Linguistik Forensik: Mengungkap Kejahatan Berbahasa di Era Digital

TIMESINDONESIA, SULAWESI – Di era digital yang semakin berkembang pesat, interaksi manusia melalui media sosial, email, pesan teks, dan platform digital telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Meskipun kemudahan dan efisiensi komunikasi ini bermanfaat, dunia maya juga menyimpan ancaman baru, seperti kejahatan siber dan ujaran kebencian.
Laporan Kominfo tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 500.000 konten negatif, termasuk ujaran kebencian dan hoaks, dilaporkan di media sosial. Ujaran kebencian di Indonesia sering terkait dengan isu sensitif seperti suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA).
Advertisement
Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) melaporkan bahwa sekitar 45% pengguna internet di Indonesia pernah terpapar konten negatif di media sosial. Data ini menunjukkan pentingnya analisis linguistik forensik untuk mengungkap kejahatan melalui bahasa di media sosial.
Linguistik forensik merupakan cabang ilmu linguistik yang menerapkan prinsip-prinsip analisis bahasa dalam konteks hukum. Menurut Macmenamin dalam bukunya forensic Linguistics: An Introduction to Language in the Justice System (2002), linguistik forensik didefinisikan sebagai aplikasi prinsip-prinsip dan metode linguistik untuk analisis dan pemecahan masalah hukum.
Dalam hal ini, linguistik forensik digunakan untuk memberikan bukti dalam konteks hukum, termasuk penyelidikan kejahatan, penafsiran kontrak, dan analisis komunikasi terkait kasus hukum. Melalui disiplin ini, ahli linguistik menganalisis bukti bahasa, baik lisan maupun tulisan, yang bisa menjadi petunjuk penting dalam mengungkap kejahatan. Di era digital saat ini, jejak digital dapat dengan mudah dihapus atau disembunyikan, sehingga analisis bahasa menjadi alat yang sangat berharga.
Salah satu keunggulan linguistik forensik adalah kemampuannya memanfaatkan bahasa sebagai bukti digital. Meskipun pesan teks, email, atau postingan di media sosial dapat dihapus secara fisik, jejak bahasa yang tertinggal sulit untuk dihilangkan sepenuhnya. Setiap individu memiliki gaya bahasa yang unik, mulai dari pemilihan kata, penggunaan tanda baca, hingga pola kalimat. Ini disebut “sidik jari linguistik,”yang dapat digunakan untuk melacak identitas seseorang.
Di Indonesia, perkembangan teknologi digital juga membawa tantangan besar dalam menghadapi ujaran kebencian dan penipuan online. Media sosial menjadi tempat di mana ujaran kebencian, fitnah, dan provokasi sering tersebar dengan mudah. Meskipun pelakunya dapat menyembunyikan identitas di balik akun anonim, gaya bahasa mereka tetap dapat diidentifikasi melalui analisis linguistik.
Contohnya, dalam kasus ujaran kebencian terhadap tokoh publik, para ahli linguistik forensik dapat menganalisis pola bahasa dari berbagai postingan untuk menentukan apakah mereka ditulis oleh individu atau kelompok tertentu. Teknik seperti analisis sentimen, pola pengulangan kata, dan penggunaan frasa tertentu dapat memberikan bukti kuat dalam proses hukum.
Namun, penerapan linguistik forensik juga menghadapi tantangan. Keterbatasan data, seperti jejak bahasa yang sangat sedikit, menyulitkan analisis karena semakin sedikit data, semakin kecil kemungkinan untuk mendapatkan kesimpulan akurat. Variasi bahasa dan dialek juga menjadi tantangan, terutama di negara multikultural seperti Indonesia, di mana setiap daerah memiliki bahasa dan slang yang berbeda. Ahli linguistik forensik harus sangat familiar dengan variasi bahasa agar analisis akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam hal ini,peran linguistik forensik akan semakin penting dengan perkembangan teknologi yang terus berubah. Penggunaan kecerdasan buatan (AI) dan analisis data besar (big data) akan mempercepat dan meningkatkan akurasi analisis bahasa.
Algoritma canggih dapat menganalisis jutaan teks dengan cepat, mengidentifikasi pola-pola yang mungkin terlewatkan oleh manusia. Namun, peran manusia tetap tak tergantikan dalam interpretasi dan analisis data, karena bahasa adalah entitas kompleks dan dinamis.
Linguistik forensik bukan hanya alat untuk mengungkap kejahatan, tetapi juga pengingat bahwa di era digital, kata-kata memiliki kekuatan yang lebih besar dari yang kita bayangkan. Mereka dapat menjadi bukti, alat, dan senjata dalam mengungkap kebenaran di tengah arus informasi digital.
***
*) Oleh : Nadia Novernia Cristy Katuuk S.S, Duta Bahasa Sulawesi Utara 2024 dan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi Manado.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |