiap penduduk memiliki rekam medis masing-masing. Rekam medis tersebut umumnya dicatat dalam bentuk kertas, baru sedikit yang dicatat dalam format digital.
Kemenkes juga mencatat, per tahun 2023, Indonesia memiliki 3.155 lembaga layanan kesehatan, baik yang milik pemerintah maupun swasta. Sebagian besar lembaga kesehatan tersebut mengelola data kesehatan berbasis individu yang masih dalam bentuk lembaran kertas.
Sementara itu, situs web sehatnegeriku.kemkes.go.id mencatat, hingga November 2023, Indonesia memiliki lebih dari 60.000 fasilitas kesehatan berlokasi di Indonesia, mulai dari lebih dari 10.000 fasilitas perawatan primer, 17.000 klinik swasta, 3.000 rumah sakit, 1.000 laboratorium, dan lebih dari 30.000 apotik.
Ribuan lembaga kesehatan itu menerbitkan jutaan resep berbasis informasi individual, umumnya bentuk lembaran kertas juga. Pada sisi lain, ada jutaan klaim yang diterbitkan berbasis informasi individual, yang masih dalam bentuk kertas.
Lebih daripada itu, setelah melakukan pemetaan Kemenkes juga mencatat ada lebih dari 400 aplikasi sektor kesehatan yang diterbitkan oleh pemerintah dan sektor swasta. Tantangan industri kesehatan Indonesia, bukan saja pada jumlah data yang sangat banyak, tetapi juga pada persebaran data yan sangat luas, dan berada di tangan 202.967 tenaga medis (dokter umum dan dokter spesialis) di Indonesia saat ini.
Privasi dan keamanan Data Pasien
Selain belum sepenuhnya digitalisasi, data kesehatan Indonesia yang sudah dalam format digital pun masih terbelenggu oleh masalah keamanan dan privasi data.
Privasi data, yang sering disebut sebagai privasi informasi, adalah tentang penggunaan dan penanganan data yang tepat khususnya, data pribadi. Privasi data berfokus pada hak individu untuk mengendalikan atau memengaruhi data apa yang dikumpulkan tentang mereka, bagaimana data tersebut digunakan, oleh siapa, dan untuk tujuan apa.
Sedangkan, keamanan data mengacu pada tindakan perlindungan privasi digital yang diterapkan untuk mencegah akses tidak sah ke komputer, basis data, dan situs web. Keamanan data juga melindungi data dari kerusakan. Ini adalah praktik menjaga data terlindungi dari kerusakan dan akses tidak sah, sehingga memastikan privasi.
Keamanan data mencakup berbagai tindakan keamanan, seperti enkripsi, autentikasi, kontrol akses, tindakan keamanan jaringan (seperti firewall), dan praktik pengkodean yang aman. Hingga saat ini, ekosistem privasi dan keamanan data pasien belum tercipta dengan baik di industri kesehatan Indonesia.
Buktinya, hasil studi dari Verizon yang dilakukan selama periode 1 November 2020 hingga 31 Oktober 2021 menunjukkan bahwa setidaknya terdapat 5.212 kasus kebocoran data di berbagai industri dalam jangka waktu 1 tahun, dimana industri kesehatan menyumbang 571 kasus kebocoran data diantaranya.
Pada Mei 2021, industri kesehatan kembali mengalami kebocoran jutaan data. Saat itu terungkap bahwa data ribuan data BPJS kesehatan bocor dan dijual di forum hacker. Kemudian, melalui sebuah unggahan di Raid Forum oleh pengguna dengan username Astarte menginformasikan data Kemenkes berkapasitas file 720 GB berisi 6 juta data pasien telah diretas dan di jual. Disebutkan, penjual data juga memberi sampel berisi data radiologi dari berbagai rumah sakit di Indonesia.
Strategi dan Solusi
Untuk mendorong percepatan digitalisasi industri kesehatan, Indonesia memang perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi berbagai tantangan atau kendala di atas.
Untuk mengatasi kesenjangan digital, pemerintah sedang berupaya mempercepat pembangunan infrastruktur digital. Salah satunya melalui kerja sama dengan Starlink, yang menyediakan jasa internet berbasis satelit sehingga menjangkau warga di daerah pedesaan termasuk di daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar).
Sejak 2017 lalu, pemerintah melalui Kemenkominfo, mengadakan pendidikan dan pelatihan di bidang literasi digital melalui program literasi digital nasional dengan tajuk Indonesia Makin Cakap Digital.
Pelatihan tersebut menggunakan modul yang meliputi empat pilar literasi digital, yaitu digital ethics, digital skill, digital society, dan digital culture. Untuk mengatasi fragmentasi data, pemerintah Indonesia membangun Pusat Data Data Nasional.
Sementara itu, Kemenkes sendiri telah menyusun Peta Jalan Transformasi dan Digitalisasi Kesehatan yang meliputi sistem satu data kesehatan berbasis individu, sistem aplikasi kesehatan fasyankes terintegrasi, dan pengembangan ekosistem teknologi kesehatan melalui pengembangan telemedicine, implementasi regulatory sandbox, terkhusus inovasi bioteknologi.
Selanjutnya, untuk meningkatkan privasi dan keamanan data pasien, pihak manajemen lembaga kesehatan perlu segera mempertimbangkan penerapan sistem manajemen data yang lebih terproteksi seperti AVIAT SIMRS.
Sistem-sistem tersebut telah dilengkapi dengan fitur keamanan terbaru dan server lokal yang handal. Salah satunya adalah fitur pembatasan akses. Untuk pihak membantu rumah sakit meningkatkan kualitas keamanan data.
Sistem tersebut secara otomatis akan meminimalisir kelemahan dan celah sistem yang dapat dimanfaatkan oleh para pelaku peretasan data, baik dari oknum internal maupun pihak eksternal.
Selain itu, pemerintah juga perlu didorong untuk mempercepat peningkatan akses pelayanan kesehatan yang murah dan berkualitas bagi masyarakat. Salah satunya melalui pemanfaatan teknologi digital dengan menerapkan Rekam Medis Elektronik (RME) di Fasilitas Kesehatan di Indonesia.
Langkah ini tidak mustahil, karena telah mendapat landasan hukum yang kuat yaitu Peraturan Menteri kesehatan No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis yang diterbitkan pada Agustus tahun lalu.
Langkah strategis ini pun telah diperkuat juga dengan diterbitkannya UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang memuat ketentuan antara lain terkait teknologi kesehatan, dan sistem informasi kesehatan yang mendorong digitalisasi industri kesehatan. (*)
***
*) Oleh : Mubasyier Fatah, Koordinator Bidang Ekonomi Kreatif, Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU); Bendahara Umum PP MATAN; Pelaku Industri TI.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |