Kopi TIMES

Bahaya Tersembunyi dari Stoikisme

Selasa, 17 September 2024 - 13:32 | 29.61k
 M. Kholilur Rohman, Pegiat literasi dan Murabbi di Ma'had Sunan Ampel Al-Aly UIN Malang
M. Kholilur Rohman, Pegiat literasi dan Murabbi di Ma'had Sunan Ampel Al-Aly UIN Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Dalam urusan sehari-hari, kita tak bisa lepas dari orang lain. Dalam hal apapun itu. Mengingat manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan interaksi dan bantuan dari orang lain. Sehingga, yang tidak bisa dihindari oleh siapapun ialah adanya perbedaan pendapat.

Perbedaan pendapat adalah hal yang biasa. Selama prinsip tidak ada manusia yang sempurna, setiap orang memiliki sudut pandang yang heterogen, dan setiap sesuatu memiliki dampak positif-negatif, maka selama itu pula perbedaan pandangan bisa lahir. Baik dari satu sisi saja atau bahkan lebih. 

Advertisement

Secara umun, penganut stoikisme identik dengan penataan pola pikir internal tanpa harus terbebani opini orang lain. Artinya, stoikisme membenahi alam bawah sadar menjadi positif dalam menghadapi respon apapun dan bagaimanapun dari orang lain.

Menyelam lebih jauh pada ranah pikiran, ajaran filsafat bernama stoikisme menerangi setiap orang tentang batas kendali. Bahwa setiap kita tidak memiliki kuasa untuk mengendalikan opini orang lain. Apapun itu. Mengingat asumsi yang muncul kerap bersinggungan dengan latar belakang hubungan, kecenderungan personal, hingga fanatisme golongan yang sulit dibendung. 

Meski sikap dan perbuatan yang ditunjukkan sudah masuk dalam ruang lingkup baik, namun interpretasi orang lain bisa berbanding terbalik. Interpretasi orang lain tersebut yang menurut stoikisme tidak perlu dihiraukan. Bahasa gampangnya bersikap bodo amat. Memang, mudah secara teori namun sulit dalam aplikasi. 

Di dalam batasan tertentu, bersikap bodo amat terhadap respon negatif dapat mendinginkan pikiran. Namun, ajaran stoikisme tentang fokus pada pikiran sendiri dan abai pada respon orang lain bisa berbuah buruk. Pasalnya, salah satu fungsi lingkungan sosial adalah sebagai alat kontrol atas beragam kesalahan yang berpotensi terjadi. Masyarakat sekitar ibarat cctv yang mengawasi gerak-gerik perilaku seseorang. 

Orang yang bersikap bodo amat dengan dalil melaksanakan ajaran stoikisme, di dalam kondisi tertentu dikhawatitkan menjadi pribadi yang sulit atau tidak mau diatur. Termasuk tidak peduli terhadap norma yang berlaku karena terlalu mengagungkan sudut pandang sendiri. Jika sudah demikian, maka tanpa disadari kerusakan akan terus berjalan akibat kesalahan memaknai stoikisme. 

Stoikisme dianggap sebagai ajaran yang menolak upaya menyalahkan orang lain demi menjaga kewarasan diri. Padahal, fungsi dari orang lain dan lingkungan sekitar ialah sebagai alat monitor agar tetap berperilaku di dalan rel norma. Tidak melenceng pada hal-hal lainnya yang bersifat subjektif. Mengingat kemaslahatan bersama yang disandarkan pada tegaknya norma dan hukum lebih penting dibanding sekadar keriuhan mengadu argumentasi. 

Tidak hanya itu, dampak berbahaya dari sisi lain stoikisme ialah tentang bagaimana mengelola perasaan. Di dalam stoikisme, diajarkan bahwa rasa sakit hadir dikarenakan kita sendiri yang membiarkan rasa sakit masuk dalam alam pikiran. Sebaliknya, jika kita berani menutup akses tersebut, maka rasa sakit tidak akan masuk. Bagaimanapun perkataan, sikap, dan perbuatan yang diberikan orang lain. 

Tentu, ajaran di atas bermakna positif jika ditempatkan dan diamalkan secara personal subjektif. Dalam artian, pengamalan tersebut dilakukan oleh seseorang yang menerima perlakuan tidak baik dari pihak lain. Berbanding terbalik jika ajaran stoikisme itu berada di pihak yang berbuat onar atau makar. Maka yang terjadi adalah kesewenang-wenangan oleh oknum tertentu, dengan dalih bahwa orang yang tertindas sedang mengamalkan ajaran stoikisme. 

Akhirnya, tidak ada kesadaran diri bahwa telah terjadi kesalahan berperilaku yang membuat orang lain sakit hati. Sebab dalam anggapannya, orang lain yang disakiti sedang mengamalkan stoikisme yang membuatnya menutup akses rasa sakit. Jika sudah demikian, maka dampak negatif yang akan didulang.

Dikotomi kendali sebagaimana yang dijelaskan di atas bermakna bahwa ajaran stoikisme memiliki cara dan wilayah mainnya sendiri. Tidak sekadar mengamalkan, tapi sadar posisi dan situasi yang sedang terjadi. Sehingga ajaran stoikisme tidak disalahgunakan. 

***

*) Oleh : M. Kholilur Rohman, Pegiat literasi dan Murabbi di Ma'had Sunan Ampel Al-Aly UIN Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES