TIMESINDONESIA, MALANG – Pendidikan multikulturalisme sudah bukan barang baru dikalangan pendidik di Indonesia. Model pendidikan seperti ini sudah merupakan ranah yang menjadi lahan diskursus dan aksi di dalam program pendidikan. Sesungguhnya program pendidikan seharusnya diarahkan untuk membangun sikap multicultural sebab betapapun diketahui bahwa masyrakat Indonesia ini merupakan masyrakat yang multikultural dan plural. Pendidikan tentu harus berselaras dengan kenyataan kehidupan masyrakat.
Gagasan mengenai pendidikan multicultural tentu sudah sangat lama ditemukan didalam khasanah kebangsaan kita. Jadi, didalam masyrakat kita sendiri sudah tertanam dengan kuat tentang sikap dan tindakan multicultural ini. Dan pendidikan sebagai salah satu instumen untuk membudayakan sikap dan tindakan multikultural tentu dimulai dari para pendidiknya. Program pendidikan multikultural yang nantinya akan melatih para guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah umum, ada tiga hal yang disampaikan di dalam hal ini, yaitu: pertama, guru adalah pendidik untuk mengembangkan peradaban Islam yang rahmatan lil alamin. Guru adalah orang pertama yang mengajarkan agar anak-anak menjadi dewasa baik dalam dimensi kecerdasan intelektualnya, kecerdasan emosionalnya dan juga kecerdasan spiritualnya. Anak-anak harus dicetak untuk menjadi yang terbaik di dalam tiga aspek itu. Makanya, anak-anak haruslah menjadi agen bagi menciptakan masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap bangsa dan negaranya.
Advertisement
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Islam pernah menjadi pusat peradaban dunia karena keber-hasilannya di dalam pendidikan. Banyaknya ahli di dalam berbagai bidang kajian keilmuan dapat menjadi pelita di dalam membangun peradaban dunia itu. Islam menjadi agama yang sangat masyhur berkat keberhasilan para ilmuwannya untuk terus mengkaji dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Makanya tidak salah jika kemudian Islam dapat menjadi pusat kemajuan pada eranya. Sebenarnya, kemajuan dan kemunduran Islam tentu disebabkan oleh guru-guru atau para pendidiknya. Di era lalu, maka Islam menjadi sumber inspirasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan karena peran para pendidiknya. Islam menjadi mundur juga karena kelengahan para pendidiknya. Kuat atau lemahnya negara dalam banyak hal ditentukan bukan pada banyak atau sedikitnya angkatan perang yang dimilikinya, akan tetapi oleh ketahanan yang memiliki kesadaran akan arti dan makna negara bagi dirinya.
Oleh karena itu, para pendidik yang memiliki dedikası, kemampuan bekerja profesional, memiliki jiwa penemu, dan memiliki kapasitas mendidik yang baik tentu akan menghasilkan anak didik yang istimewa. Jika makin banyak anak didik yang istimewa, maka tentu akan menguntungkan bangsa dan negaranya. Dan jika mereka bersekutu untuk mengembangkan kebudayaannya, maka kelak akan dapat mengembangkan peradaban bagi dunia.
Kedua, pendidik merupakan kata kunci bagi keberhasilan pembangunan bangsa. Guru atau pendidik yang baik akan dapat menjadi pengungkit bagi keberhasilan pendidikan. Makin banyak pendidik yang berkualitas tentu akan menjadi kata kunci kesuksesan pendidikan. Jika kita ingin melihat Indonesia yang hebat di masa depan, maka para pendidik harus diberdayakan. Di tengah tantangan yang semakin kuat di kalangan anak didik kita dewasa ini untuk tertarik kepada berbagai isme yang berkem bang di dunia ini, baik yang kanan maupun kiri, maka para pendidik memiliki peran strategis untuk mengembalikan dan mengarahkan para anak didik agar kembali ke jalan yang relevan dengan semangat keislaman di negeri ini.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Sebagaimana diketahui bahwa arus utama Islam di negeri kita dan bahkan juga di beberapa negara Asean lainnya, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura dan bahkan Thailand adalah Islam yang moderat, yang wasathiyah. Itulah sebabnya, mereka menjadi meradang dengan semakin kuatnya muslim radikal atau fundamental bahkan ekstrim yang terus berkembang. Ada semacam ke khawatiran bahwa dengan semakin menguatnya posisi mereka (kaum muslim fundamental), maka akan membawa dampak bagi sektarianisme yang semakin kental. Jadi para pendidik di lembaga pendidikan baik setara pendidikan dasar, menengah dan bahkan pendidikan tinggi merupakan kelompok strategis untuk menjaga prinsip Islam yang menjadi arus utama di negera-negera ASEAN agar selalu berada di dalam pemahaman dan praksis Islam yang rahmatan lil alamin.
Ketiga, pendidik harus menjadi penyangga bagi terbentuknya sikap dan perilaku anak didik yang mengedepankan kecintaannya kepada nusa, bangsa dan agama. Kita tidak ingin para pendidik justru menjadi agen bagi tumbuhkembangnya sikap dan perilaku intoleran. Sebagaimana diketahui bahwa akhir-akhir ini sedang terjadi peningkatan intoleransi yang cukup mengejutkan terutama di lembaga pendidikan umum. Para pendidik tentu harus menjadi agen utama bagi semakin kuatnya pemahaman dan perilaku keagamaan yang mengedepankan Islam yang ramah dan bukan Islam yang menyebabkan ketakutan bagi kelompok lainnya.
Oleh karena itu, ke depan para pendidik meski mengembangkan paham dan perilaku yang memberi contoh agar para anak didik merindukan kehadirannya dan menjadi teladan bagi kehidupannya. Jadi, di tangan para pendidik kiranya kelestarian Islam rahmatan lil alamin akan terus kita alami di masa depan. (dikutip dari Prof. Dr. Nur Syam di dalam buku Islam Nusantara Bekemajuan).
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |