Mendorong Penguatan Peran KPI dalam Pengawasan Konten Media Sosial

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Indonesia adalah bangsa yang memiliki keragaman dan kekayaan warisan budaya , penduduk, dan lanskap platform digital yang berkembang pesat. Dengan semakin populernya pemanfaatan platform media sosial di Indonesia, platform tersebut juga menjadi alat yang vital untuk komunikasi, penyebaran informasi, dan wacana publik.
Oleh karena itu, dengan maraknya media sosial sekaligus juga dihadapkan dengan munculnya berbagai tantangan, termasuk penyebaran informasi hoax, ujaran kebencian, cyber bullying, pornografi, dan konten berbahaya lainnya. Platform ini telah merevolusi cara informasi disebarluaskan, dikonsumsi, dan dibagikan diantara individu. Namun, dengan revolusi ini muncul segudang tantangan, khususnya terkait regulasi konten yang dibagikan di media sosial.
Advertisement
Sebagai respon atas tantangan tersebut, maka perlu banyak dorongan untuk meningkatkan peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak hanya mengawasi program-program siaran televisi dan radio akan tetapi juga melakukan pengawasan terhadap konten-konten media sosial di tanah air. Mengingat program-program di televisi dan radio saat ini telah bertransformasi menjadi konten-konten media sosial bahkan jangkauannya lebih luas.
Konten-konten media sosial tersebut berperan sebagaimana layaknya media mainstream, baik televisi maupun radio, bahkan cetak. Yang semestinya diatur dengan regulasi yang memiliki standar operasional dan etika yang menjadi pedoman bagi masyarakat sebagimana layaknya televisi dan radio.
Isu pengaturan media sosial di Indonesia bukanlah hal baru. KPI adalah lembaga yang bersifat independen yang dibentuk melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran bertujuan mengatur segala hal tentang penyiaran di Indonesia. Lahirnya Undang-undang ini merupakan jawaban tuntutan reformasi termasuk didalamnya reformasi dunia penyiaran yang menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran (Fajriani, 2018: 13).
Selama bertahun-tahun, KPI telah memainkan peran penting dalam memastikan bahwa stasiun TV dan radio mematuhi standar etika, mempromosikan keragaman, dan melindungi hak-hak pemirsa dan pendengar. Namun, dengan munculnya media sosial, yurisdiksi KPI dipertanyakan, karena platform ini beroperasi di luar batas-batas tradisional broadcasting.
Dalam beberapa tahun terakhir, ada beberapa peristiwa besar yang menyoroti perlunya peningkatan regulasi media sosial di Indonesia. Salah satu peristiwa paling signifikan adalah penyebaran berita bohong dan mis-informasi selama Pemilu 2019. Informasi dan propaganda palsu beredar luas di platform media sosial, yang menyebabkan disinformasi dan konflik yang meluas di masyarakat.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang peran media sosial dalam membentuk opini publik dan perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap platform ini. Peristiwa penting lainnya yang mendorong seruan untuk meningkatkan regulasi media sosial di Indonesia adalah maraknya cyberbullying dan pelecehan online.
Peran dan Fungsi KPI dalam Pengawasan Media
Media massa dalam cakupan komunikasi massa yaitu surat kabar, majalah, radio dan televisi (Effendy, 1999:15). Media massa merupakan produk teknologi modern yang selalu berkembang, salah satu media massa yang berkembang saat ini adalah televisi. Televisi berarti suatu sistem penyajian gambar berikut suaranya dari suatu tempat yang berjarak jauh (Sutisno, 1993:1).
Ciri televisi yang menyajikan audio visual ini saat tersedia secara komplek dan berkualitas dalam platform media sosial. Disamping itu, teknologi komunikasi juga membuat produk komunikasi memiliki standarisasi. Standarisasi produk ini merupakan dampak tak terelakkan dari industrialisasi media, mekanisasi, urbanisasi, dan redistribusi pendapatan (Sucahya, 2013: 8).
Lebih lanjut Werner J. Severin & James W. Tankard, Jr, (2011: 373) menjelaskan bahwa kepemilikan yang telah dipegang serta pengendalian media yang dilakukan dapat mempengaruhi isi media dan isi media itu sendiri juga dapat menentukan pengaruh media dalam masyarakat. Kondisi ini menggambarkan pengaruh besar media massa terutama televisi yang saat ini terintegrasi dalam platform digital.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tidak mengatur secara khusus dan tidak memberikan wewenang kepada KPI untuk mengawasi program atau konten media sosial. Oleh karena itu ini perlunya mendorong adanya penguatan atau perluasan kewenangan KPI tidak hanya mengawasi program televisi dan radio.
Namun juga sangat perlu mengawasi program dan konten pada media sosial. Karena media sosial memili konten siaran yang sangat luas dan bebas diakses secara terbuka oleh pihak manapun tanpa batasan-batasan seperti halnya televisi dan radio.
Dalam mendorong KPI untuk memperluas perannya untuk mencakup regulasi media sosial memperjuangkan gagasan peningkatan pengawasan terhadap konten media sosial untuk memastikan sejalan dengan standar etika dan tidak menyebarkan informasi yang salah atau ujaran kebencian.
Menekankan pentingnya, memastikan bahwa platform media sosial bertanggung jawab atas konten yang mereka host. bahwa KPI memiliki kewajiban untuk melindungi publik dari informasi yang merugikan atau menyesatkan dan memperluas pengawasannya ke media sosial merupakan langkah penting dalam mencapai tujuan ini.
Tren Penggunaan Media Sosial
Penggunaan Media sosial di Indonesia berkembang sangat pesat. Reportal merilis,pada tahun 2023 pengguna media sosial adalah total 167 juta. 153 juta adalah pengguna diatas usia 18 tahun atau 79,5 persen dari jumlah populasi yang ada. Pengaruh media sosial dalam pemilu 2024 sangat terasa oleh adanya penyebaran konten-konten politik yang dengan mudah menjadi viral terutama melalui paltform terpopuler saat ini adalah tiktok, Facebook, X, dan Instagram.
Media sosial berpengaruh secara signifikan. Pada Januari 2023 pengguna aktif media sosial di Indonesia menurut We Are Social sebesar 167 juta orang atau 60,4% dari penduduk Indonesia.
TikTok merupakan platform media sosial terpopuler di Indonesia. Pada 2023, Business of Apps melaporkan hasil penelitiannya tentang aplikasi Tiktok adalah aplikasi yang paling banyak diminati untuk diunduh. Platform video pendek yang dikembangkan oleh ByteDance mencatat aplikasi ini telah diunduh 67,4 juta kali.
Indonesia adalah negara dengan peringkat tertinggi kedua dunia sebagai pengguna TikTok terbanyak dengan jumlah mencapai 112,97 juta pengguna. Pada Januari 2024 We Are Social menempatkan Indonesia sebagai negara dengan penyebaran iklan TikTok menjangkau sekitar 126,83 juta viewer.
Dampak Negatif Konten Media Sosial Yang Tidak Terawasi
Pertumbuhan platform media sosial yang pesat telah merevolusi cara kita berkomunikasi, berbagi informasi, dan terlibat dengan dunia di sekitar kita. Namun, lemahnya regulasi dan pengawasan yang efektif terhadap konten media sosial telah menyebabkan munculnya fenomena yang memprihatinkan.
Maraknya platform media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Instagram, telah mengubah cara penyebaran dan konsumsi informasi. Platform ini telah memberi kebebasan berbagi konten, memungkinkan individu dan kelompok dapat dengan mudah menjangkau khalayak luas.
Meskipun hal ini telah membawa banyak perubahan positif, seperti peningkatan konektivitas dan kemampuan untuk memperkuat suara-suara yang terpinggirkan, hal ini juga telah memunculkan menjamurnya konten yang tidak diatur dan berpotensi membahayakan. Dampak negatif dari konten media sosial yang tidak diatur sangat beragam dan berjangkauan luas.
Penyebaran hoax, ujaran kebencian, dan ideologi ekstremis telah berdampak besar pada dinamika masyarakat, proses politik, dan bahkan kesejahteraan individu. Akuntabilitas pada platform media sosial memungkinkan berkembangnya elemen-elemen berbahaya ini, yang dapat berkonsekuensi menghancurkan, seperti hasutan kekerasan, erosi kohesi sosial, pelanggaran etika kemanusiaan dan perusakan institusi demokrasi.
Selain itu, sifat konten media sosial yang tidak diatur dapat pula menyebabkan eksploitasi individu yang rentan, terutama anak-anak dan remaja. Paparan konten yang tidak pantas atau berbahaya, seperti cyberbullying, eksploitasi seksual, dan ekspos standar citra tubuh sensual, dapat berdampak buruk pada kesehatan mental dan kesejahteraan kaum muda.
Perlunya Regulasi yang Ketat Terhadap Media Sosial
Saatnya Indonesia memiliki regulasi mengenai media sosial. Urgensi mengenai pengaturan media sosial dengan regulasi yang jelas dikarenakan eksistensi media sosial semakin meningkat dan mengakar jika dibandingkan dengan pengaruh media massa konvensional sementara sejauh ini tidak ada regulasi yang mengatur penggunaanya. Sedangkan peran media sosial yang semakin besar dalam masyarakat.
Sebagai contoh, iklan yang menjadi andalan pendapatan media konvensional itu merosot tajam selain itu banyaknya bermunculan di akun-akun yang selama ini menjadi sumber informasi seperti pejabat publik dan itu bisa langsung jadi berita. Yang secara otomatis akan mematikan secara perlahan media itu sendiri. Ada satu faktor lagi dimana media sosial semakin menjadi sumber informasi dan konten media sosial dianggap sebagai karya jurnalistik.
Pertama, Keberadaan regulasi ini nantinya untuk melindungi jurnalis yang benar. Yang kedua supaya masyarakat juga tidak terus diracuni oleh produk informasi yang menyesatkan. Keterlibatan KPI dalam bidang ini diperlukan untuk melindungi pengguna dari konten yang berbahaya dan tidak pantas dengan tetap memperhatikan kebebasan berbicara dan berekspresi.
Untuk memastikan bahwa setiap tindakan pengaturan yang diterapkan adil dan efektif. Penting bagi KPI untuk mencapai keseimbangan antara memastikan keselamatan dan kebaikan pengguna.
Keterlibatan KPI dalam regulasi konten di media sosial akan terus berkembang sejalan dengan perubahan tren dan teknologi.
Seiring dengan semakin terintegrasinya platform media sosial ke dalam kehidupan sehari-hari, kebutuhan akan regulasi konten yang efektif semakin meningkat. Penting bagi KPI untuk beradaptasi dengan perubahan ini dan bekerja sama dengan perusahaan media sosial, lembaga pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil untuk memastikan penyebaran konten yang bertanggung jawab.
Jika pembentukan regulasi tidak memungkinkan oleh karena kebutuhan yang mendesak sementara media sosial sangat berkembang pesat, maka solusinya adalah dengan melakukan revisi atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2024 yaitu dengan menambahkan dan memperluas jangkauan tugas dan kewenangan KPI yang hanya melakukan pengawasan kepada televisi dan radio tetapi juga terhadap konten dalam berbagai platform media sosial.
***
*) Oleh : Dr. Ahmad Hudri, MAP., Pemerhati Masalah Sosial Politik Ketua KPU Kota Probolinggo 2014-2019 & 2019-2024.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |