Kopi TIMES

Membangun Bangsa Secara Kolektif

Jumat, 06 September 2024 - 13:13 | 26.14k
Sugiyarto, S.E., M.M, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pamulang
Sugiyarto, S.E., M.M, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pamulang

TIMESINDONESIA, PAMULANG – Beberapa minggu yang lalu, tepatnya pada bulan Agustus 2024, kita disuguhi berita pilkada dan pencalonan gubernur serta wakil gubernur di beberapa daerah. Salah satunya adalah pilkada Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, di mana banyak dinamika sebelum dan sesudah adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi terkait ambang batas minimal dari 20 persen menjadi 7,5 persen suara nasional. Ini menjadi kabar gembira dan kesempatan bagi partai kecil untuk bisa mencalonkan kader mereka pada pilkada tingkat provinsi, kotamadya, dan kabupaten.

Tidak sedikit partai besar yang sudah berkoalisi dengan partai lain berubah arah dan memilih untuk mencalonkan kader mereka sendiri. Termasuk partai yang mendapatkan suara cukup signifikan namun tidak bisa mencalonkan kader mereka karena terbentur aturan lama, sekarang sudah bisa mencalonkan kader mereka melalui partainya dengan adanya keputusan MK tersebut.

Advertisement

Lantas, bagaimana dengan calon yang merasa punya basis suara namun bukan anggota partai? Jika benar mereka memiliki basis suara, seharusnya jalur independen sudah masuk dalam kontingensi plan mereka, sehingga tidak tergantung pada partai politik. Keputusan MK ini bagi partai kecil menjadi sebuah harapan untuk bisa mencalonkan kader sendiri melalui koalisi partai agar memenuhi syarat ambang batas minimal 7,5 persen suara nasional.

Inilah mekanisme pemilihan kepala daerah di negara kita. Tidak cukup hanya modal retorika dan gagasan untuk bisa menjadi pejabat publik, namun dibutuhkan komunikasi dan strategi yang baik untuk membangun kerjasama dengan pihak lain.

Indonesia sebagai salah satu negara terbesar di dunia dengan kekayaan sumber daya alam melimpah menjadi daya tarik tersendiri bagi politikus untuk berkuasa. Mereka bersaing tidak hanya dengan kader internal, namun harus rela bersaing dengan kader eksternal yang didukung oleh ketua umum dan dewan pengurus pimpinan pusat partai mereka. Di sinilah muncul konflik antar kader, bahkan tidak sedikit yang pindah dan bergabung dengan partai lain atau mendirikan partai sendiri jika memiliki modal yang cukup.

Melihat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024 yang mencapai Rp3.325 triliun tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi politikus untuk bisa berkuasa dan mendapatkan proyek dari pemerintah. Bisnis dengan pemerintah adalah bisnis yang pasti dengan nilai yang jelas, jangan heran jika pada akhirnya banyak drama di negara ini karena kepentingan bisnis mereka terganggu.

Bagi mereka yang tidak senang dengan pemerintah, cara yang paling efektif adalah memojokkan pemerintah dengan membangun narasi negatif terhadap pemerintah. Kalau perlu, kelemahan pemimpin dan keluarganya dicari sampai ke lubang semut. Apakah cara seperti ini yang akan diwariskan kepada anak cucu kita?

Kita semua harus sadar bahwa dalam memimpin sebuah organisasi pasti ada yang suka dan ada yang tidak suka dengan kita. Tidak semua orang bisa menerima kebijakan atau hasil pembangunan pemimpin sebelumnya karena mereka bukan bagian dari kekuasaan. Padahal, dalam membangun ada skala prioritas dan setiap daerah memiliki prioritas yang berbeda. Ada daerah yang masih membutuhkan pangan, maka solusinya adalah memperkuat pertanian dan turunnya termasuk membangun waduk untuk pengairan.

Kemudian ada daerah yang membutuhkan stok pangan yang memadai, seperti kota besar, maka harus dijamin supply kebutuhan pangan. Ada juga daerah yang membutuhkan fasilitas jalan, maka yang dibangun adalah jalan dan infrastruktur yang terkait. Pada dasarnya, kebutuhan setiap daerah berbeda. Apa yang menjadi prioritas, itulah yang harus dimasukkan dalam perencanaan pembangunan, karena yang paham dan mengetahui prioritas daerah adalah pemimpin daerah masing-masing, bukan pemerintah pusat.

Berikanlah masukan kepada pemimpin secara objektif dengan data dan penjelasan yang mudah dicerna dengan logika. Kita semua yakin bahwa tidak ada niat buruk dari seorang pemimpin dalam membangun bangsa hanya untuk kelompok tertentu.

Kesempatan untuk investasi pada semua sektor industri di negara ini dibuka secara umum dan terbuka kepada semua anak bangsa. Namun, jika kesempatan ini lebih banyak diambil investor asing, ini bukan berarti salah pemerintah, tapi kita yang harus mampu menjalin kerjasama business to business dengan investor luar negeri yang memiliki teknologi yang bisa dibawa ke Indonesia agar bisa terjadi alih teknologi.

***

*) Oleh : Sugiyarto, S.E., M.M, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pamulang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES