Ruang Batin Indonesia di Ujung Pemerintahan Jokowi

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Di banyak ruang publik, baik nyata maupun maya terpampang ragam narasi tentang keberhasilan Presiden Jokowi dalam memimpin Indonesia selama sepuluh tahun sejak 2014 hingga 2024. Konon, untuk mensosialisasikan narasi tersebut menyedot anggaran yang tidak murah.
Pada saat yang sama, narasi “mengadili Jokowi dan penolakan terhadap Gibran” terus menggema mengisi ruang-ruang media sosial. Situasi ini sangat berbeda dengan suasana alih kepemimpinan pada masa presiden-presiden sebelumnya.
Advertisement
Ada semacam anomali atas kepemimpinan Jokowi terutama dalam satu tahun terakhir sebelum masa jabatannya berakhir pada 20 Oktober 2024. Anomali tersebut muncul karena beberapa fakta yang mendegradasi kredibilitas kepemimpinannya.
Coba kita perhatikan, berita viral tentang akun “fufu fafa” yang identik dengan wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka dan private jet yang ditumpangi adiknya, Kaesang Pangarep menjadi tranding topic berminggu-minggu di banyak platform media sosial. Umumnya netizen mencela perbuatan tidak pantas yang dilakukan oleh dua anak presiden Jokowi.
Dua berita itu berkait langsung dengan moralitas dua anak presiden yang mau tidak mau berurusan dengan moralitas dan kredibilitas kepemimpinan Jokowi sebagai presiden. Bahkan lebih jauh dapat bersinggungan dengan kredibilitas kepemimpinan presiden terpilih Prabowo Subianto.
Jauh sebelum itu, kehebohan tentang putusan MK yang menghentikan jalan Kaesang menuju kontestasi pemilukada juga terkait dengan kehendak “politik dinasti” yang banyak ditentang masyarakat hingga berujung kepada aksi massa yang menyerupai gerakan massa 1998. Bahkan, jauh sebelum pilpres digelar pada Februari lalu, kehadiran Gibran Rakabuming Raka menjadi pil pahit dalam kehidupan demokrasi karena ia lahir dari kontroversi penyelenggaraan negara dimana hukum telah menjadi alat kekuasaan.
Perasaan sengkarut itu bahkan sudah mulai terasa ketika genderang ide penambahan jabatan presiden tiga periode ditabuh. Pendeknya, di periode kedua Jokowi memimpin Indonesia, ruang batin Indonesia mulai dibisiki nafsu kekuasaan yang menyebabkan dirinya berseteru dan berpisah dengan ibu kandungnya sendiri: PDIP. Citra presiden Jokowi, sejak menjadi wali kota Solo, Gubernur DKI dan periode awal presiden sebagai “pemimpin sederhana yang merakyat”, tetiba berubah menjadi “penista demokrasi” yang brutal.
Akibatnya, para pendukung dan pengikut setia Jokowi terbelah semakin tajam. Mereka yang datang dari kalangan kampus, seniman, agamawan, aktivis berbalik dan menyesali atas tindakan Jokowi yang merusak tatanan demokrasi. Sedangkan mereka, para relawan yang menikmati jatah politik dan kueh kekuasan tetap membelanya hingga ujung kekuasaannya.
Adapun partai-partai politik, seperti biasanya, mendekat dan menjauh sesuai dengan kebutuhan kondisi partainya. Wabil khusus Partai Gerindra dan presiden terpilih Prabowo Subianto dalam posisi berhati-hati hingga ia dilantik pada 20 Oktober mendatang. Suatu sikap politik yang dapat dipahami dalam nalar umum.
Jokowi Mewarisi apa?
Di ujung kekuasaannya, Jokowi berubah. Ini kesan umum yang dapat disaksikan dalam banyak sikap dan tindakannya. Awal tahun 2014, ia dipandang sebagai “pemimpin merakyat” karena kesederhanaannya yang datang dari rakyat sipil biasa setelah dipimpin oleh karakter militer SBY selama sepuluh tahun. Ia jauh dari kesan “pemimpin elitis” yang dekat dengan oligarki.
Lantas, kesan ini kini menghilang ditelan bumi dan makin identik dengan oligarki terutama dalam pembangunan IKN sebagai proyek besar andalannya. Kebijakannya yang fokus pada ekonomi terutama dalam pembangunan infrastruktur bukan tanpa resiko.
Dua resiko yang telanjang adalah bengkaknya hutang luar negeri hingga ribuan triliun dan rusaknya tatanan demokrasi yang kini segera menjadi pekerjaan rumah paling dekat pemerintahan Prabowo. Bahkan presiden baru, dengan seluruh potensi ekonomi yang ada berani memproyeksikan pertumbuhan ekonomi menembus angka 8 persen di tengah tumpukan hutang luar negeri.
Identifikasi persona Jokowi yang “merakyat dan sederhana” dengan simbolisasi baju putih dan tradisi blusukan ke pasar-pasar tradisional, dalam sisa waktu kepemimpinannya hampir tak berbekas dengan terungkapnya gurita bisnis anak-anaknya dan jalan “politik nepotisme” yang dipilihnya. Jokowi, suka atau tidak suka, terjerumus ke dalam suasana “akhir yang tidak baik”.
Kebijakan ekonomi pembangunan yang bertumpu pada pembangunan infrastruktur, yang semula menjadi trade mark kepemimpinannya, kini dipandang sebelah mata oleh publik. “Nafsu kuasa” yang terus menggurita di hari-hari terakhirnya membuat kemarahan publik menjadi kenyataan. Narasi untuk “mengadili Jokowi” dan “menolak Gibran sebagai wapres” bukan lagi isapan jempol dan menjadi narasi golongan elit tertentu.
Dalam pidatonya di acara Kompas 100 CEO Forum, di Istana Garuda, Ibu Kota Nusantara (IKN), Jumat (11/10/2024), Jokowi kembali mengulangi lebih tegas akan legacy nya dalam membangun sejumlah pembangunan infrastruktur yang salah satu tujuannya adalah membangun global trust. Namun sayangnya, Jokowi gagal menyeimbangkan keinginan global trust antara pembangunan ekonomi di satu sisi dan pembangunan politik demokratik di sisi lain.
Berharap pada Prabowo
Setiap pergantian kepemimpinan, selalu muncul harapan baru. Cita-cita Prabowo untuk membawa Indonesia maju sudah diungkapkan sejak lima belas tahun lalu dalam tiga kali mengikuti pilpres. Kini ia telah menjadi presiden terpilih dengan tantangan yang tidak ringan. Harus diakui secara jujur, presiden Jokowi telah mewariskan “yang baik” dan “yang buruk” sekaligus.
Cita-cita Prabowo untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi 8 persen bukan semudah membalikan telapak tangan di tengah-tengah geo politik dan geo ekonomi dunia yang tidak stabil. Praktek politik dinasti oleh keluarga Jokowi berdampak buruk pada persepsi masyarakat meskipun dalam beberapa kesempatan “dibela” oleh Prabowo. Tetapi publik mengetahui bahwa pembelaan itu cenderung bersifat politis.
Pengalamannya sebagai tentara, pengusaha, dan pengelolaan partai politik, Prabowo diharapkan dapat menjadi pemimpin yang kuat (strong leader) terutama dalam mengatasi isu yang masih terus relevan: KKN. Meskipun, dari waktu ke waktu masalah ini tidak kunjung bisa teratasi karena kompleksitasnya yang akut.
Angan-angan menumbuhkan ekonomi 8 persen akan sama kompleksnya dalam mengatasi isu KKN. Keduanya saling terkait satu sama lain. Pemberantasan korupsi terkait langsung dengan para aktor politik yang “berselingkuh” dengan aneka mega proyek pemerintah. Sementara para elit aktor politik, katakanlah, berada dalam barisan pemerintah berkuasa.
Dari fakta dan logika ini saja kita bingung sendiri: apa bisa? Maka, jika semua janji manis presiden terpilih pada akhirnya belum bisa diwujudkan dalam kurun lima atau sepuluh tahun mendatang, rakyat sudah biasa dan kebal. Dan, setiap terjadi siklus kepemimpinan nasional, rakyat pun juga sudah terbiasa berharap dan terbiasa menerima kenyataan dari harapan yang yang tidak kunjung datang dan mewujud dalam kenyataan.
***
*) Oleh : Abdul Mukti Ro’uf, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |