Kopi TIMES

Home Sweet Loan dan Kemiskinan Struktural di Indonesia

Kamis, 03 Oktober 2024 - 16:33 | 49.70k
Indah Sari Rahmaini, Dosen Sosiologi Universitas Andalas
Indah Sari Rahmaini, Dosen Sosiologi Universitas Andalas
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PADANG – Home sweet loan merupakan salah satu film layar lebar dengan genre slice of life yang sedang banyak mendapat perhatian masyarakat di Indonesia. Slice of life menjadi salah satu genre yang ramai digandrungi masyarakat luas karena mampu untuk berempati terhadap realitas yang sangat dekat dengan kondisi keseharian masyarakat. 

Tampaknya perfilman yang kebanyakan bersifat dramatis dan terkesan utopis telah banyak bertransformasi menjadi film yang cenderung mengangkat kisah-kisah hidup masyarakat kelas menengah dengan segala macam kebijakan pemerintah yang mungkin mempersulit keadaan masyarakat yang cenderung terjun ke dalam garis kemiskinan.

Advertisement

Seperti inilah kira-kira gambaran dari bagaimana seorang karakter tokoh Kaluna, seorang anak bungsu dari tiga bersaudara yang masih tinggal di dalam satu rumah, di mana kedua kakaknya telah berkeluarga dan memiliki anak. Kaluna memiiki ayah yang merupakan pensiunan dari sebuah perusahaan dan ibu yang mengurusi rumah tangga. Alih-alih memiliki rumah pribadi, orangtua Kaluna tinggal di rumah warisan dari engkong nya. 

Plot awal kita disuguhkan dengan cerita bagaimana Kaluna jatuh bangun untuk menghemat pengeluaran demi membeli rumah impiannya. Ia ditemani oleh tiga teman kantor yang tampak mengerti dengan kondisi keluarga Kaluna. Ia juga baru saja diusir dari kamar miliknya sendiri karena anak dari kakaknya telah beranjak usia remaja sehingga juga membutuhkan kamar sendiri karena tidak mungkin tidur sekamar dengan orangtuanya. 

Kaluna harus merelakan itu dan pindah ke kamar pembantu, dengan ukuran sempit, properti yang sudah rusak, dan kamar mandi yang tidak layak pakai. Kaluna juga tidak mendapatkan support dari keluarga pasangannya karena perbedaan status ekonomi. Pasangannya juga memberikan ekspektasi terhadap Kaluna mengenai pandangannya terhadap uang dan properti, di mana pasangannya telah disokong secara keuangan oleh keluarga.

Sedangkan Kaluna memilih untuk membangun rumah sendiri alih-alih tinggal bersama orangtua. Malang tidak dapat ditolak, saat Kaluna sudah berhasil menemukan rumah dan mengajukan KPR ke perusahaannya, Kakak laki-lakinya mengalami penipuan pembelian tanah karena sertifikat yang ganda. 

Konflik memuncak disaat Kaluna dipaksa oleh Kakaknya untuk melunasi hutang karena rumah engkong yang menjadi taruhannya. Kaluna pada akhirnya kabur dari rumah dan berefleksi keras mengenai tarik ulur antara kebutuhan mendesak keluarga besar dan keinginan diri sendiri untuk hidup terpisah dan memiliki rumah. Pada akhirnya, dengan karakter Kaluna yang selalu mengalah dan mementingkan keluarganya, ia merelakan tabungan yang sudah ditabung bertahun-tahun untuk melunasi hutang tersebut. 

Kemiskinan Struktural

Sepertinya narasi "rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya" yang sering kita dengar sejak kecil atau pepatah "sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit" tidak lagi relevan dalam konteks kehidupan sarat kesulitan yang mengakar secara struktural. Kendati kita telah mengusahakan untuk hidup berhemat, meminimalisasi pengeluaran, memotong ongkos perjalanan dengan naik transportasi umum dibandingkan kendaraan pribadi, kita juga tetap tidak bisa berbuat banyak jika ini berkaitan dengan kemiskinan yang terstruktur. 

Seorang individu yang memiliki gaji tiga hingga empat juta sebulan, tetapi menanggung hidup tiga atau lebih anggota keluarga lainnya di rumah, membayar listrik, tagihan air, perawatan rumah, hutang orangtua, hingga biaya pendidikan keponakannya rasanya tidak relate dengan pepatah demikian. 

Pendapatan yang mestinya bisa diproyeksikan untuk tabungan dan rencana masa depan harus dikorbankan untuk anggota keluarga lain hidup bertahan, atau menjamin dana pensiun bagi orangtua, belum lagi jika keluarga tidak memiliki asuransi untuk kesehatan. 

Film ini mengajarkan kita untuk berempati terhadap kisah-kisah yang mungkin dialami oleh orang terdekat kita atau bahkan diri sendiri. Bahwasanya, mungkin menjadi miskin barangkali bukan kesalahan individu yang tidak bekerja keras. Keadaan miskin terjadi bukan karena ia tidak pintar dalam mengelola keuangan. Kemiskinan terjadi karena banyak kelas menengah yang mobilisasi ke kelas bawah karena inflasi, gejolak ekonomi, atau regulasi pemerintah yang tidak pro kepada rakyat. 

Sementara orang kaya memupuk subur kekayaan dengan melakukan kongkalikong dengan penguasa. Publik figur nir prestasi mendapat gelar honoris causa atau diangkat menjadi legislatif tanpa melalui keputusan pemilu. Bahkan legislatif tersangka korupsi masih bisa mencalonkan diri menjadi dewan periode selanjutnya. 

Di sisi lain, kita melihat rekrutmen tenaga kerja dengan syarat selangit dengan upah minimum, harga kebutuhan pokok naik, petani menangis karena hasil panen turun drastis yang mana pemerintah masih giat-giatnya impor hasil tani alih-alih memerhatikan komoditas pangan dalam negeri sendiri. 

***

*) Oleh: Indah Sari Rahmaini, Dosen Sosiologi Universitas Andalas.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi TIMES Indonesia.

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES