
TIMESINDONESIA, MALANG – Beliau seorang tokoh terkemuka dari generasi tabi’ut tabi’in. adalah sosok ahli ibadah yang banyak menghabiskan waktunya di Mekah dan Madinah. Kehidupannya penuh dengan cahaya ilmu, amal serta istiqomah dalam membela kebenaran. Dan salah satu kelebihannya yang dianugerahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepadanya adalah di munculkan banyak hikmah melalui lisannya.
Dari Abdullah Ash-Shomad Mardawaih Ash-Sha’igh, dia berkata: “Ibnul Mubarok berkata kepadaku bahwa sesungguhnya Al-Fudhail merupakan bukti kebenaran kekuasaan Allah ‘Azza wa Jalla dengan dimunculkan hikmah melalui lisannya.
Advertisement
Dia termasuk manusia yang dikaruniai manfaat dari amal-amalnya.” Diantara mutiara hikmah yang diungkapkannya adalah “Kosongkan hatimu untuk sedih dan takut, sampai keduanya dapat bersarang. Apabila sedih dan takut bersarang dihatimu, maka keduanya akan membentengimu dari melakukan maksiat dan menjauhkan dirimu dari api neraka”.
Rasa takut dan sedih akan siksanya membuat hatinya begitu memiliki harapan besar untuk selalu dekat dengan Allah Ta’ala. Begitu pula saat disebut-sebut nama Allah atau mendengar ayat-ayat-Nya, rasa takut dan sedih itu selalu memenuhi hati dan pikirannya.
Dari Sufyan bin ‘Uyainah, dia berkata, “Aku belum pernah melihat seorangpun yang lebih takut kepada Allah daripada Al-Fudhail dan ayahnya.”
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Dari Muhammad bin Thufail, dia berkata, “Aku mendengar Al-Fudhail bin Iyadh berkata, “Sedih (karena Allah) di dunia menghilangkan keresahan di akhirat dan (terlalu) gembira di dunia menghilangkan manisnya beribadah.”
Perkataan beliau merupakan wujud nyata betapa beliau sosok yang bening hatinya, dalam ilmunya serta mampu merealisasikan mutiara-mutiara hikmah yang sarat dengan keagungan iman, dan penghambaan yang tulus kepada Rabb-nya yang begitu dicintainya.
Ada sebuah nasehat indah yang layak ditulis dengan tinta emas, dan menjadi renungan kita bersama. Al-Fudhail bin Iyadh berkata (kepada dirinya) “Wahai, kasihannya engkau…..engkau berbuat buruk, tetapi engkau merasa berbuat baik, engkau tidak tahu, tetapi merasa selevel dengan ‘ulama’, engkau kikir, tetapi engkau merasa dermawan, engkau pandir, tetapi merasa berakal (cerdas), ajalmu pendek , namun angan-anganmu panjang.” Subhanallah, dalam sekaligus penuh pesan moral yang luar biasa dari ungkapan-ungkapan beliau, Allah memberinya kecerdasan batin hingga dengan karunia Allah ‘Azza wa Jalla kaum muslimin mampu mendapatkan faedah tak ternilai untuk menjadi seorang mukmin yang ikhlas, qona’ah dan menjalani roda kehidupan selaras dengan syari’at-Nya.
Hidupnya laksana cermin tak jauh beda dengan apa yang beliau katakan. Dan itulah teladan yang konkret dan dijadikan aspirasi positif dalam membangun jatidiri membentuk karakter Islami sebagai seorang mukmin sejati. Adz-Dzahabi berkata, “Ditanyakan kepada Al-Fudhail bin Iyadh: “Apakah zuhud itu?” . Dia menjawab, “Banyak qona’ah,” lalu ditanyakan, “Apakah wara’ itu?” Al-Fudhail menjawab, “Menjauh dari sesuatu yang dilarang Syari’at,” Dan ketika ditanyakan, “Apakah ibadah itu?” maka Al-Fudhail menjawab, “Melaksanakan sesuatu yang diwajibkan,” Lalu ditanyakan pula, “Apa itu tawadhu‘?” Al-Fudhail menjawab, “Anda tunduk kepada Yang Haq. Dan ketahuilah sesungguhnya Wara’ terberat itu terletak pada lisan.”
Salah satu sifat menonjol beliau adalah sangat peduli dan perhatian terhadap murid-muridnya. Sesuatu ketika ia mendatangi salah satu muridnya yang tengah sakaratul maut. Beliau membimbingnya untuk bersyahadat tetapi lisannya tak mampu mengucapkan bacaaan syahadat. Beliau mengulang-ulangi bacaan syahadat, namun muridnya mengatakan, “Saya tidak dapat mengucapkannya,” hingga Al-Fudhail berlepas diri darinya. Beliaupun menangis setelah kematian sang murid, beliau bermimpi dalam tidurnya ternyata murid tersebut setiap tahun meminum segelas arak agar sembuh dari penyakitnya. (Siyar A’lam An Nubala 8/ 425)
Wasiat -Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah Berdoalah untuk kebaikan penguasaAl berkata,
” لو أن لي دعوةً مستجابةً ما صيرتها إلا في الإمامِ . قيل له : وكيف ذلك يا أبا علي ؟ قال : متى ما صيرتها في نفسي لم تحزني ، ومتى صيرتها في الإمامِ فصلاحُ الإمامِ صلاحٌ العبادِ والبلادِ
Artinya:“Jika aku punya doa mustajab maka doa tersebut akan kupakai untuk mendoakan penguasa.” “Mengapa demikian wahai Abu Ali?” demikian tanggapan sebagian orang. Jawaban Al-Fudhail, “Jika doa mustajab tersebut kupakai untuk diriku sendiri, aku tidak akan mendapatkan balasan. Namun, jika kupakai untuk mendoakan penguasa maka baiknya penguasa akan berdampak kebaikan bagi rakyat dan negeri.” (Hilyah Al-Auliya’, 8:91, Abu Nu’aim Al-Ashfahani). ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |