
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Periode 1963-1965 adalah masa Partai Komunis Indonesia (PKI) gencar melakukan agitasi dan propaganda (Agiprop) terhadap umat beragama khususnya umat Islam. Pada waktu itu saya masih duduk di bangku SMP dan ikut kelompok pengajian “Al-Quran" di pesantren dan madrasah di bawah asuhan kang Ishaq kang Rahmat bin KH Hambali, Jekulo. Selain itu, saya juga aktif di pengajian masjid kampung saya Golan Tepus yang dipimpin oleh Kiai Ahmadi, seorang alumni Ponpes Tebuireng.
Hampir setiap minggu ada pengajian bergilir secara bergantian. Ada kesepakatan dari para pengasuh atau kiai agar antar masjid pesantren menyelenggarakan “pengajian secara bergiliran” karena PKI selalu mengganggu dengan berbagai macam cara termasuk meletakkan bangkai anjing di tempat akan diselenggarakannya pengajian.
Advertisement
Untuk mengantisipasi segenap agitasi tersebut, kelompok-kelompok pengajian sepakat, masing-masing mengirimkan kontingennya ke masjid atau madrasah yang menyelenggarakan pengajian secara bergiliran.
Taktik demikian itu dilakukan agar setiap pengajian terlihat massa membludak guna mencegah gangguan dari oknum PKI. Misalnya setiap tanggal 11 di masjid A, tanggal 15 di masjid B dan seterusnya. Seminggu minimal dua kali, saya dan teman santri mengunjungi pengajian di tempat yang berbeda.
Seringkali di tengah perjalanan, waktu pergi atau pulang ke pengajian bersama , kami dilempari batu atau dihadang. Kami jalan terus dengan cara menggemakan secara bersama Shalawat Badar dan diselingi dengan bacaan Shalawat Asnawiyah yang menjadi kekhasan santri-santri sekitar Kudus. Dengan bacaan tersebut kami tidak merasa takut meskipun dilempari bata, batu dan kayu.
Waktu telah berlalu, dan hiruk pikuk G-30S/PKI telah selesai. Meskipun demikian, kami anak-anak santri kampung mengambil inisiatif untuk menyantuni anak anak PKI yang terlantar. Pesantren dan para santri menyantuni dan membantu anak-anak PKI yang keleleran karena orangtua dan familinya diciduk oleh aparat keamanan.
Bapak saya menyuruh saya setiap minggu mengirim beras dan gula plus uang sekadarnya kepada keluarga pak Mukmin (teman main waktu kecil Bapak) karena pak Mukmin ditahan aparat. Mungkin Bapak saya mengikuti anjuran para leluhur, “tega larane ora tega patine”.
Pendekatan tersebut ternyata adalah merupakan cara mencegah perpecahan lebih lanjut dari persaudaraan yang telah dibangun oleh budaya bangsa, bahwa apapun mereka adalah saudara.
***
*) Oleh : Dr. KH As'ad Said Ali, Pengamat Sosial Politik, Mustasyar PBNU Tinggal di Bekasi.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |