Kopi TIMES

Pendidikan Instan dan Praktik Jual Beli Gelar: Krisis Integritas di Dunia Akademik

Rabu, 16 Oktober 2024 - 13:50 | 65.99k
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Praktik jual beli gelar di Indonesia merupakan salah satu bentuk paling meresahkan dari fenomena pendidikan instan yang merusak integritas dunia akademik. Fenomena ini menunjukkan betapa seriusnya masalah di sektor pendidikan, di mana proses akademis yang panjang dan seharusnya dijalani dengan penuh tanggung jawab diabaikan demi hasil instan berupa gelar akademik. Fenomena ini tidak hanya melibatkan individu yang ingin mendapatkan gelar dengan cepat tanpa proses belajar yang layak, tetapi juga institusi yang secara sengaja menawarkan “paket gelar” dengan imbalan finansial.

Jual beli gelar ini, pada dasarnya, memberikan jalan pintas bagi individu yang ingin mendapatkan pengakuan akademik tanpa melalui proses pendidikan formal. Hal ini sangat berbahaya, karena menciptakan ilusi bahwa gelar akademik bisa dicapai hanya dengan uang, tanpa belajar, riset, atau pengabdian. Data dari Lembaga Anti Korupsi Indonesia (LAKI) menunjukkan bahwa pada tahun 2023, setidaknya ada 12 universitas atau lembaga pendidikan yang diduga terlibat dalam praktik jual beli gelar. Fenomena ini bukan hanya terjadi di perguruan tinggi swasta, tetapi juga mencemari institusi negeri. Kasus terbaru yang terungkap adalah di Sulawesi Selatan pada awal 2024, di mana seorang pejabat daerah ditemukan memiliki gelar doktor dari sebuah universitas abal-abal tanpa pernah mengikuti perkuliahan atau menyelesaikan disertasi.

Advertisement

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Praktik jual beli gelar ini sering kali melibatkan jaringan yang luas dan terselubung, melibatkan agen-agen yang menawarkan jasa melalui media sosial atau iklan daring. Mereka menjual paket gelar mulai dari sarjana hingga doktor dengan harga yang bervariasi, tergantung tingkat dan institusi yang diinginkan. Fenomena ini diperparah dengan lemahnya regulasi dan pengawasan dari pihak berwenang. Di beberapa kasus, institusi-institusi ini bahkan memiliki izin operasi yang sah, namun praktik di baliknya tidak sesuai dengan aturan pendidikan yang berlaku.

Dampak dari fenomena ini sangat merugikan, baik bagi dunia akademis maupun masyarakat luas. Pertama, jual beli gelar merusak makna pendidikan itu sendiri. Gelar akademik seharusnya menjadi tanda pencapaian seseorang yang telah melalui proses pembelajaran, riset, dan pengembangan intelektual. Namun, ketika gelar bisa dibeli, maka nilai dari gelar itu menjadi kosong. Hal ini juga menyebabkan ketidakadilan bagi mereka yang benar-benar berjuang menempuh pendidikan dengan tekun dan disiplin.

Kedua, praktik ini menciptakan masalah serius di dunia kerja. Banyak perusahaan dan instansi pemerintah yang mengandalkan gelar akademik sebagai salah satu syarat rekrutmen atau promosi jabatan. Dengan adanya jual beli gelar, individu yang tidak kompeten bisa saja menduduki posisi penting hanya karena memiliki gelar, meskipun tidak memiliki kapasitas atau keterampilan yang memadai. Ini dapat mengakibatkan penurunan kualitas tenaga kerja, bahkan potensi kerugian besar bagi perusahaan atau institusi yang mempekerjakan mereka.

Kasus terbaru pada awal 2024 juga memperlihatkan betapa masifnya fenomena ini. Sebuah investigasi di Jawa Timur mengungkap bahwa lebih dari 50 orang pejabat pemerintah daerah terlibat dalam pembelian gelar sarjana dan magister dari universitas tidak terakreditasi. Kasus ini kemudian diusut oleh Kemendikbudristek, yang bekerja sama dengan pihak berwenang untuk menutup institusi yang terlibat dan mencabut gelar-gelar palsu yang telah dikeluarkan. Meski demikian, penindakan tegas ini masih belum cukup untuk memberantas fenomena yang sudah mengakar.

Upaya untuk mengatasi praktik jual beli gelar ini memerlukan reformasi besar-besaran dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Pertama, pengawasan dan audit terhadap lembaga pendidikan, baik negeri maupun swasta, harus diperketat. Pendirian universitas harus melalui proses akreditasi yang lebih transparan dan sistematis. Selain itu, pengawasan terhadap program-program studi, termasuk verifikasi terhadap dokumen-dokumen akademik seperti ijazah dan transkrip nilai, harus dilakukan secara rutin.

Di sisi lain, perlu ada peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya proses pendidikan yang berkualitas, bukan sekadar hasil akhir berupa gelar. Tanpa reformasi yang mendasar, praktik instan seperti jual beli gelar akan terus merusak sistem pendidikan Indonesia, menghasilkan lulusan yang tidak kompeten, dan pada akhirnya merusak kualitas sumber daya manusia yang dimiliki negara.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES