Tantangan Petani Konvensional di Ogan Ilir dan Masalah Stunting yang Mengancam Masa Depan Anak-Anak
TIMESINDONESIA, MALANG – Petani konvensional, yang mengelola sekitar 90% lahan pertanian dunia, berperan penting dalam keberlanjutan produksi pangan global. Namun, di balik kontribusi signifikan ini, mereka menghadapi tantangan besar. Sebagian besar petani ini hidup di pedesaan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kehidupan mereka kerap diwarnai oleh kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan akses terbatas terhadap sumber daya alam. Di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, tantangan ini semakin diperburuk oleh tingginya prevalensi stunting pada anak-anak, sebuah krisis yang mengancam masa depan generasi muda di wilayah ini.
Stunting, kondisi gagal tumbuh yang disebabkan oleh kekurangan gizi kronis, menjadi salah satu masalah utama kesehatan anak-anak di Indonesia. Data menunjukkan peningkatan signifikan prevalensi stunting di Sumatera Selatan, dari 19,3% pada tahun 2016 menjadi 22,8% pada tahun 2017. Keadaan ini mengundang perhatian pemerintah, yang melalui Peraturan Presiden RI Nomor 72 Tahun 2021, menetapkan target penurunan prevalensi stunting menjadi 14% secara nasional melalui pendekatan multisektor.
Advertisement
Namun, perjuangan untuk mencapai target ini tidak mudah. Stunting tidak hanya disebabkan oleh kekurangan gizi pada anak-anak, tetapi juga oleh berbagai faktor lain, termasuk pola asuh yang tidak tepat, pendidikan orang tua yang rendah, pendapatan keluarga yang terbatas, dan minimnya akses terhadap layanan kesehatan yang memadai. Di Ogan Ilir, sebuah studi eksplanatif kuantitatif yang dilakukan pada tahun 2023 mengungkapkan gambaran yang lebih mendalam mengenai hubungan antara kondisi sosial ekonomi keluarga petani dan kejadian stunting pada anak-anak mereka. Hal inilah yang membuat Nico Syah Putra, mahasiswa program Doktor Ilmu Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang mengangkat topik terkait stunting dalam penelitian disertasinya.
Pendidikan dan Pengetahuan Ibu: Kunci Penentu Gizi Anak
Dalam studi yang melibatkan responden perempuan di Kabupaten Ogan Ilir, terungkap bahwa mayoritas ibu tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang sumber gizi untuk balita mereka. Sebanyak 61,4% ibu hanya berpendidikan setingkat SD, dan ini berdampak pada pemahaman mereka tentang gizi keluarga. Tabel 3 dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa 29 dari 44 responden tidak tahu cara menghitung kebutuhan kalori harian anak-anak mereka. Ini berarti banyak anak-anak balita di wilayah ini mungkin tidak mendapatkan asupan gizi yang cukup untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.
Masalah ekonomi menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi pemenuhan gizi anak-anak.
Sebanyak 79,6% keluarga petani di Ogan Ilir hidup dengan pendapatan bulanan yang sangat terbatas, antara Rp 1.000.000 hingga Rp 2.000.000. Dengan pendapatan yang terbatas, keluarga-keluarga ini harus membuat keputusan sulit tentang prioritas pengeluaran rumah tangga. Meskipun mayoritas ibu sepakat untuk memberi makanan yang lebih bergizi saat memiliki uang, namun ketika keuangan menipis, kebutuhan lain sering kali diprioritaskan dibandingkan dengan makanan bergizi untuk balita.
Nico menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar ibu berusaha menyiapkan makanan bergizi untuk anak-anak mereka, pilihan makanan tetap sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi. terlihat bahwa banyak keluarga cenderung menyesuaikan jenis makanan yang disajikan sesuai dengan anggaran yang ada. Prioritas utama dalam keuangan keluarga sering kali tidak mencakup makanan bergizi bagi anak-anak, melainkan kebutuhan lain yang dianggap lebih mendesak.
Kebiasaan Konsumsi yang Berisiko
Selain masalah ekonomi, pola konsumsi keluarga juga berperan besar dalam kejadian stunting. Banyak keluarga petani di Ogan Ilir tidak memiliki jadwal makan yang teratur untuk balita mereka, dan sering kali anak-anak dipaksa makan meskipun sedang tidak berselera. Dalam situasi tertentu, ibu-ibu bahkan lebih memilih menyelesaikan pekerjaan mereka sebelum memberi makan anak-anak, yang tentu saja berdampak buruk bagi perkembangan anak.
Nico juga menunjukkan bahwa 72,7% keluarga memiliki jarak kelahiran antara 2 hingga 5 tahun, yang seharusnya memberikan cukup waktu bagi ibu untuk fokus pada kebutuhan gizi anak-anak mereka. Namun, kenyataannya tidak demikian. Banyak ibu lebih memilih memberikan jajanan atau susu formula (sufor) sebagai pengganti makanan bergizi ketika anak-anak mereka menolak makan, sebuah kebiasaan yang justru memperburuk kondisi kesehatan anak.
Budaya dan Nilai Sosial yang Mempengaruhi Pola Asuh
Budaya juga menjadi faktor signifikan dalam perilaku pemberian makan pada balita. Di Ogan Ilir, pola asuh balita sering kali didasarkan pada tradisi yang diwariskan oleh orang tua atau lingkungan sekitar. Sebagai contoh, banyak ibu lebih memilih memberikan makanan yang sama dengan yang dimakan oleh anggota keluarga lainnya, meskipun makanan tersebut mungkin tidak memenuhi kebutuhan gizi anak-anak. Data menunjukkan bahwa budaya patriarki di wilayah ini juga memengaruhi distribusi makanan dalam keluarga, dengan ayah sering kali diprioritaskan dalam hal makanan, sementara anak-anak harus puas dengan sisa makanan yang ada.
Budaya seperti ini tentu menambah kompleksitas dalam upaya penurunan prevalensi stunting. Kebiasaan-kebiasaan yang telah lama mengakar sering kali sulit diubah, meskipun sebenarnya berdampak negatif terhadap kesehatan anak-anak. Oleh karena itu, intervensi kesehatan dan gizi yang dilakukan harus memperhitungkan aspek budaya lokal agar lebih efektif.
Kesadaran dan Harapan untuk Masa Depan
Meskipun banyak tantangan yang dihadapi, studi ini juga mengungkapkan harapan. Mayoritas responden sepakat bahwa kondisi sosial ekonomi keluarga mereka berperan dalam kejadian stunting pada anak-anak. Ini menunjukkan bahwa, meskipun kesulitan ekonomi dan budaya yang mengakar kuat, para ibu petani di Ogan Ilir sadar akan pentingnya memperbaiki perilaku gizi keluarga.
Pemerintah telah meluncurkan berbagai program untuk menurunkan prevalensi stunting, termasuk program Keluarga Berencana (KB), penyediaan air bersih, dan sanitasi. Namun, untuk mencapai target penurunan stunting menjadi 14% secara nasional, diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan integratif. Program-program ini harus mencakup penyuluhan yang lebih intensif tentang pentingnya gizi seimbang, terutama bagi ibu-ibu di pedesaan. Penyediaan makanan tambahan untuk balita dan peningkatan pendidikan gizi bagi keluarga-keluarga petani juga menjadi langkah yang krusial.
Pengetahuan ibu tentang nutrisi harus ditingkatkan agar mereka dapat membuat keputusan yang lebih baik dalam memberikan makanan untuk anak-anak mereka. Selain itu, pemerintah perlu memastikan bahwa intervensi kesehatan dilakukan secara merata di seluruh daerah, terutama di wilayah pedesaan yang masih banyak tertinggal dalam hal akses terhadap layanan kesehatan.
Stunting adalah ancaman serius bagi masa depan anak-anak di Indonesia, terutama di wilayah-wilayah pedesaan seperti Ogan Ilir. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi pertumbuhan fisik anak-anak, tetapi juga perkembangan kognitif dan daya saing mereka di masa depan. Dengan upaya terpadu antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai sektor terkait, diharapkan masalah stunting dapat segera diatasi, dan generasi mendatang dapat tumbuh dengan sehat dan kuat.
Namun, ini bukan hanya soal kebijakan dan program. Ini juga soal perubahan perilaku, peningkatan kesadaran, dan kesediaan untuk merombak kebiasaan lama yang sudah tidak relevan lagi dengan kebutuhan zaman. Perjuangan melawan stunting adalah perjuangan bersama untuk masa depan yang lebih cerah bagi anak-anak Indonesia.
***
*) Oleh: Nico Syah Putra, mahasiswa program Doktor Ilmu Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Rochmat Shobirin |