Kopi TIMES

Tantangan Manajemen Hukum: Strategi Melindungi dan Mengakselerasi Bisnis

Selasa, 17 September 2024 - 10:31 | 124.18k
Muh. Indra Kusumayudha, S.H., M.H., C.L.A., Advokat, Pengurus DPN Indonesian Competition Lawyers Association (ICLA), dan pengurus Asosiasi Advokat Indonesia Officium Nobile cabang Jakarta Selatan.
Muh. Indra Kusumayudha, S.H., M.H., C.L.A., Advokat, Pengurus DPN Indonesian Competition Lawyers Association (ICLA), dan pengurus Asosiasi Advokat Indonesia Officium Nobile cabang Jakarta Selatan.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Banyak sekali pemberitaan tentang perusahaan yang ditutup, baik BUMN maupun perusahaan swasta, dimana penutupan ini disebabkan tata kelola dan manajemen perusahaan yang buruk. Contoh saja pada akhir tahun 2023 lalu, pemerintah melalui Kementerian BUMN resmi membubarkan 7 (tujuh) perusahaan pelat merah yang masing-masing bergerak dalam bisnis yang berbeda. Penutupan permanen tersebut lantaran memiliki kinerja yang buruk atau financial distress, highly over-laverage hingga pelanggaran peraturan. 

Kasus tata kelola perusahaan yang buruk dan terjadinya tindakan kecurangan (fraud) yang terbaru dapat kita lihat dalam kasus PT Indofarma Tbk. Pengusutan korupsi di PT Indofarma Tbk telah memasuki babak baru. Setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) investigatif pada Mei 2024 lalu, Kejaksaan Agung akhir pekan lalu melimpahkan penanganan kasus korupsi di bidang farmasi tersebut ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk ditingkatkan ke penyidikan.

Advertisement

Penguatan Tata Kelola

Pemetaan terhadap implementasi tata kelola merupakan hal penting ketika kita berbicara bagaimana suatu perusahaan maupun institusi beroperasi dan berupaya mengembangkan bisnisnya. Proses assessment, kajian, evaluasi merupakan salah satu faktor penentu apakah sistem tata kelola yang diterapkan sudah sesuai atau belum. Berbagai kontrol penjaminan dibuat untuk mengontrol dan mengawasi agar sistem tata kelola berjalan sesuai koridor yang ditetapkan dan memperjelas posisi pertanggungjawaban.

Prinsip Good Corporate Governance (GCG) ini merangkul sekaligus menjadi pedoman terhadap beberapa pihak, mulai dari organ RUPS, Pemilik Modal/Pemegang Saham, Dewan Pengawas/Badan Pengawas/Dewan komisaris, Dewan Direksi, manajemen, organ perseroan dan tidak lupa kepentingan stakeholder lainnya. Hubungan kerja antara Direksi dengan Dewan Komisaris tersebut harus diciptakan sedemikian rupa agar selalu harmonis, saling mendukung dan saling mengingatkan supaya tekad dan komitmen yang kuat menuju satu arah tujuan Perusahaan tetap terus tumbuh dan berkembang.

Tata kelola yang baik selalu berlandaskan pada prinsip-prinsip yang mendasari suatu proses dan mekanisme pengelolaan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan etika berusaha. Tidak hanya itu, sistem GCG ini juga penting untuk menghasilkan nilai tambah (creates value), menciptakan corporate branding yang menarik dan pastinya memberikan kepuasan kepada stakeholder.

Selain itu, berbicara mengenai GCG maka kita berbicara mengenai komitmen, aturan main (SOP) serta praktek penyelenggaraan bisnis secara sehat dan beretika dengan menekankan keharusan adanya komitmen dalam pengaplikasiannya. Komitmen tersebut terejawantah dalam berbagai bentuk prinsip-prinsip seperti: (1). Akuntabilitas, (2). Partisipasi, (3). Keadilan, (4). Tranparansi, (5). Responsibilitas, (6). Independen, (7). Fairness (kewajaran). Komitmen ini penting untuk diwujudkan karena berkaitan dengan marwah eksistensi kebijakan dan keutuhan kelengkapan infrastruktur GCG.

Bahwa berbagai prinsip-prinsip tata kelola tersebut di atas pada dasarnya sejalan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Dengan merujuk pada hierarki perundang-undangan di Indonesia, prinsip-prinsip tersebut diturunkan secara lebih konkrit di dalam berbagai peraturan perundang - undangan di Indonesia.

Pada dasarnya, pedoman dalam pelaksanaan GCG ini tidak memiliki payung hukum atau kekuatan hukum yang mengikat (non-binding force). Sehingga pada tataran implementasinya tidak dapat dipaksakan dan bentuknya tidak baku, serta bebas dan ditentukan sesuai kebutuhan. Namun demikian pada prakteknya sebagian regulator menggunakan Pedoman Umum GCG sebagai rujukan penting dalam mengembangkan peraturan-peraturan yang relevan dengan tata kelola perusahaan. 

Beberapa lembaga telah membuat standar/pedoman dan aturan tertulis yang berfungsi sebagai rujukan, hal ini dapat kita lihat pada peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 29 /POJK.05/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 30/POJK.05/2014 tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Pembiayaan. 

Aturan ini diterbitkan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan tata kelola perusahaan pembiayaan. Selain itu juga terdapat Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia Nomor Per-2/MBU/03/2023 Tentang Pedoman Tata Kelola Dan Kegiatan Korporasi Signifikan Badan Usaha Milik Negara. 

Lalu pada tahun 2014, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah merilis Peta Arah Tata Kelola Perusahaan Indonesia (Roadmap Good Corporate Governance) khusus untuk Emiten dan Perusahaan Publik. Tujuan utama Roadmap ini adalah sebagai suatu tonggak sejarah untuk meningkatkan implementasi praktik tata kelola perusahaan di Indonesia.

Roadmap ini disusun untuk memberikan gambaran secara menyeluruh atas berbagai aspek tata kelola perusahaan yang perlu ditingkatkan. Adapun aspek itu meliputi Kerangka Tata Kelola Perusahaan, Perlindungan Pemegang Saham, Peranan Pemangku Kepentingan, Transparansi Informasi, serta Peran dan Tanggung Jawab Dewan Komisaris dan Direksi. 

Dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) yang merupakan produk hukum utama bagi perusahaan berbentuk perseroan terbatas (PT). Pada teknisnya, UUPT ini telah mengakomodasi konsep dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik dibandingkan undang-undang sebelumnya. Semisal adanya kewajiban hukum bagi Dewan Komisaris dan Direksi untuk lebih akuntabel dalam melaksanakan fiduciary duties. Kewajiban untuk mengimplementasikan praktik tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) juga mulai diterapkan dalam UUPT Tahun 2007.

Selain penguatan tata kelola, maka perlu dirumuskan juga terkait dengan pedoman perilaku atau kode etik (code of conduct) yang wajib ditaati oleh seluruh pihak, dimana pedoman perilaku ini merupakan bentuk komitmen nyata untuk patuh pada ketentuan hukum dan standar etika ketika melakukan kegiatan bisnis/operasionalnya. Setiap perusahaan maupun institusi dapat menentukan standar etikanya masing-masing yang diselaraskan dengan visi misi dan tujuan perusahaan atau institusi.

Berdasarkan Pedoman Umum GCG dan etika ini, perusahaan didorong untuk memiliki kode etik yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Komisaris untuk kepentingan para pemangku kepentingan. Selanjutnya Dewan Komisaris harus menjalankan tugasnya dengan memastikan bahwa setiap pengaduan yang terkait dengan pelanggaran kode etik dapat ditangani dan diproses dengan benar.

Baik tata kelola, pedoman perilaku dan kepatuhan ini digunakan untuk mengimbangi masifnya peranan korporasi dalam berbagai bidang, khususnya bidang ekonomi dan bentuk hal lainnya yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, dan adanya kecenderungan korporasi melakukan kejahatan dalam mencapai tujuannya, maka kini telah terjadi pergeseran pandangan bahwa korporasi juga merupakan subjek hukum pidana di samping manusia alamiah. Sehingga aspek tata kelola dan sistem manajemen risiko perlu untuk diberlakukan tanpa terkecuali. 

Teknik dan Kerangka Mitigasi

Sering sekali kita sibuk merumuskan tata kelola yang baik, mulai dari A-Z kita pertimbangkan dan putuskan. Namun kita selalu lupa bagaimana menghasilan sistem tata kelola mitigasi, tindakan preventif dan manajemen terhadap suatu bentuk risiko. Kita siap membangun suatu sistem tata kelola, namun kita tidak siap menghadapi segala risiko dan ketidakpastian. 

Manajemen risiko adalah bagian integral proses dalam organisasi (an integral part of organizational processes). Hal ini merupakan bagian tanggung jawab manajemen dan merupakan suatu bagian integral dalam proses normal organisasi, seperti juga merupakan bagian dari seluruh proses bisnis, proyek dan manajemen. Manajemen risiko bukanlah merupakan aktivitas tunggal yang berdiri sendiri yang terpisah dari aktivitas-aktivitas utama dan proses dalam organisasi, namun masih dalam satu kesatuan utuh dan integral. 

Dalam membangun sistem manajemen risiko, terlebih dahulu harus menentukan batas-batas di mana kerangka manajemen risiko akan beroperasi. Hal ini diharuskan untuk mencatat batas-batas kerangka kerja dan kapasitas lembaga untuk berhasil dalam mengatasi risiko yang dapat diidentifikasi dalam tahap penilaian dari suatu proses manajemen risiko. Dalam penerapannya haruslah memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

1. Profil risiko.
2. Lingkungan eksternal dan internal.
3. Risk appetite dan tingkat toleransi risiko.
4. Matriks risiko dan tanggungjawab.
5. Rencana kesinambungan bisnis perusahaan.
6. Kerangka taksonomi manajemen risiko.
7. Penilaian kualitas penerapan manajemen risiko.

Manajemen bertanggung jawab untuk mengendalikan secara efektif risiko-risiko yang dihadapi, lalu menelaah dan memperkirakan potensi risiko serta melaksanakan tindakan pencegahan. Hal ini berimplikasi dalam memberikan kepastian terhadap pertumbuhan laba yang stabil dan sehat bagi perusahaan. 

Oleh karena itu kebijakan manajemen pada setiap perusahaan maupun di setiap unit kerja/anak perusahaan berperan sangat fundamental dan jangan sampai salah sasaran. Dengan demikian diharapkan, sistem manajemen risiko dapat menjadi strategi terbaik untuk melindungi dan mengakselerasi bisnis.

Manajemen Risiko Hukum

Sistem manajemen risiko hukum pada perusahaan merupakan suatu rangkaian proses dalam rangka mengatur, merencanakan, memantau, melakukan pengendalian dan evaluasi yang bertujuan untuk mengurangi risiko hukum yang berdampak pada kondisi perusahaan. 
Pengelolaan kondisi ini dapat mencakup permodalan, pendapatan, produksi, kontrak bisnis, kepatuhan terhadap regulasi, aset, kemitraan, karyawan dan lain sebagainya.

Secara komprehensif manajemen risiko hukum pada perusahaan pada umumnya mencakup risiko: kredit, keuangan (likuiditas dan pendanaan), operasional, hukum dan peraturan, kepatuhan atas regulasi (legal compliance), strategis/bisnis, perselisihan, kecurangan internal maupun eksternal (fraud), gratifikasi serta korupsi dan risiko - risiko hukum lain yang dihadapi perusahaan dalam kegiatan sehari-hari. 

Secara keseluruhan, pendekatan manajemen risiko hukum yang holistik ini dilakukan bertujuan untuk menakar risiko yang dihadapi dan potensi dampaknya terhadap kinerja. Pengendalian terhadap risiko dilakukan dengan meng-identifikasi dan meng-evaluasi risiko utama yang dihadapi perusahaan, menyusun strategi dan pengendalian mitigasi untuk mengelola risiko, serta mengukur tingkat risiko lanjutan setelah pengendalian risiko dilakukan. Dengan penerapan sistem manajemen risiko hukum yang menyeluruh, memungkinkan perusahaan secara efektif mengelola paparan risiko sehingga dapat memperkirakan portofolio risiko dan melakukan tindakan-tindakan preventif. 

Fungsi direktur bagian hukum dan kepatuhan, atau staf bagian hukum (legal/compliance officer atau analis hukum) atau konsultan hukum independen dalam suatu perusahaan maupun institusi memiliki peran penting, mulai dari menangani berbagai bentuk kekhususan bidang pekerjaan seperti legal admin, legal risk management & compliance, contract management specialist, anti-fraud specialist, anti-money laundering (AML) & corruption, legal audit, litigation officer, ISO competency, corporate secretary dan lain sebagainya memiliki tugas pokok dan fungsi dalam menjaga suatu kesehatan perusahaan dan memberikan jalan keluar bagi segala bentuk potensi permasalahan ataupun sengketa hukum yang muncul. 

Dalam menjalankan kegiatan operasionalnya, perusahaan menghadapi berbagai jenis peraturan hukum dan perubahan regulasi yang menaunginya, serta aturan yang dibuat dalam perjanjian dengan pihak ketiga yang mengikat, sehingga dapat menimbulkan risiko hukum atau akibat hukum lainnya. Antisipasi proses perubahan peraturan yang berkenaan dengan industri yang berkaitan dengan core business dan kondisi makro ekonomi dapat memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk terus bertumbuh. 

Hal diatas seperti proses registrasi atas merek dan produk, perizinan usaha berdasarkan OSS, perolehan hak paten, izin edar (BPOM), sertifikasi halal, kekayaan intelektual lainnya serta kepatuhan hukum pengadaan barang dan jasa merupakan kewajiban secara hukum yang harus dijalankan secara berkesinambungan untuk menghindari klaim atau pengakuan dari pihak luar yang dapat terjadi di kemudian hari. 

Perjanjian-perjanjian yang mengikat dengan pihak ketiga dapat membawa konsekuensi hukum, sehingga dalam proses pembuatan dan pengesahannya harus dilakukan pemeriksaan secara legal sehingga terbentuk keseimbangan hak dan kewajiban. Selain itu berkaitan dengan bentuk aksi korporasi juga harus menilai dan mempertimbangkan ketentuan hukum persaingan usaha, jangan sampai tindakan bisnis kita menjurus pada perbuatan monopoli, oligopoli, kartel dan bentuk tindakan lainnya yang dilarang. Selain itu untuk bisnis dengan kegiatan ekspor atau ekspansi ke luar negeri perlu dipertimbangkan dengan mempelajari dan memahami mengenai perbedaan hukum dan peraturan yang berlaku di masing-masing negara.

Risiko hukum timbul dari ketidakpastian tentang keadaan, peristiwa serta hukum. Pengabaian terhadap risiko hukum dapat mengganggu bahkan menimbulkan kerugian besar bagi perusahaan.  Dalam kondisi tersebut, perusahaan perlu melakukan mitigasi risiko hukum sesuai ISO 31022:2020 yang merujuk pada risiko hukum, peraturan, masalah kontrak dan terkait hak dan kewajiban non-kontrak. Secara konkret pada ISO 31022:2020 memberikan pedoman bagi perusahaan untuk bisa menghindari/mencegah, meminimalisir dan menanggulangi potensi risiko hukum yang dapat memunculkan kerugian. 

Sebagaimana dikutip dari situs resmi ICoPI, ISO 31022:2020 merupakan upaya pencegahan dengan mempertimbangkan dan menerapkan manajemen risiko hukum. Berbagai aspek mitigasi tersebut terdiri atas:  product liability risk, employee risk, compliance default risk, tax risk, environment risk, governance risk.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah membuat penjabaran risiko hukum beserta pengendaliannya sebagaimana yang tertuang dalam Surat Edaran Nomor 10/SEOJK:03/2014. Adapun risiko yang wajib dinilai terdiri atas sepuluh risiko, yakni: risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko strategi, risiko kepatuhan, risiko reputasi, risiko imbal hasil, dan risiko investasi. 

Dari kesepuluh Risiko di atas, dalam tulisan ini akan meninjau terkait risiko hukum dan risiko kepatuhan. Dalam Surat Edaran Nomor 10/SEOJK:03/2014, risiko hukum diartikan sebagai risiko yang timbul akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis. Kemudian, diterangkan pula bahwa risiko hukum dapat timbul antara lain karena ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendasari atau kelemahan perikatan. 

Kemudian, risiko kepatuhan adalah risiko akibat tidak dipenuhi dan/atau tidak dilaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku. Risiko kepatuhan atas regulasi dan izin merupakan aspek yang cukup potensial memicu risiko hukum. Risiko regulasi ini dapat mengakibatkan pencabutan izin sanksi yang berdampak buruk bagi perusahaan. Maka penting bagi perusahaan untuk memahami berbagai aturan dan perundang-undangan yang berlaku, seperti standar kerja, spesifikasi, dan kebijakan peraturan perundang-undangan.

Manajemen risiko hukum ini tentunya perlu memperhatikan antara kondisi usaha terkini dengan anggaran dasar perusahaan, apabila terdapat ketidaksesuaian maka perusahaan dapat melakukan pembaharuan anggaran dasar sesuai kebutuhan. Selanjutnya untuk menemukan celah hingga mendiagnosa kesehatan hukum perusahaan, maka perlu dilakukan audit hukum secara berkala atau ketika melakukan aksi korporasi tertentu. Hal ini dilakukan untuk mengkaji keabsahan dari dokumen-dokumen, metode, strategi, kontrak, hingga bentuk transaksi, kesepakatan dan keputusan bisnis yang dilakukan.

Audit hukum atau biasa dikenal dengan uji tuntas secara hukum (legal due diligence) ini berperan untuk melakukan identifikasi, menganalisa dan memberikan rekomendasi hukum terhadap hal-hal yang terjadi, mulai dari adanya ketidaksesuaian atas hukum dan kepatuhan, kegiatan curang, koruptif serta hal lain yang melenceng dari ketentuan perundang-undangan atau terdapat transaksi yang berpotensi memunculkan kerugian pada perusahaan. 

***

*) Oleh : Muh. Indra Kusumayudha, S.H., M.H., C.L.A., Advokat, Pengurus DPN Indonesian Competition Lawyers Association (ICLA), dan pengurus Asosiasi Advokat Indonesia Officium Nobile cabang Jakarta Selatan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES