
TIMESINDONESIA, PADANG – Menjelang akhir masa jabatannya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menghadapi pertanyaan tentang warisan atau legacy apa yang akan ditinggalkan setelah dua periode kepemimpinannya. Dalam sejarah Indonesia modern, setiap presiden meninggalkan jejak yang kuat. Terkhusus Jokowi, pencarian legacy-nya lebih rumit dan berpotensi gagal disebabkan berbagai capaian minor dan manuver tidak terpuji.
Salah satu aspek yang paling menonjol dan selalu didengungkan sejak masa kampanye Pilpres 2014 adalah pembangunan infrastruktur yang masif. Jokowi dulu sering berjanji di berbagai kesempatan, melalui proyek Tol Laut, pembangunan jalan tol, bandara, dan pelabuhan, ia mengubah wajah fisik Indonesia.
Advertisement
Pembangunan infrastruktur, katanya lagi, bertujuan untuk memperkuat konektivitas antarwilayah, mendukung pertumbuhan ekonomi, dan mempercepat distribusi barang dan jasa. Bahkan, Jokowi sering mengklaim bahwa pembangunan ini akan menjadi warisan terbesarnya.
Dalam realisasinya, proyek-proyek infrastruktur ini cenderung over-invested dan terkadang tidak memperhitungkan dampak jangka panjang, terutama terkait utang luar negeri. Proyek besar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) juga dipertanyakan efektivitas dan kelanjutannya, mengingat banyak skeptisisme soal sumber pendanaan dan dampak sosial-ekologis.
Selain infrastruktur, aspek lain yang harus diperhatikan dalam pencarian legacy Jokowi adalah kondisi demokrasi dan dinamika politik selama masa pemerintahannya. Masa kepemimpinan Jokowi diwarnai oleh tantangan yang besar dalam menjaga stabilitas politik dan demokrasi.
Salah satu isu terbesar adalah munculnya politik identitas yang menajam pada Pemilu 2014, Pilkada 2017, Pemilu 2019, dan Pemilu 2024.
Kampanye politik yang memecah belah berdasarkan agama, etnis, dan ideologi menciptakan polarisasi yang sangat kuat di masyarakat. Jokowi, meskipun berhasil menang dalam dua kali pemilu, menghadapi tantangan besar dalam meredam ketegangan tersebut.
Politisasi agama, yang mencapai puncaknya pada Pilkada Jakarta 2017, memengaruhi relasi antar warga dan menyisakan kerusakan sosial yang sulit dipulihkan. Jokowi juga dinilai gagal sepenuhnya dalam menanggulangi radikalisme yang terus merongrong tatanan kebhinekaan.
Lebih lanjut, isu kebebasan sipil juga menjadi sorotan selama pemerintahan Jokowi. Ada penurunan indeks demokrasi di Indonesia. Laporan dari The Economist Intelligence Unit (EIU) pada tahun 2023, Indonesia mengalami penurunan skor dalam Indeks Demokrasi, yang menandakan melemahnya kebebasan sipil dan pers.
Penanganan terhadap aktivis, kriminalisasi kritik, dan pelanggaran hak asasi manusia seperti yang terlihat pada kasus Papua, juga menjadi tanda tanya besar bagi legacy Jokowi di bidang demokrasi.
Belum lagi masalah korupsi yang terlihat tidak serius dibenahi. Selama masa kepemimpinan Joko Widodo, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru dilemahkan yang mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik.
Beberapa kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan pemerintah, seperti revisi Undang-Undang KPK pada tahun 2019, merupakan langkah mundur dalam upaya pemberantasan korupsi. Revisi tersebut mengubah struktur dan fungsi KPK, serta memperkenalkan mekanisme yang membuat lembaga tersebut kurang independen dan rentan terhadap intervensi politik.
Prestasi negatif Jokowi diperparah melalui peringkat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang mengalami "terjun bebas",mencapai skor terendah sejak reformasi. Pada tahun 2023, Indonesia mencatat skor 34 dari skala 100, menempatkan negara ini di peringkat ke-115 dari 180 negara.
Penurunan ini menunjukkan bahwa penanganan problem korupsi masih asal-asalan. Belum lagi data mengenai 7 menteri/wakil menteri semasa pemerintahan Jokowi yang terjerat kasus Jokowi.
Rapuh dan Semakin Timpang
Selama sepuluh tahun pemerintahan Joko Widodo, kondisi ekonomi Indonesia menunjukkan rapor yang memprihatinkan. Pertumbuhan ekonomi stagnan di sekitar 5% per tahun, jauh dari target yang diharapkan. Meskipun pemerintah gencar membangun infrastruktur, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi yang substansial masih diragukan.
Sementara itu, angka pengangguran meningkat, mencatat lebih dari 6 juta jiwa pada tahun 2023, seiring dengan dampak pandemi COVID-19 dan ketidakmampuan sektor-sektor ekonomi untuk menyerap tenaga kerja yang cukup. Peningkatan pengangguran ini menjadi indikator nyata bahwa pertumbuhan yang ada belum mampu menciptakan lapangan kerja yang memadai bagi masyarakat.
Beban utang pemerintah juga terus membengkak juga menjadi sorotan utama selama masa kepemimpinan Jokowi. Data menunjukkan bahwa utang luar negeri Indonesia mencapai lebih dari 700 triliun rupiah pada 2023, dengan rasio utang terhadap PDB mendekati 40 persen.
Kenaikan utang ini menimbulkan kekhawatiran serius tentang keberlanjutan fiskal dan risiko potensi krisis ekonomi di masa depan. Para ekonom memperingatkan bahwa dengan tingkat utang yang tinggi, pemerintah mungkin akan kesulitan dalam membiayai program-program sosial dan infrastruktur yang penting bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Potret buram aspek ekonomi diperparah oleh ketimpangan di mana 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai hampir 30 persen total kekayaan nasional. Meskipun beberapa indikator makroekonomi menunjukkan perbaikan, distribusi kekayaan tetap tidak merata. Kondisi ini berpotensi menghambat pertumbuhan jangka panjang dan mengganggu stabilitas sosial.
Jokowi juga dianggap kurang efektif dalam mendorong reformasi struktural yang mendalam, terutama di sektor manufaktur dan agraria yang tetap stagnan. Tantangan ini akan menjadi pengingat bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi terjaga, keberlanjutan dan pemerataan menjadi tantangan bagi warisan ekonomi Jokowi.
Pemerintahan Jokowi juga dihadapkan pada kritik terkait kebijakan lingkungan. Pembangunan infrastruktur yang masif kerap menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, terutama di daerah-daerah yang rentan terhadap perubahan ekologis. Proyek IKN misalnya, menuai protes dari aktivis lingkungan karena berpotensi merusak ekosistem Kalimantan.
Kebakaran hutan, alih fungsi lahan, dan eksploitasi sumber daya alam terus terjadi selama era Jokowi. Meskipun pemerintah berusaha memperbaiki pengelolaan lingkungan dengan berbagai kebijakan, seperti moratorium izin lahan kelapa sawit, dampaknya dinilai belum signifikan. Jika isu lingkungan tidak ditangani dengan serius, legacy Jokowi dalam hal keberlanjutan ekologi akan terancam negatif.
Dinasti Politik dan Masifikasi Oligarki
Salah satu kritik terbesar terhadap Jokowi adalah konsolidasi oligarki yang semakin kuat selama masa pemerintahannya. Banyak pengamat menilai bahwa meski Jokowi berasal dari latar belakang yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan oligarki politik, pemerintahannya justru memperlihatkan tren meningkatnya kekuasaan oligarki.
Hal ini ditandai dengan pengaruh kelompok bisnis besar dan elite politik dalam menentukan arah kebijakan publik, seperti revisi UU Minerba, RUU Cipta Kerja, hingga kontroversi perpanjangan masa jabatan kepala daerah melalui UU Pemilu.
Bahkan, dukungan Jokowi terhadap Prabowo Subianto di Pilpres 2024 menunjukkan adanya kompromi politik yang dinilai memperkuat hegemoni kekuasaan. Jokowi bahkan sempat mengaku bahwa sikap cawe-cawe-nya dalam Pilpres 2024 merupakan hal sah dan wajar.
Di titik ini, pemerintahan Jokowi secara tidak langsung memposisikan dirinya tidak pro-rakyat, melainkan berpihak kepada kepentingan segelintir elite.
Berbeda dengan citra di awal kepemimpinannya sebagai simbol anti-oligarki dan perwakilan rakyat biasa, kini Jokowi justru secara terang-terangan melakukan penguatan dinasti politik di lingkaran keluarganya.
Dalam beberapa tahun terakhir, posisi strategis yang dipegang oleh anak-anak dan menantunya dalam pemerintahan lokal bahkan nasional mempertegas tren dinasti politik.
Putranya, Gibran Rakabuming Raka, yang menjadi Walikota Solo dan kini Wapres terpilih, serta menantunya, Bobby Nasution, yang menjabat sebagai Walikota Medan (dan sebentar lagi diproyeksikan Gubernur Sumut) menunjukkan upaya sistematis begal konstitusi dalam konteks dinasti politik.
Ini belum lagi kita bicara mengenai sikap pamer kemewahan yang dilakukan oleh Kaesang, putra keduanya yang pulang-balik ke luar negeri menggunakan pesawat jet pribadi dan menyulut gonjang-ganjing politik tanah air.
Dinasti politik dan begal konstitusi bukan hanya mengaburkan visi awal Jokowi sebagai pemimpin yang sederhana dan merakyat, tetapi juga melanggar amanat reformasi 1998, yang bertujuan menghentikan praktik kolusi dan nepotisme.
Kekuatan politik berbasis keluarga ini memunculkan kekhawatiran bahwa pemerintahan ke depan akan semakin dikendalikan oleh elit-elit politik yang berasal dari lingkaran keluarga, bukan berdasarkan kapasitas atau kompetensi.
Dampaknya, demokrasi yang seharusnya memberikan kesempatan setara bagi semua pihak kini dikuasai oleh mereka yang memiliki akses kekuasaan melalui hubungan darah.
Sistem dinasti politik ini menjadi bagian dari fenomena yang lebih luas terkait konsolidasi kekuasaan di Indonesia. Alih-alih membangun pemerintahan yang transparan dan berkeadilan, pemerintahan Jokowi terperangkap dalam permainan politik yang mengedepankan kepentingan keluarga dan oligarki.
Demokrasi Indonesia, yang pernah bangkit dari dominasi kekuasaan Orde Baru, kini kembali menghadapi ancaman oligarki dan dinasti politik yang terstruktur.
Akhirulkalam, pencarian legacy Jokowi mengalami jalan buntu manakala berbagai capaian tidak mengindikasikan realitas positif. Yang akan dikenang oleh anak cucu tak lebih dari kelihaian beretorika sekaligus melanggar janjinya sendiri serta laku manuver politik yang menancapkan dominasi keluarga dan kekuasaan yang oligarkis.
Penguatan dinasti politik dan pemberian peluang nyaris tak terbatas pada oligarki tidak hanya menodai harapan rakyat, tetapi juga mengangkangi amanat reformasi yang telah diperjuangkan dengan darah dan keringat.
***
*) Oleh: Mohammad Isa Gautama, Dosen Komunikasi Politik dan Kepala Gerakan Bersama Antikorupsi Universitas Negeri Padang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi TIMES Indonesia.
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |