
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Peredaran rokok ilegal yang semakin marak tidak hanya menyasar kawasan-kawasan pelosok. Di perkotaan seperti di cafe, anak muda tidak malu mengonsumsi rokok ’’polos’’ yang populer di kalangan mereka. Murahnya harga rokok itu dan untuk memenuhi ’’kebutuhan’’, sebagai konsumen mereka tidak lagi memikirkan dampak buruk rokok ’’polos’’, yang penting bisa ’’ngebul” saat puntung rokok di hisap.
Pada dasarnya, cukai rokok dikenakan karena konsumsinya perlu dikendalikan. Konsumsinya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat sebagai konsumen dan lingkungan. Peredarannya perlu diawasi di an pemakaiannya perlu dibebankan penguatan demi keadilan dan keseimbangan.
Advertisement
Lantas, kenapa kita harus memberantas rokok ilegal? Apakah rokok ilegal merugikan konsumen? Jawabannya adalah ya. Rokok ilegal sangat merugikan banyak pihak. Mulai dari pemerintah, dunia usaha, hingga masyarakat sebagai konsumen.
Pertama, rokok ilegal merugikan keuangan negara karena produsennya tidak membayar cukai, pajak pertambahan nilai hasil tembakau (PPN HT), dan pajak rokok.
Hal ini menyebabkan hilangnya penerimaan negara yang berimplikasi nyata terhadap berkurangnya sumber daya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kedua, peredaran rokok ilegal memunculkan preferensi atau segmentasi baru dalam masyarakat akibat disparitas harga antara rokok legal dan rokok ilegal. Peredaran rokok ilegal menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat. Karena harga rokok ilegal lebih murah daripada rokok legal yang membayar cukai dan lainnya.
Ketiga, rokok ilegal merugikan konsumen karena tidak ada standardisasinya. Komposisi tidak sesuai takaran, kandungan nikotin dan tar serta bahan aktif lain dalam rokok ilegal tidak diinformasikan kepada konsumen. Hal ini memberikan dampak lebih buruk bagi kesehatan yang tentu sangat merugikan masyarakat.
Sementara dari cukai rokok legal itu ada yang didistribusikan ke daerah sebesar 3 persen. Namanya dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT) yang diatur dalam Undang-Undang Cukai Nomor 39 Tahun 2007 Pasal 66A ayat (1).
Pada 2023, DBH CHT diberikan sebesar 3 persen sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dana itu diprioritaskan untuk 50 persen di bidang kesejahteraan masyarakat, 40 persen di bidang kesehatan, dan 10 persen untuk penegakan hukum.
Pada 2023, Jawa Timur secara keseluruhan mendapatkan Rp 3,07 triliun. Sedangkan pada 2024 Jatim menerima Rp 2,77 triliun atau 55,73 persen dari total keseluruhan DBH CHT. Meskipun turun, perolehan DBH CHT itu tetap menjadi yang terbesar
Meskipun begitu, pemanfaatan DBH CHT dinilai belum berjalan efektif, mengingat masyarakat dan konsumen belum sepenuhnya tahu akan pemanfaatan DBH CHT. Salah satunya karena publikasi oleh kabupaten/kota di Jawa Timur belum masif. Selain itu, pemanfaatan dana DBH CHT belum menyentuh pada peningkatan sumber daya manusia (SDM), terutama pemberian beasiswa untuk anak-anak buruh pabrik rokok maupun buruh tani tembakau.
Kedepan, perlu dirumuskan kebijakan pemanfaatan DBH CHT berupa pemberian beasiswa pendidikan untuk anak-anak buruh pabrik rokok maupun buruh tani tembakau, guna mewujudkan pembangunan SDM dalam rangka mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Dengan pemanfaatan DBH CHT yang dikembalikan lagi ke masyarakat, sudah seharusnya kita bersama-sama memerangi rokok ilegal. Seluruh lapisan masyarakat berperan penting dalam pemberantasan rokok ilegal. Karena peredaran rokok ilegal merupakan mata rantai dari hulu hingga hilir. Di hulu, dalam hal ini produsen, berperan dengan tidak membuat rokok ilegal. Di tengah, pada jalur distribusi, terdapat peran jasa pengiriman atau ekspedisi, dengan tidak mengirimkan rokok ilegal. Sedangkan di hilir, dalam hal ini pedagang dan konsumen, harus berani untuk tidak menjual rokok ilegal dan tidak mengonsumsi rokok ilegal itu.
Untuk menekan peredaran rokok ilegal di Jawa Timur, satu langkah penting diinisiasi Kantor Wilayah Bea dan Cukai Jawa Timur II dengan tagline ’’Profesional Melayani, Tegas Mengawasi dengan Empati” melalui program sosial kultural. Kalangan pondok pesantren dirangkul dalam mengedukasi jemaah. Juga kegiatan bersalawat dan berdoa bersama demi NKRI ’’Gemah Ripah Loh Jinawi’’ yang diikuti masyarakat umum, termasuk buruh pabrik rokok.
Sedangkan dalam bidang penegakan hukum, perlunya pemanfaatan DBH CHT untuk membuat sosialisasi yang semakin efektif dan mudah diterima. Terutama melibatkan kalangan generasi muda, dengan pertimbangan penyebaran rokok ilegal sudah mengarah ke generasi muda di perkotaan.
Mengendalikan peredaran rokok ilegal di tengah kenaikan tarif cukai bukanlah langkah yang mudah. Diperlukan sinergi pemerintah dan masyarakat bersama-sama memerangi rokok ilegal demi menekan peredaran rokok ilegal, sekaligus menciptakan keadilan dan keseimbangan untuk kesejahteraan masyarakat. (*)
***
*) Oleh : Asep Suriaman, S. Psi, Direktur Eksekutif Pusat Studi Demokrasi dan Kebijakan Publik.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |