Kekeringan dan Masa Depan Pertanian, Saatnya Beralih ke Teknologi Berkelanjutan
TIMESINDONESIA, PADANG – Kekeringan bukan lagi fenomena yang jarang terjadi. Di banyak wilayah, terutama di daerah yang rentan terhadap perubahan iklim. Kekeringan telah menjadi ancaman nyata bagi ketahanan pangan dan kesejahteraan petani. Penurunan curah hujan yang drastis, musim kemarau yang semakin panjang, serta pengurangan ketersediaan air tanah telah mengakibatkan lahan-lahan pertanian menjadi kering dan tandus.
Pertanian, sebagai sektor yang sangat bergantung pada air, menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan produktivitas dan kualitas hasil panennya di tengah situasi ini. Pertanyaannya, bagaimana masa depan pertanian dapat tetap lestari di tengah kondisi yang semakin tidak menentu? Jawabannya adalah dengan beralih ke teknologi yang berkelanjutan.
Advertisement
Kekeringan berdampak langsung pada hasil pertanian. Lahan yang kekurangan air membuat tanaman tidak mampu tumbuh dengan optimal, bahkan gagal panen sama sekali. Ini menyebabkan ketidakpastian dalam pasokan pangan dan berpotensi meningkatkan harga produk pertanian di pasar.
Bagi petani, situasi ini menjadi semakin sulit karena mereka sering kali tidak memiliki cadangan ekonomi yang cukup untuk menghadapi musim paceklik. Bagi negara, ancaman terhadap ketahanan pangan ini dapat mengarah pada krisis pangan yang lebih besar jika tidak segera diatasi.
Di tengah ancaman kekeringan, teknologi berkelanjutan muncul sebagai solusi yang menjanjikan. Salah satu teknologi yang dapat diandalkan adalah sistem irigasi tetes. Irigasi tetes memungkinkan petani untuk menggunakan air secara efisien, mengalirkan air secara langsung ke akar tanaman dengan jumlah yang tepat dan pada waktu yang dibutuhkan.
Dengan cara ini, air tidak terbuang sia-sia melalui penguapan atau perembesan ke tanah, sehingga lebih banyak tanaman yang dapat diselamatkan meskipun dalam kondisi minim air. Sistem ini sudah terbukti mampu meningkatkan produktivitas hasil pertanian hingga dua kali lipat, bahkan di daerah dengan ketersediaan air yang sangat terbatas.
Selain irigasi tetes, teknologi lain yang juga penting adalah penggunaan sensor tanah dan cuaca. Sensor ini memungkinkan petani untuk memonitor kondisi tanah secara real-time, mengetahui kadar kelembaban, suhu, dan nutrisi yang ada. Dengan data ini, petani dapat mengambil keputusan yang lebih baik dalam hal penyiraman dan pemupukan.
Di era digital, pemanfaatan teknologi Internet of Things (IoT) dapat membantu petani untuk memantau kondisi ladang mereka tanpa harus terus-menerus berada di sana, bahkan melalui ponsel mereka. Ini sangat membantu, terutama di masa-masa sulit saat kekeringan.
Teknologi akuaponik dan hidroponik juga menjadi alternatif yang menarik untuk menghadapi tantangan kekeringan. Sistem ini menggunakan air secara lebih efisien dibandingkan dengan pertanian tradisional. Dalam akuaponik, air bersirkulasi antara kolam ikan dan tanaman, sehingga nutrisi tanaman tetap terjaga dan penggunaan air bisa dihemat secara signifikan.
Sementara itu, hidroponik memungkinkan tanaman tumbuh tanpa menggunakan tanah, dan kebutuhan air bisa ditekan hingga 90% lebih rendah dibandingkan metode pertanian konvensional. Bagi banyak petani di daerah yang rentan kekeringan, teknologi ini menawarkan peluang baru untuk mempertahankan produksi pangan tanpa tergantung pada curah hujan.
Namun, penerapan teknologi berkelanjutan dalam menghadapi kekeringan bukan tanpa tantangan. Banyak petani kecil yang masih berjuang dengan keterbatasan akses terhadap teknologi ini. Biaya awal yang tinggi, kurangnya pengetahuan, serta keterbatasan dalam hal pelatihan dan dukungan teknis membuat banyak petani enggan beralih ke teknologi baru.
Di sinilah peran pemerintah, lembaga pendidikan, dan pihak swasta menjadi sangat penting. Pemerintah harus memberikan insentif bagi petani yang beralih ke teknologi ramah lingkungan, misalnya melalui subsidi peralatan atau pelatihan teknis.
Lembaga pendidikan dan organisasi non-pemerintah dapat memberikan pelatihan dan penyuluhan agar petani mampu mengadopsi teknologi dengan efektif. Sementara itu, sektor swasta bisa berkontribusi melalui investasi dan inovasi produk teknologi pertanian yang lebih terjangkau bagi petani kecil.
Pergeseran ke teknologi yang berkelanjutan juga harus dilihat dalam konteks perubahan perilaku. Petani harus dilatih untuk melihat air sebagai sumber daya yang sangat berharga dan terbatas. Penggunaan air secara efisien harus menjadi bagian dari kebiasaan sehari-hari.
Selain itu, diversifikasi tanaman juga perlu dilakukan. Alih-alih hanya mengandalkan satu jenis tanaman yang membutuhkan banyak air, petani dapat mencoba untuk menanam varietas yang lebih tahan terhadap kondisi kering. Ini akan membantu mereka untuk tetap mendapatkan hasil yang baik meskipun kondisi iklim tidak menguntungkan.
Pergeseran ke teknologi yang berkelanjutan juga harus dilihat dalam konteks perubahan perilaku. Teknologi canggih sekalipun tidak akan memberikan hasil maksimal jika perilaku dan cara berpikir petani tidak ikut berubah. Salah satu aspek terpenting yang perlu diperhatikan adalah bagaimana petani memandang dan menggunakan air.
Selama bertahun-tahun, banyak petani terbiasa menganggap air sebagai sumber daya yang tidak terbatas, terutama mereka yang tinggal di wilayah dengan curah hujan tinggi. Namun, di tengah krisis kekeringan yang semakin sering terjadi akibat perubahan iklim, pola pikir ini harus segera diubah. Air bukan lagi sesuatu yang bisa digunakan secara bebas tanpa pertimbangan, melainkan sumber daya yang sangat berharga dan terbatas.
Petani harus dilatih untuk melihat air sebagai sumber daya yang sangat berharga dan terbatas. Pelatihan ini dapat berupa penyuluhan tentang pentingnya konservasi air dan cara-cara sederhana untuk menghematnya. Sebagai contoh, petani bisa diajarkan untuk menggunakan metode irigasi tetes, di mana air hanya diberikan pada akar tanaman dengan jumlah yang tepat, sehingga tidak ada air yang terbuang percuma.
Petani juga perlu diajarkan tentang pentingnya mengukur kebutuhan air tanaman, agar mereka tidak melakukan penyiraman berlebihan yang justru bisa merusak tanaman dan membuang air secara sia-sia. Kesadaran akan pentingnya penggunaan air yang hemat ini harus menjadi bagian dari setiap aspek kegiatan pertanian, dari persiapan lahan hingga perawatan tanaman.
Penggunaan air secara efisien harus menjadi bagian dari kebiasaan sehari-hari. Untuk mencapai hal ini, pendekatan edukatif perlu dilakukan secara intensif dan berkelanjutan. Tidak cukup hanya memberikan pelatihan sekali, tetapi perlu adanya pendampingan yang berkesinambungan agar praktik-praktik hemat air benar-benar diterapkan.
Pendampingan ini bisa berupa kunjungan lapangan oleh penyuluh pertanian, atau program komunitas yang mengajak para petani untuk berbagi pengalaman dalam menerapkan teknik penghematan air. Dengan cara ini, efisiensi penggunaan air tidak hanya menjadi teori, tetapi juga menjadi kebiasaan yang diterapkan dalam aktivitas harian di lahan pertanian.
Selain mengubah cara pandang terhadap air, diversifikasi tanaman juga menjadi kunci penting dalam menghadapi kekeringan. Mengandalkan satu jenis tanaman yang membutuhkan banyak air hanya akan meningkatkan risiko kegagalan panen saat terjadi kekeringan.
Oleh karena itu, petani perlu mengadopsi pendekatan diversifikasi, yaitu menanam berbagai jenis tanaman yang memiliki kebutuhan air berbeda dan lebih tahan terhadap kondisi kering. Misalnya, menggantikan tanaman padi yang membutuhkan banyak air dengan tanaman sorgum, jagung, atau kacang-kacangan yang relatif lebih tahan terhadap kekeringan.
Alih-alih hanya mengandalkan satu jenis tanaman yang membutuhkan banyak air, petani dapat mencoba untuk menanam varietas yang lebih tahan terhadap kondisi kering. Varietas tanaman seperti millet, sorgum, dan beberapa jenis umbi-umbian, misalnya, dapat menjadi alternatif yang baik karena mereka tidak membutuhkan air dalam jumlah besar untuk tumbuh dengan baik.
Selain itu, beberapa jenis tanaman kacang-kacangan juga memiliki kemampuan untuk memperbaiki kadar nitrogen dalam tanah, yang dapat membantu menjaga kesuburan tanah dalam kondisi kekeringan. Dengan mengkombinasikan berbagai jenis tanaman yang berbeda dalam satu lahan, petani tidak hanya mengurangi risiko kegagalan panen tetapi juga meningkatkan keanekaragaman hayati dan kesehatan ekosistem pertanian mereka.
Ini akan membantu mereka untuk tetap mendapatkan hasil yang baik meskipun kondisi iklim tidak menguntungkan. Dengan menanam tanaman yang beragam, petani memiliki lebih banyak peluang untuk mendapatkan hasil panen, bahkan ketika kondisi cuaca tidak mendukung satu jenis tanaman tertentu. Misalnya, jika tanaman padi gagal karena kekeringan, petani masih bisa memanen jagung atau kacang-kacangan yang lebih tahan terhadap kekurangan air.
Selain itu, diversifikasi tanaman juga dapat memberikan manfaat ekonomi karena petani dapat menjual berbagai jenis produk dan tidak bergantung pada satu komoditas saja, yang sering kali harganya fluktuatif. Dengan demikian, petani tidak hanya menjadi lebih tahan terhadap risiko iklim, tetapi juga memiliki ketahanan ekonomi yang lebih kuat.
Pergeseran menuju teknologi yang berkelanjutan dan perubahan perilaku ini memerlukan waktu dan usaha, tetapi dampaknya sangat signifikan bagi masa depan pertanian. Petani yang mampu melihat air sebagai sumber daya berharga dan menerapkan diversifikasi tanaman akan lebih siap menghadapi tantangan perubahan iklim. Mereka tidak hanya akan lebih tangguh menghadapi kekeringan, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya sistem pertanian yang lebih berkelanjutan dan produktif.
Dengan beralih ke teknologi yang berkelanjutan, petani dapat meningkatkan daya tahan mereka terhadap kekeringan dan menciptakan masa depan pertanian yang lebih tangguh. Ini bukan hanya tentang bertahan hidup di tengah kondisi sulit, tetapi juga tentang menciptakan sistem pertanian yang lebih efisien, produktif, dan ramah lingkungan. Kekeringan mungkin tidak dapat dihindari, tetapi dengan adopsi teknologi yang tepat, kita masih bisa menjaga pertanian agar tetap produktif dan memastikan ketersediaan pangan untuk masa depan.
Masa depan pertanian sangat bergantung pada kemampuan kita untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Tidak ada pilihan lain selain beralih ke teknologi yang berkelanjutan untuk menjamin ketersediaan pangan bagi generasi mendatang.
Jika kita tidak mengambil langkah ini sekarang, kita akan menghadapi konsekuensi yang jauh lebih berat di masa depan, di mana ketidakpastian akan hasil panen dan meningkatnya harga pangan menjadi ancaman nyata bagi seluruh masyarakat. Sudah saatnya kita berinvestasi pada teknologi dan pengetahuan, demi keberlanjutan pertanian dan kesejahteraan petani.
***
*) Oleh : Rahmi Awallina, S.TP., MP., Dosen Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |