Kopi TIMES

Pendekatan dalam Mengatasi Perubahan Iklim

Senin, 09 September 2024 - 17:25 | 26.36k
Fitria Nurma Sari, Dosen Perbankan Syariah Universitas Ahmad Dahlan
Fitria Nurma Sari, Dosen Perbankan Syariah Universitas Ahmad Dahlan

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Ada hal menarik yang bisa kita bahas dari pidato yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo saat membuka Indonesia International Sustainability Forum (IISF) di Jakarta Convention Center (JCC). Jokowi menekankan bahwa persoalan perubahan iklim tidak akan terselesaikan manakala setiap negara egois dan menjadikan ekonomi sebagai pendekatan utama. Dibutuhkan pendekatan yang lebih humanis dan kolaboratif agar tidak ada masyarakat kecil yang dikorbankan. 

Permasalahan perubahan iklim memang menjadi salah satu pekerjaan rumah terbesar untuk seluruh negara. Hal ini karena mengancam kesejahteraan sosial, lingkungan dan juga eksistensi kehidupan manusia. Banyak kebijakan yang sudah dibuat oleh pemerintah dunia namun seringkali kebijakan tersebut selalu menggunakan pendekatan ekonomi. 

Advertisement

Setiap kebijakan selalu mengedepankan faktor ekonomi sebagai tolok ukur daripada penyelesaian akar masalahnya. Walaupun ekonomi sangat penting dalam kehidupan sebuah negara, namun kebijakan yang selalu berfokus pada faktor ekonomi akan berakibat pada tidak tercapainya solusi akan permasalahan perubahan iklim. 

Setiap negara menekankan keberhasilan sebuah kebijakan ataupun pemerintahan melalui pertumbuhan PDB, berapa banyak investasi yang didapatkan, besarnya devisa yang sering kali tidak sesuai dengan masalah lingkungan yang mendesak. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan perubahan iklim yang hanya berfokus pada carbon trading dan perdagangan emisi. 

Kebijakan tersebut bisa saja mengurangi emisi, akan tetapi tidak menyentuh secara substansi masalah yang sebenarnya seperti deforestasi, degradasi kualitas alam, kerusakan ekosistem laut hingga penurunan biodiversitas akibat habitat yang rusak. 

Dalam banyak kasus, ekonomi liberal gagal menjadikan faktor lingkungan dalam menentukan harga barang dan jasa. Sehingga eksploitasi sumber daya alam menjadi hal yang normal dan menjadi resiko yang wajar demi mengejar keuntungan ekonomi. Kerusakan lingkungan jangka panjang bagi bumi dan juga umat manusia. 

Pada tahun 2023 jumlah lahan deforestasi tercatat sebanyak 257.384 hektar meningkat dari tahun 20222 sebanyak 230.760 hektar. Pun dalam hal ini pemerintah bukannya tidak peduli bahkan merestui melalui berbagai kebijakan atas nama pertumbuhan ekonomi negara. IKN sendiri mengorbankan hutan sejumlah 2.464 hektar atas nama kesejahteraan pemerintah negara. 

Sebagai usaha mengatasi perubahan iklim secara menyeluruh, pendekatan yang digunakan haruslah lebih substantif dan komprehensif. Kebijakan yang dikeluarkan haruslah mencakup aspek keberlanjutan, keadilan sosial dan etika. Solusi yang menjadikan aspek kelestarian lingkungan, pemberdayaan masyarakat dan keberlanjutan harus didorong ketimbang solusi berbasis ekonomi yang tujuannya adalah efisiensi dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. 

Sebagai contoh, investasi energi terbarukan memang penting mengingat sumber energi berbasis fosil akan habis suatu hari nanti. Namun jika tanpa didukung oleh edukasi akan pentingnya penggunaan energi secara bijak hal ini tentunya akan mengarah pada masalah lain. Jika hanya mengatasi masalah yang nampak saja dengan membangun industri penyedia energi terbarukan masalah hanya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti penambangan bahan baku baterai, solar panel dan bahan baku industri lainnya. 

Tanpa edukasi penggunaan energi secara bijak, kerusakan lingkungan tidak akan terhenti hanya berubah topeng saja dari kerusakan lingkungan akibat energi fosil menjadi kerusakan lingkungan akibat energi terbarukan. Hal ini tentunya disadari oleh banyak pihak tapi karena industri energi terbarukan mempunyai peluang ekonomi yang bagus maka semua pihak menutup mata. 

Sementara itu insentif ekonomi untuk transisi menuju energi bersih yang diberikan kepada negara berkembang tidak cukup untuk membantu negara tersebut. Diperlukan pendampingan dan transfer teknologi untuk memastikan keberlanjutan yang adil. Namun banyak dari negara maju tidak ingin mentransfer teknologi mereka atas nama keuntungan ekonomi. 

Mereka tidak ingin kehilangan keunggulan akan teknologi tersebut karena hal itu bisa menjadi sumber penghasilan mereka di masa yang akan datang. Lagi-lagi faktor ekonomi menjadi penghambat usaha pemecahan masalah perubahan iklim dunia. 

Kebijakan penanganan perubahan iklim juga sering kali mengabaikan kondisi masyarakat lokal, komunitas adat dan juga kaum marginal yang paling terdampak akibat pembangunan. Mereka seringkali tidak mendapatkan porsi untuk ikut andil dalam diskusi pengambilan kebijakan walaupun mereka adalah pihak yang paling terpengaruh atas kejadian ini. 

Padahal, komunitas ini punya banyak kearifan lokal seperti metode pertanian yang yang lebih mendukung keseimbangan dan keberlanjutan daripada pertanian modern yang eksploitatif. Namun pertanian berbasis kearifan lokal dianggap tidak menjanjikan secara hitung-hitungan ekonomi sehingga bukan menjadi pilihan bagi banyak pihak. 

Masalah perubahan iklim adalah sesuatu yang sangat kompleks jika hanya dilihat dari sudut pandang ekonomi saja. Meskipun ekonomi penting untuk merencanakan kebijakan, namun jika hanya fokus pada angka-angka pertumbuhan ekonomi saja tanpa memasukkan aspek sosial dan lingkungan maka kebijakan mengerem laju perubahan iklim hanya omong kosong belaka. 

Pendekatan yang digunakan harus objektif yang mencakup aspek sosial, kelestarian ekologis dan partisipatif menjadi kunci agar kebijakan bisa efektif. Hanya dengan cara ini kebijakan dapat menyelesaikan substansi masalah perubahan iklim dan bukan hanya sekedar mencapai target ekonomi jangka pendek.

***

*) Oleh : Fitria Nurma Sari, Dosen Perbankan Syariah Universitas Ahmad Dahlan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES