Kopi TIMES

Pentingnya Membanggakan Nasab?

Rabu, 02 Oktober 2024 - 07:23 | 44.25k
Zanuar Mubin, Dosen Ma'had Aly Al-Tarmasi Pacitan.
Zanuar Mubin, Dosen Ma'had Aly Al-Tarmasi Pacitan.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PACITAN – Fenomena membanggakan nasab atau keturunan sering kali menjadi sorotan dalam kehidupan sosial umat Islam, terutama ketika seseorang merasa lebih unggul dari orang lain karena keturunan orang tua yang dianggap shalih. 

Kebanggaan semacam ini tampak semakin marak di tengah masyarakat yang kerap menilai status sosial seseorang berdasarkan silsilah keluarganya. Namun, kenyataannya, nasab atau keturunan bukanlah ukuran kebaikan seorang hamba di mata Allah. Iman dan taqwa tidak bisa diwarisi begitu saja, melainkan harus diusahakan secara personal oleh setiap individu.

Advertisement

Teringat nasihat dalam lagu Iman Mutiara yang berbunyi, "Iman tak dapat diwarisi dari seorang ayah yang bertaqwa". Potongan lagu yang mengandung makna bahwa keimanan dan ketakwaan bukanlah sesuatu yang dapat diturunkan secara otomatis dari orang tua kepada anaknya. Setiap manusia memiliki tanggung jawab penuh atas dirinya sendiri dalam hal keimanan dan ketaatan kepada Allah.

Dalam kitab Ihya’ Ulum ad-Din karya Imam al-Ghazali Juz 3 hal. 385, dijelaskan dengan sangat jelas bahwa siapa pun yang beranggapan bahwa dirinya akan selamat karena ketakwaan ayahnya adalah ibarat seseorang yang berpikir akan kenyang karena makanan yang dimakan oleh ayahnya, atau akan terpuaskan hausnya karena minuman yang diminum oleh ayahnya. 

Demikian juga, seseorang tidak akan menjadi seorang alim hanya karena ilmu yang dimiliki oleh ayahnya. Analoginya begitu kuat dan jelas, menunjukkan bahwa segala upaya spiritual dan intelektual harus dilakukan sendiri oleh individu yang bersangkutan.

Bahkan dalam ayat Al-Quran dinyatakan bahwa pada Hari Kiamat, seseorang akan lari dari saudaranya, ibunya, dan ayahnya (QS. Abasa: 34-36). Ini menggambarkan bahwa pada hari itu, nasab dan hubungan keluarga tidak akan memberikan jaminan keselamatan. Satu-satunya yang dapat menyelamatkan seseorang adalah iman dan amal kebajikan yang dilakukan selama hidupnya.

Fenomena membanggakan nasab ini sering kali membawa kepada perasaan ujub (merasa bangga dan hebat sendiri) serta takabbur (sombong). Dalam Islam, ujub dan takabbur adalah sifat yang sangat dibenci oleh Allah. Bahkan Iblis terkutuk karena kesombongannya yang merasa lebih baik dari Adam karena diciptakan dari api, sedangkan Adam dari tanah. Kesombongan berdasarkan nasab pun pada dasarnya adalah bentuk lain dari takabbur, yang sangat dilarang dalam Islam.

Iman dan taqwa adalah dua hal yang tidak bisa diperoleh tanpa usaha atau mujahadah (perjuangan). Setiap individu harus menjalani proses pencarian kebenaran, memperbaiki diri, dan mendekatkan diri kepada Allah. Keturunan orang shalih tidak menjamin seseorang otomatis menjadi shalih, sebagaimana ayat Al-Quran menyebutkan bahwa anak Nabi Nuh yang kafir tenggelam dalam banjir besar meski ia adalah putra seorang nabi. Ini menjadi bukti konkret bahwa hubungan darah tidak menjamin kebaikan di hadapan Allah.

Kehidupan ini adalah ladang amal bagi setiap orang untuk menanamkan keimanan dan ketaqwaan. Allah telah memberikan manusia akal, hati, dan kemampuan untuk mengenal-Nya dan taat kepada-Nya. Sehingga, meskipun seseorang berasal dari keturunan yang mulia, jika ia tidak beramal saleh, maka tidak ada keuntungan dari nasab tersebut.

Kebanggaan atas nasab juga sering kali menjadi penyebab perpecahan di antara umat Islam. Seseorang yang merasa lebih baik dari yang lain karena keturunan cenderung merendahkan orang lain, dan ini jelas bertentangan dengan prinsip persamaan dan keadilan dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda bahwa tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang non-Arab, dan tidak ada kelebihan bagi orang berkulit putih atas orang berkulit hitam, kecuali dengan taqwa.

Penting bagi kita untuk merenungkan bahwa nasab yang baik adalah sebuah anugerah yang seharusnya mendorong kita untuk lebih bersyukur dan beramal lebih baik, bukan menjadi alasan untuk merasa lebih tinggi dari orang lain. Sebaliknya, bagi mereka yang berasal dari keturunan biasa, ini seharusnya tidak menjadi halangan untuk meraih derajat tinggi di sisi Allah, karena yang dinilai oleh-Nya adalah kualitas iman dan amal kita, bukan asal usul keturunan.

Kisah-kisah para sahabat Rasulullah SAW seperti Salman al-Farisi, Bilal bin Rabah, dan lainnya menunjukkan bahwa kemuliaan seseorang tidak terletak pada nasabnya, tetapi pada ketakwaannya. Salman berasal dari Persia, Bilal adalah seorang mantan budak berkulit hitam, tetapi keduanya memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah dan di kalangan para sahabat Nabi karena keimanan dan ketakwaan mereka.

Fenomena membanggakan nasab yang kita temui baik di media sosial maupun secara langsung, menjadi bahan introspeksi bagi kita semua. Kita harus menyadari bahwa di hadapan Allah, yang paling mulia di antara kita adalah yang paling bertaqwa, bukan yang paling tinggi nasabnya. Rasulullah SAW sendiri berasal dari keturunan mulia, tetapi beliau tidak pernah membanggakan hal tersebut. Justru beliau mengajarkan bahwa kesombongan karena nasab adalah penyakit hati yang harus dihindari.

Oleh karena itu, dalam kehidupan sehari-hari, kita harus terus berupaya meningkatkan iman dan taqwa kita, bukan berbangga diri dengan keturunan orang shalih. Takwa adalah urusan pribadi yang tidak dapat diwakilkan kepada orang lain, bahkan kepada orang tua kita yang shalih sekalipun. Usaha dan perjuangan untuk mencapai derajat taqwa harus dijalani oleh setiap individu dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.

Semoga kita semua bisa mengambil pelajaran dari fenomena tersebut dan senantiasa berusaha memperbaiki diri, meningkatkan iman dan taqwa, serta menjauhi kesombongan karena nasab. Sebab, pada akhirnya, hanya amal dan ketaqwaan yang akan menjadi bekal kita di hadapan Allah pada hari perhitungan kelak. 

***

*) Oleh : Zanuar Mubin, Dosen Ma'had Aly Al-Tarmasi Pacitan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES