
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Politik merupakan salah satu aspek terpenting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di dalamnya, berbagai elemen seperti kepemimpinan, partisipasi masyarakat, dan kebijakan publik bertemu dan berinteraksi. Dalam konteks ini, konsep "Kampung Politik" merujuk pada dinamika lokal yang memengaruhi kebijakan nasional.
Tuanku Rakyat
Istilah "Tuanku Rakyat" menggambarkan bagaimana seharusnya kekuasaan politik berpihak pada rakyat. Dalam teori demokrasi, kekuasaan seharusnya berasal dari suara rakyat. Namun, kenyataannya sering kali berbeda.
Advertisement
Menurut survei LSI pada tahun 2023, sekitar 60% masyarakat merasa suara mereka tidak didengar dalam pengambilan keputusan politik. Ketidakpuasan ini memunculkan pertanyaan: sejauh mana kita dapat menyebut diri kita sebagai negara demokratis jika rakyat tidak memiliki akses nyata terhadap proses politik?
Rakyat sering kali menjadi "tuanku" hanya pada saat pemilu. Setelah itu, politisi sering kali lebih fokus pada kepentingan pribadi atau golongan, bukan pada kebutuhan rakyat. Ini menciptakan jarak antara penguasa dan yang diperintah, yang berpotensi memicu ketidakstabilan politik.
Politik Praktis
Politik praktis di Indonesia sering kali diwarnai dengan pragmatisme dan kepentingan jangka pendek. Politisi sering kali lebih mengutamakan strategi untuk meraih kekuasaan, bukan visi jangka panjang untuk kemajuan bangsa. Hal ini terlihat jelas dalam sikap mereka terhadap isu-isu penting seperti pendidikan dan kesehatan.
Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa alokasi anggaran untuk pendidikan dan kesehatan masih rendah dibandingkan dengan sektor lainnya. Dalam konteks ini, politik praktis mengakibatkan ketidakmampuan pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang berkelanjutan dan berpihak pada rakyat.
Politik Kebangsaan
Politik kebangsaan seharusnya mencerminkan kesatuan dan persatuan seluruh elemen masyarakat. Namun, kenyataannya, politik identitas sering kali mendominasi, di mana partai politik mengedepankan kepentingan kelompok tertentu daripada kepentingan bersama. Fenomena ini diperburuk oleh munculnya radikalisasi di kalangan segmen-segmen tertentu masyarakat.
Data dari Setara Institute menunjukkan bahwa pada tahun 2024, intoleransi dan diskriminasi meningkat 20% dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa politik kebangsaan yang seharusnya menekankan persatuan, justru mengalami kemunduran. Upaya untuk mengedepankan politik inklusif menjadi tantangan tersendiri di tengah maraknya politik identitas.
Demokrasi Tak Bertuan
Demokrasi tak bertuan merujuk pada situasi di mana prinsip-prinsip demokrasi diabaikan atau tidak dilaksanakan dengan baik. Fenomena ini terlihat dari tingginya angka partisipasi pemilih yang menurun, yang mencerminkan apatisme masyarakat terhadap sistem politik. Menurut KPU, partisipasi pemilih pada pemilu 2024 hanya mencapai 65%, terendah dalam dua dekade terakhir.
Keberadaan praktik politik uang dan manipulasi suara semakin menambah kegalauan dalam sistem demokrasi kita. Ketidakpuasan terhadap elit politik yang dianggap korup dan tidak transparan menciptakan jurang pemisah antara masyarakat dan pemerintah, sehingga menghasilkan demokrasi yang lemah dan tidak efektif.
Teror Koruptor
Korupsi merupakan salah satu isu terberat yang dihadapi bangsa ini. Dalam laporan Transparency International, Indonesia menempati posisi 102 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi 2023. Praktik korupsi ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah.
"Teror koruptor" yang terjadi di berbagai lapisan pemerintahan menciptakan rasa ketidakadilan. Masyarakat sering kali merasa bahwa hukum tidak berlaku untuk mereka yang memiliki kekuasaan. Hal ini semakin memperburuk citra politik dan memicu ketidakpuasan yang lebih besar.
Jungkir Balik Hukum
Hukum seharusnya menjadi alat untuk menegakkan keadilan, tetapi sering kali justru berfungsi sebaliknya. Fenomena "jungkir balik hukum" terjadi ketika hukum dipakai sebagai alat untuk kepentingan tertentu, bukan untuk mencapai keadilan. Kasus-kasus besar seperti penuntutan selektif terhadap aktivis atau oposisi politik menjadi contoh nyata dari penyalahgunaan hukum.
Di sisi lain, lembaga peradilan yang seharusnya independen sering kali terpapar oleh pengaruh politik. Menurut data dari Komisi Yudisial, lebih dari 50% hakim mengaku merasa tertekan oleh intervensi pihak luar dalam proses peradilan. Hal ini menunjukkan bahwa hukum tidak lagi menjadi panglima, tetapi justru alat untuk mempertahankan kekuasaan.
Dari berbagai sub-tema yang dibahas, terlihat bahwa kondisi politik di Indonesia pada tahun 2024 menghadapi banyak tantangan. Keterlibatan masyarakat dalam proses politik sangat penting untuk menciptakan sistem yang benar-benar berpihak pada rakyat.
Selain itu, transparansi dan akuntabilitas dalam setiap aspek pemerintahan harus ditingkatkan untuk memerangi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Untuk menciptakan kampung politik yang sehat, semua elemen masyarakat harus berkolaborasi demi kemajuan bersama. Dengan demikian, kita bisa berharap untuk membangun negara yang lebih baik dan lebih demokratis.
***
*) Oleh : Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |