Kopi TIMES

Dua Ribu yang Sangat mahal

Senin, 30 September 2024 - 13:27 | 56.66k
Oleh: Achmad Diny Hidayatullah, santri PP Shirotul Fuqoha Sepanjang Gondanglegi Malang, Santri PP Miftahul Huda Gading Malang, Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, S1 Ilmu Hukum STIH Sunan Giri Malang.
Oleh: Achmad Diny Hidayatullah, santri PP Shirotul Fuqoha Sepanjang Gondanglegi Malang, Santri PP Miftahul Huda Gading Malang, Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, S1 Ilmu Hukum STIH Sunan Giri Malang.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kecewa. Pernahkan kalian merasakan kekecewaan? Sebuah perasaan yang campur aduk antara jengkel, kesal, marah, dan dongkol dalam waktu yang sama.

Wajarnya, tidak ada manusia yang dalam hidupnya tidak mengalami kekecewaan. Pun dengan saya.

Advertisement

Kisah sederhana yang pernah saya alami adalah ketika kecewa hanya karena uang parkir sebesar dua ribu rupiah. Waktu itu, saya berbelanja di sebuah toko bahan bangunan di belakang kampus UIN Malang yang memberikan "freepass" parkir kepada pelanggan.

Namun, setelah berbelanja, saya memutuskan mampir sebentar ke toko es krim di sebelahnya. Pikiran saya, dengan freepass itu, saya tetap bisa bebas parkir meskipun singgah sebentar ke toko lain.

Namun, harapan saya kandas ketika tukang parkir menolak tiket bebas biaya tersebut. Mereka beralasan bahwa karcis gratis hanya berlaku untuk toko bahan bangunan saja. Jika mampir ke toko lain, meskipun sebentar, saya tetap harus membayar parkir. Perasaan kecewa muncul.

Perbedaan antara harapan dan kenyataan bertemu dalam kejadian yang nyata. Rasanya seperti ketidakadilan kecil yang menyesak. Meski pada akhirnya saya membayar dua ribu rupiah itu, kekecewaan sepele itu membekas. Kota Malang, dengan sistem parkirnya yang ‘waw’ di hampir setiap sudut ruko dan kafe, seolah menjadi lahan kekecewaan yang meninggalkan bekas bagi banyak orang.

Dari insiden kecil tersebut, saya belajar sesuatu: dalam hidup, ekspektasi kita sering kali tidak sejalan dengan kenyataan. Dan inilah akar dari kekecewaan. Kita berharap segala sesuatu berjalan sesuai skenario kita, namun kenyataan punya cara kerjanya sendiri.

Setiap orang pasti pernah merasakan kecewa. Mulai dari insiden kecil hingga peristiwa besar. Entah harapan yang tak terpenuhi, janji yang dilanggar, atau ekspektasi yang terlalu tinggi, kerap menjadi faktor pemicu kecewa.

Kekecewaan adalah bagian dari perjalanan hidup. Namun, meski perasaan ini berulang kali tidak menyenangkan, jika kita mampu memprosesnya dengan baik, kecewa sebenarnya membawa pelajaran dan hikmah berharga yang acapkali  tersembunyi di balik rasa sakit tersebut.

Fenomena kekecewaan seperti ini sebenarnya bukan hanya dialami oleh saya. Banyak orang sekarang mudah sekali kecewa, bahkan terhadap hal-hal kecil. Pada masa di mana segala sesuatu tampak instan dan mudah dicapai, harapan menjadi tinggi. Sosial media, misalnya, berkali-kali menampilkan kehidupan "sempurna" orang lain, membuat kita berharap hidup kita bisa semulus itu. Ketika kenyataan tidak sesuai harapan, kekecewaan pun acap kali timbul dengan cepat.

Namun, apakah kekecewaan selalu buruk? Tidak. Seperti yang dijelaskan oleh Susan David (2016) dalam bukunya "Emotional Agility: Get Unstuck, Embrace Change, and Thrive in Work and Life", emosi negatif seperti kecewa justru bisa menjadi alat penting untuk pertumbuhan diri.

Ketika kita kecewa, kita diberikan kesempatan untuk berhenti sejenak dan merenungkan apa yang salah. Apakah harapan kita terlalu tinggi atau mungkin kita yang kurang siap menghadapi kenyataan.

Alih-alih melarikan diri dari rasa kecewa, kita harus memprosesnya dengan matang. Proses ini membantu kita menjadi lebih kuat secara emosional, lebih fleksibel dalam menghadapi situasi yang tidak terduga.

Dari sudut pandang sosiologi, fenomena kekecewaan yang semakin sering terjadi di masyarakat modern juga bisa dilihat sebagai bagian dari dinamika sosial yang berkembang. Sosiolog Erving Goffman dalam buku "The Presentation of Self in Everyday Life” (1956) teorinya tentang dramaturgi menjelaskan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, kita tak jarang  memainkan "peran" tertentu di hadapan orang lain.

Dramaturgi adalah teori yang menggambarkan bahwa interaksi sosial antarindividu dapat diibaratkan sebagai pertunjukan drama. Dalam konteks ini, manusia berperan sebagai aktor yang menampilkan berbagai tindakan demi mencapai tujuan tertentu melalui "drama" yang mereka perankan.

Ekspektasi kita tentang bagaimana orang lain harus bertindak (seperti tukang parkir dalam kasus saya) adalah bagian dari interaksi sosial kita. Ketika ekspektasi tersebut tidak terpenuhi, kita merasa kecewa. Terjadilah apa yang dinamakan drama dari kejadian tersebut dalam memori perjalana hidup saya.
Tetapi, sebenarnya di balik kekecewaan itu ada banyak pelajaran berharga.

Pertama, kecewa membantu kita memperkuat mental. Menghadapi kegagalan dan ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan membuat kita lebih tangguh. Mental yang kuat tidak dibentuk oleh keberhasilan yang terus-menerus, tetapi justru oleh kekecewaan dan kesulitan yang berhasil kita lewati.

Kedua, kekecewaan menambah pengalaman hidup kita. Setiap kekecewaan memberi kita pelajaran tentang bagaimana sistem dunia ini bekerja, bagaimana interaksi sosial berfungsi, dan bagaimana kita sebaiknya menyesuaikan harapan kita terhadap kenyataan. Dari insiden parkir, saya belajar bahwa aturan-aturan sosial kecil seperti itu mungkin tidak bisa diubah, tetapi kita bisa memilih bagaimana cara kita bereaksi.

Ketiga, kekecewaan juga bisa meningkatkan kepedulian kita terhadap masalah orang lain. Ketika kita mengalami kekecewaan, kita bisa menjadi lebih empati terhadap orang lain yang mungkin juga mengalami hal serupa. Kita menjadi lebih sadar bahwa orang lain juga punya ekspektasi dan harapan yang bisa saja tidak tercapai. Kekecewaan kita bisa membuka mata kita bahwa hidup penuh dengan ketidakpastian dan bahwa semua orang—bukan hanya kita—menghadapi tantangan masing-masing.

Dari semua ini, ada pelajaran penting yang bisa dipetik: kekecewaan adalah guru kehidupan yang mungkin tidak menyenangkan, tetapi sangat efektif. Dalam setiap kekecewaan, ada kesempatan untuk introspeksi dan pertumbuhan.

Jika kita mampu menerima dan memproses kekecewaan tersebut, kita akan menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih berempati terhadap orang lain.
Kecewa memang pahit, tetapi dalam pahitnya, tersimpan banyak hikmah.

Dengan menelan kekecewaan dan melihatnya sebagai proses belajar, kita bisa keluar dari situasi sulit dengan lebih tangguh. Hidup mungkin tidak selalu sesuai dengan rencana kita, tetapi justru dalam ketidaksesuaian itulah kita menemukan kekuatan dan pelajaran yang sebenarnya.

Pada akhirnya dua ribu rupiah yang mengawali kisah saya diatas bisa jadi dua ribu ’termahal’ dalam hidup saya. Bukan nilai interinsiknya akan tetapi nilai pelajarannya.

Kekecewaan merupakan bagian tak terhindarkan dari hidup. Namun, bukan kekecewaan itu yang mendefinisikan bahkan menyetir hidup kita, melainkan bagaimana kita meresponsnya  dan memberikan reaksi terhadapnya.

Jika kita mampu menghadapi kekecewaan dengan kepala dingin, hati terbuka, dan pikiran jernih, kita akan menemukan bahwa setiap kekecewaan, sekecil apa pun, membawa kita lebih dekat pada kebijaksanaan dan kekuatan diri yang sejati. Semoga.

***

*) Oleh: Achmad Diny Hidayatullah, Santri PP Shirotul Fuqoha Sepanjang Gondanglegi Malang, Santri PP Miftahul Huda Gading Malang, Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, S1 Ilmu Hukum STIH Sunan Giri Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES