Kearifan Lokal, Literasi Digital dan Nalar Kritis Mahasiswa

TIMESINDONESIA, MALANG – Kearifan lokal, literasi digital, dan nalar kritis merupakan tiga elemen yang saling berkaitan dan memiliki potensi besar dalam membentuk karakter mahasiswa di era modern. Dalam konteks pendidikan tinggi, kearifan lokal berfungsi sebagai pondasi nilai-nilai budaya yang dapat memperkaya pengalaman belajar mahasiswa.
Sementara itu, literasi digital menjadi keterampilan esensial yang dibutuhkan mahasiswa untuk menavigasi dan memanfaatkan teknologi secara efektif. Penggabungan kedua elemen ini tidak hanya mendukung pembelajaran yang relevan dengan konteks lokal dan global, tetapi juga berkontribusi pada pengembangan nalar kritis yang semakin dibutuhkan dalam menghadapi kompleksitas dunia saat ini.
Advertisement
Mahasiswa yang memahami kearifan lokal memiliki pemahaman yang mendalam tentang identitas budaya mereka, yang sangat penting dalam era globalisasi. Di tengah arus informasi yang cepat dan sering kali homogen, kearifan lokal membantu mahasiswa untuk tetap terhubung dengan akar budaya mereka dan melihat dunia dari perspektif yang lebih luas dan beragam. Misalnya, nilai-nilai gotong royong, toleransi, dan kesederhanaan yang terkandung dalam berbagai tradisi lokal Indonesia dapat menjadi panduan moral bagi mahasiswa dalam mengambil keputusan di dunia digital yang sering kali dipenuhi oleh konten yang bersifat individualistik dan materialistik. Melalui pemahaman ini, mahasiswa dapat lebih kritis dalam menilai informasi dan lebih bijak dalam berinteraksi di ruang digital.
Literasi digital, di sisi lain, melengkapi pemahaman kearifan lokal dengan memberikan mahasiswa alat dan keterampilan yang mereka butuhkan untuk beroperasi di dunia digital yang serba cepat dan penuh dengan tantangan. Literasi digital bukan hanya soal kemampuan teknis, tetapi juga melibatkan kemampuan untuk mencari, menilai, dan memanfaatkan informasi secara kritis. Dalam konteks mahasiswa, literasi digital menjadi sangat penting karena mereka sering kali menjadi agen perubahan yang memanfaatkan teknologi untuk berbagai tujuan akademik, sosial, dan profesional. Namun, tanpa nalar kritis yang kuat, literasi digital bisa menjadi pedang bermata dua yang justru membuat mahasiswa rentan terhadap misinformasi dan manipulasi.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Nalar kritis, yang tumbuh dari kombinasi pemahaman kearifan lokal dan literasi digital, memungkinkan mahasiswa untuk menjadi lebih selektif dan analitis dalam menerima dan menyebarkan informasi. Dalam era di mana informasi mudah diakses tetapi sulit diverifikasi, kemampuan untuk berpikir kritis sangat penting. Nalar kritis membantu mahasiswa untuk tidak hanya menerima informasi secara pasif, tetapi juga untuk mempertanyakan, menganalisis, dan memverifikasi fakta sebelum mengambil kesimpulan atau tindakan. Hal ini sangat relevan dalam konteks literasi digital, di mana mahasiswa sering kali dihadapkan pada berbagai pandangan yang saling bertentangan dan perlu memiliki kerangka berpikir yang kuat untuk menilai mana yang benar dan mana yang sekadar opini tanpa dasar yang kuat.
Hubungan antara kearifan lokal, literasi digital, dan nalar kritis juga terlihat dalam kemampuan mahasiswa untuk menyampaikan pandangan mereka secara efektif dan bertanggung jawab. Dengan memahami kearifan lokal, mahasiswa dapat menempatkan diri mereka dalam konteks sosial yang lebih luas dan memahami dampak dari tindakan mereka terhadap komunitas. Literasi digital memungkinkan mereka untuk menggunakan teknologi sebagai platform untuk menyebarkan ide-ide tersebut, sementara nalar kritis memastikan bahwa ide-ide tersebut didasarkan pada pemikiran yang matang dan bertanggung jawab. Kombinasi ini tidak hanya memperkuat kemampuan akademik mahasiswa, tetapi juga membentuk mereka menjadi warga negara yang lebih sadar dan peduli terhadap lingkungan sosial mereka.
Namun, tantangan yang muncul adalah bagaimana mengintegrasikan ketiga elemen ini dalam pendidikan tinggi. Kurikulum yang ada sering kali terfokus pada literasi digital sebagai keterampilan teknis, tanpa memberikan cukup perhatian pada aspek nalar kritis atau pemahaman kearifan lokal. Padahal, untuk menciptakan mahasiswa yang benar-benar mampu bersaing dan berkontribusi di era globalisasi, pendidikan tinggi harus mampu menggabungkan ketiga elemen ini secara seimbang. Institusi pendidikan perlu mengembangkan program-program yang tidak hanya mengajarkan teknologi, tetapi juga membekali mahasiswa dengan pemahaman budaya dan kemampuan berpikir kritis. Ini dapat dilakukan melalui pendekatan interdisipliner, di mana mahasiswa diajak untuk melihat keterkaitan antara teknologi, budaya, dan pemikiran kritis dalam setiap aspek pembelajaran mereka.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Secara keseluruhan, kearifan lokal, literasi digital, dan nalar kritis merupakan tiga pilar penting yang harus diperkuat dalam pendidikan mahasiswa. Ketiganya tidak hanya relevan secara individual, tetapi juga saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain. Dengan mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam literasi digital dan memupuk nalar kritis, mahasiswa akan lebih siap menghadapi tantangan globalisasi dan menjadi agen perubahan yang tidak hanya cerdas secara teknis, tetapi juga bijak dalam mengambil keputusan yang berdampak pada diri mereka dan masyarakat luas. Tantangan ke depan adalah bagaimana memastikan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia mampu memberikan ruang yang cukup bagi pengembangan ketiga elemen ini, sehingga mahasiswa dapat tumbuh menjadi individu yang berdaya, berintegritas, dan berkontribusi positif dalam dunia yang semakin kompleks dan dinamis.
Integrasi antara kearifan lokal, literasi digital, dan nalar kritis mahasiswa tidak hanya memperkaya pengalaman belajar, tetapi juga berkontribusi pada pembentukan karakter dan identitas mereka sebagai individu yang terhubung dengan akar budaya sekaligus mampu berpikir secara global. Ketika mahasiswa mampu menggabungkan nilai-nilai kearifan lokal dengan keterampilan literasi digital, mereka tidak hanya menjadi pengguna teknologi yang cerdas, tetapi juga pelindung dan penerus budaya yang bijaksana. Ini adalah fondasi penting bagi mahasiswa untuk berperan aktif dalam masyarakat yang semakin digital dan global.
Mahasiswa yang terlatih dalam literasi digital dan memahami kearifan lokal cenderung lebih tanggap terhadap isu-isu sosial, lingkungan, dan budaya yang dihadapi komunitas mereka. Mereka dapat memanfaatkan teknologi untuk mempromosikan dan melestarikan nilai-nilai budaya yang mereka anut, sambil tetap kritis terhadap pengaruh-pengaruh global yang dapat mengikis identitas budaya tersebut. Ini menciptakan keseimbangan antara modernisasi dan pelestarian budaya, di mana mahasiswa tidak hanya mengikuti arus globalisasi, tetapi juga mempertahankan dan mengembangkan budaya lokal mereka dalam konteks yang lebih luas.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Namun, untuk mencapai hasil ini, diperlukan dukungan yang berkelanjutan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat luas. Pemerintah dapat berperan dalam menyediakan kebijakan yang mendukung integrasi kearifan lokal dalam pendidikan, serta memfasilitasi akses yang lebih luas terhadap teknologi dan sumber daya digital. Institusi pendidikan harus mengembangkan kurikulum yang tidak hanya fokus pada aspek teknis, tetapi juga menekankan pentingnya pemahaman budaya dan pengembangan nalar kritis. Sementara itu, masyarakat dapat berperan dalam menjaga dan mewariskan nilai-nilai kearifan lokal kepada generasi muda, sambil mendorong mereka untuk memanfaatkan teknologi secara bijak dan bertanggung jawab.
Di tengah perubahan yang cepat dan tak terduga di era globalisasi, kemampuan untuk berpikir kritis dan mempertahankan nilai-nilai budaya menjadi semakin penting. Mahasiswa yang memiliki pemahaman mendalam tentang kearifan lokal, dilengkapi dengan keterampilan literasi digital, dan didorong untuk berpikir kritis, akan lebih siap menghadapi tantangan-tantangan ini. Mereka tidak hanya akan menjadi pemimpin masa depan yang kompeten dalam memanfaatkan teknologi, tetapi juga akan menjadi penjaga nilai-nilai budaya yang penting bagi identitas mereka dan masyarakat mereka.
Dengan demikian, integrasi kearifan lokal, literasi digital, dan nalar kritis dalam pendidikan mahasiswa bukan hanya sebuah kebutuhan, tetapi juga sebuah strategi yang penting untuk mempersiapkan generasi muda menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian. Ini adalah langkah menuju pembentukan individu yang tidak hanya terampil secara teknis, tetapi juga memiliki pemahaman yang mendalam tentang identitas budaya mereka dan mampu berpikir secara kritis dan bertanggung jawab dalam menggunakan teknologi. Tantangan ke depan adalah bagaimana menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung dan memfasilitasi pengembangan ketiga elemen ini secara harmonis, sehingga mahasiswa dapat tumbuh menjadi individu yang utuh dan berdaya saing di tingkat global. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*)Penulis: Dr. Moh. Badrih, S.Pd., M.Pd, Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Islam Malang (UNISMA), Penggiat Literasi dan Riset Manuskrip Nusantara.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |