Pilkada 2024: Peluang Incumbent dan Realisasi Janji Politik

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pertarungan elektoral menuju Pilkada 2024 sudah didepan mata. Perang opini mulai ramai di kanal-kanal media sosial. Para kandidat sudah ancang-ancang, mempersiapkan diri untuk maju bertarung pada salah satu perhelatan paling bergensi di bangsa ini.
Para kandidat calon kepala daerah seperti gubernur, bupati dan walikota, sudah harus mempersiapkan banyak hal sebagai bekal maju di pilkada nanti, seperti kendaraan partai politik, infrastruktur tim pemenangan, isu dan program serta sokongan finansial agar proses konsolidasi pemenangan bisa berjalan maksimal.
Advertisement
Tidak hanya itu, mental, track record dan reputasi juga perlu disiapkan. Baik incumbent maupun penantang harus siap dari semua aspek, terlebih incumbent yang punya beban masa lalu. Bagi seorang incumbent atau petahana, janji politik saat kampanye di pilkada sebelumnya bisa menjadi berkah sekaligus malapetaka. Ia memiliki wajah janus yang bisa mendatangkan kemenangan sekaligus kekalahan.
Dalam mitologi Yunani, Janus digambarkan sebagai dewa bermuka dua dan menghadap ke arah yang berlawanan. Satu wajah kedepan dan satunya lagi ke belakang. Dalam konteks positioning petahana saat pilkada, satu wajah penuh optimisme menang karena janji politik yang disampaikan saat pilkada sebelumnya bisa terealisasi dengan baik.
Wajah lainnya menampilkan pesimisme akibat buruknya prestasi kerja, pengelolaan birokrasi yang amburadul sehingga mengakibatkan pelayanan publik yang buruk, mental birokrat yang korup, pola kepemimpinan yang berjarak dengan rakyat, serta seabrek persoalan yang membuat pesona elektoral seorang petahana turun drastis saat momentum pilkada berlangsung.
Hal inilah yang membuat peluang petahana saat pilkada semakin mengecil. Petahana tidak lagi superior karena masyarakat merasa tidak puas dengan gaya kepemimpinan yang tidak memiliki dampak sama sekali terhadap kehidupan mereka.
Kebijakan programatik yang dilakukan dianggap tidak merepresentasikan kepentingan publik dan hanya mewakili kepentingan sekelompok orang yang dekat dengan circle kekuasaan. Visi-misi saat kampanye politik pada pilkada sebelumnya pun tak direalisasikan sehingga menimbulkan rasa kecewa secara berjamaah di masyarakat.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Kompas (21/12/2020) menyebutkan bahwa 10 dari 15 incumbent atau petahana di Jawa Timur (Jatim) yang ikut kontestasi pilkada pada tahun 2020 harus tumbang dari penantangnya. Hanya lima petahana yang bernasib baik, dan bisa melanjutkan kepemimpinannya. Apakah di pilkada 2024 ini, akan ada kejutan dan ada perubahan trend incumbent bisa bertahan dan melanjutkan kemenangan, atau malah akan kalah oleh sang penantangnya.
Padahal, secara teori, calon kepala daerah petahana yang sedang berkuasa punya potensi menang dalam setiap kontestasi pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dan fenomena ini terjadi hampir di semua provinsi di Indonesia. Superioritas petahana tak lagi sehebat dulu.
Hal ini diakibatkan karena masyarakat sudah mulai rasional dalam menentukan pilihan politik sehingga ada evaluasi terhadap kinerja sang petahana terhadap apa yang sudah dia lakukan selama lima tahun, termasuk program apa yang dia tawarkan kedepan.
Menurut saya, ada empat aspek penting yang membuat petahana bisa tumbang. Pertama, realisasi janji politik saat kampanye yang tidak tuntas dikerjakan sehingga memunculkan distrust di masyarakat.
Kedua, kinerja birokrasi yang buruk akibat dari lemahnya leadership yang dimiliki oleh sang petahana sehingga berdampak sistemik terhadap kepentingan masyarakat sampai ke akar rumput (grassroots).
Ketiga, tidak ada ide progresif yang mampu dihadirkan oleh sang petahana dalam meyakinkan pemilih terkait dengan peta jalan pembangunan yang akan dibangun lima tahun yang akan datang. Minimal, ia mampu meyakinkan publik bahwa pembangunan pada periode pertama yang dianggap belum maksimal akan dituntaskan diperiode kedua andaikan kesempatan itu diberikan.
Keempat, disaat terjadi krisis kepercayaan masyarakat terhadap petahana, muncul penantang yang hadir dengan gagasan dan program yang lebih menarik dan kompatibel sehingga masyarakat melihat sang penantang ini sebagai figur alternatif yang dapat dipercaya.
Bila mencermati konstelasi politik di Pilkada 2024 mendatang, saya berani berspekulasi, akan banyak incumbent yang berguguran karena tidak mampu menjaga performa kepemimpinan dengan baik sehingga dengan mudah bagi masyarakat untuk mengevaluasi mereka saat proses pilkada berlangsung.
Kalau tidak ada upaya untuk memperbaiki performa kepemimpinan, maka potensi menang bagi sang petahana juga terbilang kecil. Dan akan dengan mudah dikalahkan okeh sang rival petahana. Semuanya serahkan kepada masyarakat, masyarakat apakah masih menginginkan keberlanjutan atau malah gerakan ingin perubahan ganti kepala daerah semakin kencang arusnya.
***
*) Oleh : Asep Suriaman, S. Psi., Direktir Eksekutif Pusat Studi Demokrasi dan Kebijakan Publik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |