TIMESINDONESIA, PADANG – Korupsi telah menjadi masalah struktural yang terus melanda negara-negara di seluruh dunia, terutama negara-negara berkembang. Di Indonesia, korupsi merupakan “langganan” sumber problematika yang memengaruhi berbagai sektor kehidupan, mulai dari ekonomi, politik, hingga kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan. Berdasarkan data yang ada, tindak korupsi kerap berkembang di pusaran kekuasaan. Dengan kata lain, kekuasaan menjadi magnet bagi tindakan koruptif.
Kekuasaan sebagai Stimulus Korupsi
Advertisement
Kekuasaan memiliki daya tarik yang kuat, bukan hanya karena menawarkan kontrol atas sumber daya dan kebijakan, tetapi juga karena membuka lebar peluang untuk memperkaya diri. Lord Acton, seorang filsuf Inggris, pernah berkata bahwa "kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut cenderung korup secara absolut."
Kutipan tersebut menggambarkan, semakin besar kekuasaan yang dimiliki seseorang semakin besar pula potensi penyalahgunaannya. Dalam struktur politik dan birokrasi, individu yang berada di pusaran kekuasaan memiliki akses (luar biasa) besar terhadap sumber daya, keputusan, dan kebijakan. Tanpa pengawasan yang ketat, kekuasaan sering kali digunakan untuk kepentingan pribadi, bahkan memperkaya diri atau kelompok.
Studi dari Transparency International pada 2023 menunjukkan bahwa negara-negara dengan kontrol kekuasaan yang lemah cenderung memiliki tingkat korupsi yang tinggi. Indonesia, misalnya, berada pada peringkat 110 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi 2023. Meski upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan, seperti melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tantangan terbesar tetap datang dari internal kekuasaan.
Lebih jauh, tindak korupsi tidak hanya terbatas pada penyalahgunaan anggaran negara atau praktik suap dalam pengelolaan proyek. Perilaku koruptif juga dapat muncul dalam bentuk manipulasi hukum dan politik demi mempertahankan atau memperluas kekuasaan.
Praktik semacam ini sering berlaku dalam pengaturan undang-undang, pemilihan hakim, hingga pembungkaman terhadap oposisi. Manipulasi hukum ini berbahaya karena tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menggerus prinsip keadilan dan supremasi hukum.
Di Indonesia, praktik semacam ini kerap terjadi, di mana kebijakan dan peraturan hukum diubah untuk melanggengkan kekuasaan individu atau kelompok tertentu. Misalnya, perubahan UU Pemilu yang menguntungkan pihak berkuasa atau intervensi dalam lembaga peradilan untuk melindungi pejabat korup. Fenomena ini menunjukkan bahwa perilaku koruptif paralel dengan upaya mempertahankan kekuasaan, bahkan dengan cara yang tampak legal di permukaan namun sarat manipulasi.
Teori Perilaku Koruptif
Terdapat beberapa teori yang mencoba menjelaskan hubungan antara kekuasaan dan perilaku korupsi. Salah satu yang paling terkenal adalah Teori Agensi versi Michael Jensen dan William Meckling. Menurut teori ini, korupsi muncul karena adanya perbedaan kepentingan antara agen (penguasa) dan prinsip (rakyat). Penguasa sering kali mengedepankan kepentingan pribadi di atas kepentingan publik, sehingga mereka cenderung menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi.
Selain itu, Teori Perilaku Koruptif dari Robert Klitgaard menekankan bahwa korupsi terjadi ketika seseorang memiliki monopoli kekuasaan, diskresi, dan ketiadaan akuntabilitas. Dalam kondisi ini, individu yang memegang kekuasaan memiliki peluang lebih besar untuk bertindak koruptif karena mereka tidak dihadapkan pada ancaman sanksi yang serius. Semakin kuat kontrol seiring minimnya pengawasan, semakin besar kemungkinan perilaku korupsi berkembang.
Kedua teori ini relevan dengan konteks Indonesia, di mana kasus-kasus korupsi sering kali muncul di kalangan pejabat yang memiliki kontrol besar atas keputusan, anggaran, atau proyek. Rendahnya transparansi dan lemahnya mekanisme pengawasan, terutama baik tingkat lokal maupun nasional, memperlebar celah korupsi.
Data Terbaru
Merujuk beberapa tahun terakhir, Indonesia terus dirundung kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi. Pada 2023, salah satu kasus besar adalah penangkapan seorang pejabat tinggi di Kementerian Keuangan yang terlibat dalam praktik suap terkait pengelolaan pajak.
Kasus ini menambah daftar panjang pejabat pemerintah yang tertangkap karena memanfaatkan jabatannya untuk keuntungan pribadi. Menurut data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), pada 2023 terdapat setidaknya 1.000 kasus korupsi yang sedang diproses oleh KPK, sebagian besar melibatkan pejabat daerah dan sektor keuangan.
Tidak hanya itu, Transparency International juga melaporkan bahwa korupsi di sektor publik semakin terstruktur, terutama dalam pengadaan barang dan jasa serta pengelolaan anggaran daerah.
Di sini terlihat jelas bagaimana monopoli kekuasaan dan diskresi yang tinggi memberikan celah besar bagi pejabat untuk bertindak korupsi. Selain itu, dalam konteks pandemi COVID-19, muncul sejumlah kasus korupsi yang melibatkan bantuan sosial, di mana dana yang seharusnya dialokasikan untuk masyarakat malah disalahgunakan untuk kepentingan kelompok dan pribadi.
Menakar Strategi Pencegahan Korupsi
Salah satu upaya utama yang urgen untuk terus dilakukan pemerintah Indonesia dalam mencegah korupsi adalah dengan memperkuat peran KPK serta memperbaiki sistem pengawasan internal di berbagai lembaga pemerintahan. Implementasi di lapangan justru jauh panggang dari api. Sejak revisi UU KPK pada 2019, kewenangan lembaga anti rasuah ini telah dibonsai dan diamputasi.
Dampaknya secara tidak langsung, berdasarkan survei oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2023, kepercayaan publik terhadap KPK menurun, dari 80% pada 2018 menjadi 63% pada 2023. Penurunan ini mencerminkan kekhawatiran publik bahwa KPK tidak lagi sekuat sebelumnya dalam memberantas korupsi.
Selain memperkuat lembaga antikorupsi, salah satu langkah penting yang realisasinya terkesan setengah hati adalah reformasi birokrasi. Dalam konteks ini, korupsi tidak hanya terkait dengan kekuasaan politik, tetapi juga menggurita dalam struktur birokrasi yang kompleks dan penuh celah.
Laporan Bank Dunia 2022 menyebutkan bahwa birokrasi Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam hal transparansi dan akuntabilitas. Salah satu rekomendasi utama dari laporan ini adalah memperkuat sistem pengawasan internal, mempercepat digitalisasi dalam layanan publik, serta meningkatkan partisipasi publik dalam pengawasan.
Dalam rangka mendukung peran dan fungsi pengawasan terhadap jalannya kekuasaan, sejatinya masyarakat memiliki peran yang sangat krusial. Peran ini semakin terbuka dijalankan dengan adanya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, terutama lagi sejak booming media sosial.
Melalui berbagai kelengkapan feature-nya media sosial semestinya (semakin) menjadi alat yang efektif untuk memantau perilaku para pejabat, membongkar skandal, dan mengadvokasi transparansi. Platform seperti X, Facebook, dan Instagram adalah lahan potensial bagi masyarakat untuk berbagi informasi, mengkritik kebijakan, serta mengekspos tindakan-tindakan yang mencurigakan dari para pejabat publik.
Intinya, peran media massa, khususnya media digital, semakin penting dalam membangun kontrol sosial terhadap perilaku pejabat. Di era digital, masyarakat memiliki akses lebih luas terhadap informasi dan dapat berpartisipasi secara aktif dalam proses pengawasan.
Lebih jauh, gerakan antikorupsi melalui berbagai platform media sosial, memungkinkan masyarakat membentuk opini publik, yang pada gilirannya memengaruhi pengambilan keputusan politik dan kebijakan. Pada beberapa kasus, gerakan antikorupsi sering kali dimulai dari advokasi di media sosial yang akhirnya menarik perhatian publik dan media mainstream, mendorong investigasi lebih lanjut.
Pengawasan publik yang dilakukan melalui media digital dapat berperan sebagai penekan agar pejabat publik tetap menjaga integritas dan terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan. Peran masyarakat dalam pengawasan merupakan langkah preventif yang dapat mengurangi potensi korupsi, terutama ketika sistem dan lembaga penegak hukum tidak optimal menjalankan tugasnya.
***
*) Oleh : Mohammad Isa Gautama, Dosen Komunikasi Politik, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |