Kurikulum Merdeka: Cita Ideal dan Kritik Konservatif JK

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Kurikulum Merdeka Belajar yang digagas oleh Kemdikbudristek beberapa waktu lalu mendapat kritik keras dari mantan Presiden Republik Indonesia ke-2, Jusuf Kalla (JK). JK menyampaikan kritikannya tersebut dalam sebuah forum Diskusi Kelompok Terumpun bertajuk “Menggugat Kebijakan Anggaran Pendidikan” pada Sabtu, 7 September di Jakarta. Dalam kritikannya itu, JK menyoroti soal Kurikulum Merdeka yang dinilai tidak tepat sasaran, juga soal penghapusan ujian nasional. Baginya penghapusan ujian nasional dapat menghilangkan substansi dari pendidikan, yakni belajar.
Perlu ditekankan, Kurikulum Merdeka yang telah dimulai (secara bertahap) sejak tahun 2020 dan terus dievaluasi di bawah Menteri Nadiem Makarim bertujuan untuk mengembangkan karakter dan soft skill peserta didik, juga pada materi esensial dan pembelajaran yang fleksibel. Kurikulum Merdeka justru berupaya mendorong suatu pembelajaran yang menyenangkan, yang relevan dengan kebutuhan peserta didik. Implikasinya peserta didik akan merasa lebih merdeka dalam mengeksplorasi minat, bakat, serta aspirasinya. Dapat mengeksplorasi isu-isu aktual yang paling mutakhir sekalipun, seperti isu lingkungan dan kesehatan.
Advertisement
Barangkali itulah yang luput dari JK ketika menyorot soal penghapusan Ujian Nasional. Pada praktiknya, alih-alih Ujian Nasional mendorong peserta didik untuk belajar, seperti yang dikritik JK, justru ada semacam kunkungan dalam proses belajar. Belajar hanya diorientasikan untuk akumulasi nilai supaya lulus ujian. Bukan mengarah pada substansi pembelajaran yang sesungguhnya, yakni bagaimana peserta didik dapat menikmati dan mengeksplorasi pengetahuan dengan menyenangkan. Akibatnya proses pembelajaran menjadi cenderung pragmatis, berjalan di tempat, serta penuh tekanan, lagi-lagi penyebabnya hanya diorientasikan pada nilai ujian sebagai syarat kelulusan.
Padahal untuk mewujudkan peserta didik yang kreatif harus didukung oleh iklim kebebasan. Yasraf Amir Piliang dalam Medan Kreativitas (2019) meneguhkan betapa kebebasan merupakan iklim yang mendukung terhadap tumbuhnya suatu masyarakat kreatif. Kebebasan dengan demikian berarti juga kemerdekaan. Sebab ia berkelindan dengan upaya seseorang mengeksplorasi ide-idenya tanpa dikendalikan oleh orientasi formalisme tertentu yang mengungkung. Kurikulum Merdeka memliki orientasi sebaliknya: menciptakan keleluasaan dan pembelajaran yang menyenangkan.
Kompatibel dengan Tuntutan Zaman
Rancangan kurikulum dalam dunia pendidikan sejatinya mesti berwawasan futuristik, yakni bagaimana menyiapkan peserta didik yang unggul di masa depan dalam rangka menyongsong Indonesia Emas 2045. Berbagai kompetensi mesti disiapkan. Terutama menyangkut soal kompetensi di bidang penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dua hal inilah yang kemudian menjadi basis acuan dalam pengembangan Kurikulum Merdeka saat ini.
Bagaimanapun menyiapkan kualitas pendidikan adalah kunci mewujudkan Generasi Emas Indonesia 2045 nanti. Seperti ungkapan penyair W. S. Rendra, “kemarin dan esok adalah hari ini”. Semua tindakan sungguh-sungguh yang diupayakan pemerintah dalam dunia pendidikan sejak saat ini, tak lain adalah untuk mewujudkan masa depan yang gemilang.
Upaya yang dilakukan pemerintah melalui Kurikulum Merdeka cukup kompatibel dengan temuan Policy Forum on Education (PfoE) soal tantangan dalam dunia pendidikan kita saat ini. Tantangan tersebut di antaranya: kurikulum dan metode belajar-mengajar, digitalisasi pendidikan, pengembangan soft skills, kompetensi guru dan dosen, inklusivitas pendidikan, pembelajaran yang dinamis, kepemimpinan yang berdampak dan bermakna, serta keterlibatan masyarakat dan orang tua. Dalam konteks inklusivitas pendidikan, misalnya, bertaut erat dengan keterbukaan dunia pendidikan kita dalam memberi ruang bagi pertumbuhan kreatif peserta didik. Karena itu karakteristik Kurikulum Merdeka lebih fleksibel, mendorong terselenggaranya pembelajaran yang menyenangkan dan relevan dengan kebutuhan peserta didik.
Begitupun dengan konteks pembelajaran yang dinamis. Selama ini dunia pendidikan kita cenderung terkekang oleh paradigma konservatisme yang ekslusif dan statis. Guru mendominasi ruang kelas. Peserta didik tak ubahnya objek yang terus dijejal berbagai metode ceramah. Alih-alih sebagai transfer ilmu pengetahuan, justru metode semacam ini cenderung menjemukan. Padahal mereka adalah subjek pendidikan yang seyogianya terlibat aktif di ruang kelas, bukan malah pasif. Paradigma Kurikulum Merdeka justru menyangkal metode konservatif semacam itu.
Formulasi program Kurikulum Merdeka justru memberikan keleluasaan bagi peserta didik untuk mengembangkan minat dan bakatnya. Peserta didik diberi waktu lebih banyak untuk mengembangkan kompetensi dan karakter melalui belajar kelompok seputar konteks nyata. Karakteristik seperti ini justru menjadi modal berharga menumbuhkan kepekaan wawasan dalam menyorot segala ragam persoalan. Dengan begitu, sekolah tak ubahnya sebuah rumah, tempat di mana mereka akan senantiasa memiliki inisiatif untuk belajar dengan cara-cara yang menyenangkan.
Meneropong Pendidikan di Negara lain
Di negara maju seperti Inggris dan Finlandia—yang dikenal karena sistem pendidikannya yang baik, pembelajaran yang menyenangkan justru menjadi prioritas utama. Di Finlandia, kurikulum sengaja didesain dengan memprioritaskan aktivitas di luar ruangan. Tidak ada sistem ranking yang diterapkan. Siswa dapat belajar apapun yang mereka inginkan dan benar-benar berpendirian untuk membuka potensi mereka sendiri. Di samping itu, proses pembelajaran siswa alih-alih dinilai dari keterampilan menghafal dan skor kuantatif, justru dilakukan melalui berbagai metode kualitatif yang berfokus pada pengembangan keseluruhan soft skill.
Hampir serupa dengan Finlandia, Inggris juga punya kurikulum menarik. Empat lembaga sains masyhur di sana, Royal Society of Biology, Intitute of Physics, Royal Society of Chemistry, serta Association for Science Education, mendesak pemerintah Inggris supaya memberi pelajaran praktikum lebih banyak, terutama pada siswa sekolah dasar. Praktikumnya pun variatif, tidak seperti praktikum pada umumnya, seperti menanam sayur, membuat adonan roti, hingga makan es lilin di dalam kelas. Melalui praktik macam ini mereka diharapkan mendapat pengalaman lebih konkret, selain juga tentu berkesempatan lebih dekat dengan sains. Model kurikulum seperti ini yang kini justru diadaptasi ke dalam Kurikulum Merdeka
Sebagai orang yang konsevatif pada dunia pendidikan kita, JK justru menolak adaptasi macam itu. Ia lebih menyarankan agar Indonesia belajar ke China, India, Korea, dan Jepang. Alasannya tidak jarang perusahaan besar di Amerika Serikat yang dipimpin oleh orang-orang yang mengenyam pendidikan di keempat negara tersebut, seperti Kamala Haris (calon presiden Amerika berdarah India), hingga CEO Microsoft dan X. Alasan seperti ini justru kurang tepat. Orang-orang keturunan India sukses bukan sebab pendidikan di negaranya, India. Melainkan karena kualitas pendidikan di mana mereka menetap.
Di India, sistem Ujian Nasional dianggap berperan besar untuk menentukan kelulusan siswa. Meski begitu mencontoh India sebagai model pendidikan ideal, tentu bukan satu-satunya jalan menumbuhkan minat belajar. Rajitsinh Disale, peraih Hadiah Guru Dunia yang disponsori oleh Varkey Foundation dan digelar bersama UNESCO pada tahun 2020, justru mengkritik model pendidikan di negaranya. Ia bilang bahwa negaranya, India, harus bergerak dari pendidikan tradisional ke teknik pendidikan modern. Selain itu negaranya belum menerapkan kebijakan siswa sentris, di mana para siswa dapat dengan bebas belajar apa yang mereka inginkan.
Ujian Nasional bukan jalan satu-satunya cara menumbuhkan minat belajar siswa secara efektif dan menyenangkan. ‘Merdeka Belajar’ sebagai pengganti Ujian Nasional setidaknya menjadi ikhtiar mewujudkan sistem pendidikan yang ideal, yang sesuai dengan potensi siswa. Siklus pelaksanaannya dilakukan melalui tiga hal, yakni asesmen diagnostik, perencanaan, dan pembelajaran. Asesmen diagnostik bertujuan untuk mengenali potensi, karakteristik, kebutuhan, tahap perkembangan, dan tahap pembelajaran peserta didik yang dilakukan di awal tahun pembelajaran. Hasil asesmen diagnostik ini membantu para guru dalam menyusun proses pembelajaran. Sehingga nantinya mereka akan memiliki perencanaan yang benar-benar matang serta dapat melakukan klasifikasi siswa berdasarkan tingkat kemampuannya.
Guru juga dapat melakukan asesmen formatif secara berkala yang bertujuan untuk mengetahui capaian pembelajaran siswa serta dapat melakukan penyesuaian metode pembelajaran, apabila dibutuhkan. Asesmen sumatif juga dilakukan di akhir proses pembelajaran sebagai upaya evaluasi ketercapaian tujuan pembelajaran. Model semacam ini tentu saja jauh lebih efektif dari pada Ujian Nasional yang cenderung pragmatis. Alih-alih pragmatis, dalam Kurikulum Merdeka lebih menekankan pada proses pembelajaran yang mendalam, tidak terburu-buru, bermakna, dan menyenangakan.
***
*) Oleh: Muhammad Ghufron, Komunitas Kutub dan Peneliti di Institute of Law and Politics for Millenial Yogyakarta (ILPM).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |