Kopi TIMES

Eksekutif Tanpa Oposisi: Demokrasi yang Tergadai

Kamis, 03 Oktober 2024 - 03:18 | 126.41k
Mohammad Isa Gautama, Dosen Komunikasi Politik dan Kepala Gerakan Bersama Antikorupsi Universitas Negeri Padang.
Mohammad Isa Gautama, Dosen Komunikasi Politik dan Kepala Gerakan Bersama Antikorupsi Universitas Negeri Padang.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PADANG – Dalam sistem demokrasi yang sehat, keberadaan oposisi adalah elemen super-penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan. Oposisi berperan sebagai pengawas, pengkritik, dan penyeimbang eksekutif, memastikan bahwa kekuasaan tidak dijalankan secara ugal-ugalan.

Namun, dalam kurun beberapa bulan terakhir, kecenderungan melemahnya oposisi di Indonesia semakin mengemuka. Salah satu faktor penyebabnya adalah koalisi besar yang terbentuk antara partai-partai politik utama, mengakibatkan semakin kaburnya batas antara pemerintah dan oposisi.

Advertisement

Situasi ini memunculkan kekhawatiran serius tentang demokrasi di Indonesia, di mana mekanisme check and balances terganggu. Padahal, dalam sistem politik yang demokratis, check and balances bertujuan untuk membatasi kekuasaan eksekutif serta menjadi corong masyarakat memainkan peran penting dalam mengkritik dan mengawasi kebijakan. Ketika eksekutif berjalan tanpa oposisi yang kuat, demokrasi sangat berpotensi tergadai oleh kepentingan segelintir elit politik.

Koalisi Besar dan Pudarnya Oposisi

Koalisi besar yang terbentuk dalam pemilihan umum 2024 telah menimbulkan spekulasi tentang melemahnya oposisi di Indonesia. Ketika partai-partai politik utama, termasuk yang seharusnya berada di kubu oposisi, memutuskan bergabung dengan pemerintahan baru, ruang untuk oposisi semakin menyempit. Sebagaimana disampaikan oleh Puan Maharani, Ketua DPR RI dari PDI Perjuangan, partai-partai diharapkan untuk "bergotong royong" dalam pemerintahan baru, membuka peluang untuk koalisi yang lebih luas. Ini semakin menguatkan sinyal bahwa oposisi akan semakin sulit terwujud.

Jika memang pada akhirnya PDIP, yang merupakan partai terbesar di Indonesia, memutuskan bergabung dengan pemerintahan Prabowo (konferensi pers Puan Maharani, 24/9/24), dipastikan kondisi demokrasi di Indonesia semakin memburuk. Peneliti dari beberapa lembaga kajian demokrasi telah memperingatkan bahwa tanpa oposisi yang kuat, sistem check and balances semakin tidak ada arti, ruang kritik terhadap eksekutif akan semakin terbatas. Hal ini berpotensi menyebabkan pemerintahan yang tidak transparan dan tidak akuntabel.

Check and Balances dalam Demokrasi

Dalam sistem demokrasi, konsep check and balances sangat krusial untuk menjaga kekuasaan agar tetap berimbang. Eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus saling mengawasi dan membatasi agar tidak ada lembaga yang mendominasi. Oposisi berperan sebagai bagian dari sistem besar politik, memastikan bahwa eksekutif tidak berjalan tanpa kontrol. Oposisi tidak hanya penting dalam mengawasi kebijakan, tetapi juga menjadi wakil bagi rakyat yang tidak terwakili oleh partai-partai yang berada dalam pemerintahan.

Menurut William Gumede, Profesor Ilmu Politik di Universitas Witwatersrand   sekaligus jurnalis dan aktivis demokrasi, peran partai oposisi sangat penting dalam menentukan tingkat akuntabilitas partai yang berkuasa dan pemerintah, efektivitas pemberian layanan publik, dan kualitas demokrasi suatu negara secara keseluruhan, partai oposisi memberikan visi, kebijakan, dan pemimpin alternatif kepada partai yang berkuasa. 

Lebih jauh, peran kaum oposisi juga merambah ranah meneliti keputusan, kebijakan, dan tindakan pemerintah dan melakukan pengawasan terhadap Eksekutif dan administrasi publik. Mereka membela kepentingan para pemilih tidak hanya daerah pemilihan mereka tetapi seluruh pemilih di negara tersebut (2023). 

Dus, ketika partai-partai besar semuanya bergabung dalam pemerintahan, tidak ada kekuatan politik yang cukup besar untuk mengkurasi dan memoderasi kebijakan pemerintah. Ini menciptakan situasi di mana keputusan yang diambil oleh eksekutif jarang mendapatkan perlawanan, dan potensi penyalahgunaan kekuasaan meningkat. Sebuah demokrasi tanpa oposisi yang kuat cenderung bergeser ke arah otoritarianisme bahkan diktatorisme, di mana kekuasaan eksekutif tidak terkendali dan kebijakan publik dijalankan tanpa akuntabilitas yang proporsional.

Alarm Bahaya

Kondisi di Indonesia saat ini menunjukkan gejala yang mengarah pada konsolidasi kekuasaan di tangan segelintir elit politik. Koalisi besar dan semakin tipisnya garis antara partai pemerintah dan oposisi menciptakan oligarki politik yang merugikan rakyat. Demokrasi bukan lagi menjadi arena perdebatan ide-ide dan kebijakan publik, melainkan lebih sebagai arena bagi pembagian kekuasaan dan kepentingan kelompok.

Tanpa adanya oposisi yang kuat, rakyat kehilangan salah satu pilar penting dalam demokrasi: ruang untuk mengawasi dan mengkritik pemerintah. Ketika kritik terhadap pemerintah semakin dibungkam dan oposisi lemah, aspirasi rakyat menjadi terabaikan. Oposisi yang kuat seharusnya menjadi perwakilan dari suara-suara yang tidak diakomodasi oleh pemerintah, dan melemahnya oposisi berarti melemahnya representasi rakyat dalam pengambilan keputusan politik.

Fenomena melemahnya oposisi juga mencerminkan dinamika politik pasca reformasi di Indonesia, di mana pragmatisme politik semakin mendominasi. Partai-partai politik lebih tertarik untuk memperoleh jatah kekuasaan daripada berjuang untuk ideologi atau kepentingan publik. Dalam situasi ini, oposisi yang idealnya berdiri untuk menantang kebijakan yang tidak pro-rakyat, kini justru berupaya untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan.

Padahal, mestinya pasca-reformasi 1998, Indonesia berhasil melepaskan diri dari otoritarianisme Orde Baru dan membangun sistem demokrasi yang lebih terbuka. Namun, perkembangan politik dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa pencapaian reformasi tersebut berada di titik kritis. Demokrasi Indonesia menghadapi tantangan serius, di mana kekuasaan kembali terpusat pada segelintir elite dan rakyat kehilangan akses untuk memberikan masukan serta kritik terhadap kebijakan pemerintah.

Sekali lagi, pemerintahan yang berjalan tanpa oposisi berpotensi mengalami krisis demokrasi. Demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi aktif dari semua elemen masyarakat, termasuk dari partai politik yang berada di luar pemerintahan. Oposisi yang kuat memberikan ruang bagi perdebatan yang sehat tentang kebijakan publik, dan ini merupakan fondasi dari pemerintahan yang transparan dan akuntabel.

Namun, ketika semua partai besar bergabung dalam pemerintahan, kritik terhadap kebijakan eksekutif tentu akan semakin langka. Padahal, pemerintahan tanpa kontrol memberi peluang pengambilan kebijakan yang merugikan masyarakat. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menyebabkan pemerintah menjadi lebih tertutup, korupsi meningkat, dan kualitas demokrasi menurun. 

Oposisi Harga Mati

Meski demikian, jika memang oposisi di pemerintahan nyaris nol, masih ada harapan yang bisa kita titip kepada kelompok masyarakat sipil yang kritis. Munculnya gerakan-gerakan sosial yang mengawasi kebijakan pemerintah, keberadaan media independen yang kritis mestilah menjadi benteng terakhir dalam menjaga demokrasi. Masyarakat sipil, yang didukung penuh elemen kaum intelektual, ilmuwan dan para guru besar, harus terus mendorong transparansi, akuntabilitas, dan good governance, serta memastikan pemerintahan tanpa oposisi masih mau mendengarkan suara mereka.

Kesadaran politik masyarakat juga perlu terus ditingkatkan agar demokrasi tidak hanya menjadi milik segelintir elite politik. Pendidikan politik yang baik, partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan, dan penguatan institusi demokrasi sangat diperlukan untuk menjaga agar demokrasi Indonesia tetap berjalan dengan sehat.

Last but not least, dibutuhkan aksi nyata gerakan sosial yang kritis dari elemen masyarakat sipil sebagai pengisi ruang kosong oposisi untuk mengkurasi kebijakan pemerintah di era pasca Jokowi. Jika tidak, demokrasi akan tergadai. Apa pun yang terjadi, oposisi adalah pilar penting dalam demokrasi. Hilangnya oposisi yang kritis berarti melemahkan kekuasaan rakyat untuk mengontrol jalannya pemerintahan. (*)

***

*) Oleh: Mohammad Isa Gautama, Dosen Komunikasi Politik dan Kepala Gerakan Bersama Antikorupsi Universitas Negeri Padang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES