Kurikulum Merdeka Jenjang PAUD: Mari Bermain Bermakna

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pada suatu hari, rekan mengajar saya mengajak anak-anak di kelompok bermain kami membuat wayang. Kami menyediakan potongan gambar bagian tubuh yang terdiri dari gambar kepala, badan, tangan dan kaki. Anak-anak diminta menempelkan bagian tubuh tersebut di stik es krim hingga membentuk wayang.
Anak-anak juga diberi kesempatan menambahkan warna pada wayang mereka masing-masing. Pada saat itulah, kami mengajukan tanya jawab kepada anak-anak. Kami ngobrol sambil lalu saat mereka mengerjakan tugas pewarnaan wayang tersebut.
Advertisement
Salah satu anak mewarnai bagian rambut wayangnya dengan warna biru. “Ini yang tua dimudain,” katanya saat kami bertanya alasan rambut wayangnya berwarna biru. Kami sempat merasa kebingungan. Jadi, kami pun bertanya lebih lanjut maksud ungkapannya. “Dicat rambutnya,” jelas anak itu. Ternyata anak itu mendengar rencana ibunya yang akan mewarnai ulang rambutnya agar terlihat lebih segar dan muda. Setelah ditelisik lebih jauh, ternyata warna yang diinginkan ibunya adalah warna biru seperti warna yang ditorehkannya di wayang.
Latihan Berpikir Kritis
Peristiwa sederhana yang terjadi di kelas kami itu sangatlah menarik. Anak-anak bebas membubuhkan warna apa saja pada wayang buatan mereka. Tentu saja, kami akan mengajukan pertanyaan pemantik dengan basis: mengapa begini, mengapa begitu?
Dengan membiarkan anak-anak berkreasi sesuai yang diinginkannya, kami berharap imajinasi dan kreativitas anak semakin terasah. Kegiatan belajar dikemas dalam berbagai kegiatan bermain yang bermakna. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan Kurikulum Merdeka yang ingin memberikan sepenuhnya hak anak untuk bisa tumbuh, berkembang, dan memperoleh pendidikan secara tepat.
Kami menyadari dan mendukung gagasan bahwa anak di usia 2—4 tahun tidak perlu dijejali dengan berbagai materi terkait baca, tulis dan berhitung. Pada Kurikulum Merdeka, capaian pembelajaran untuk kelas awal di pendidikan dasar pun telah disusun sedemikian rupa agar selaras dengan PAUD. Hal ini dipertegas dengan tersedianya buku teks yang sudah dikurasi yang menunjukkan bahwa anak-anak di kelas awal pendidikan dasar tidak diharuskan bisa membaca, menulis, dan berhitung.
Kegiatan belajar yang disusun di PAUD lebih menekankan pada kegiatan bermain. Meski tentu saja yang dimaksud adalah bermain yang bermakna. Kegiatan tersebut hakikatnya merupakan aktivitas bermain yang memberikan kesempatan atau ruang bereksplorasi sehingga bermanfaat untuk pengembangan karakter dan kompetensi anak. Melalui kegiatan bermain, pengetahuan dan pemahaman anak dibangun sekaligus anak-anak diberikan pengalaman yang menyenangkan.
Kegiatan belajar yang membebaskan anak mengembangkan imajinasinya juga mendorong kemampuan berpikir kritis mereka. Anak diajak untuk mengidentifikasi permasalahan dan mencari solusi untuk mengatasi persoalan tersebut. Dalam ilustrasi di atas, anak mengidentifikasi bahwa orang tua bisa saja merasa kurang percaya diri dengan penampilannya. Oleh sebab itu, solusi yang ditawarkan adalah mewarnai rambut.
Kegiatan belajar berbasis eksperimen sains juga mendukung perkembangan kemampuan berpikir kritis anak. Melalui kegiatan belajar semacam itu, anak diajak mengamati, bertanya, dan menemukan perbedaan dan persamaan. Pada tahapan lebih lanjut, anak-anak mampu menyimpulkan dan mengungkapkan gagasannya berdasarkan hasil amatannya.
Literasi di PAUD
Dalam kegiatan membuat wayang yang kami lakukan tadi, misalnya, anak-anak dibiarkan mewarnai anggota tubuh wayangnya meski tidak sesuai dengan ‘pakem’ warna yang ada. Mereka boleh mewarnai wajah wayangnya dengan warna merah, misalnya. Anak yang mewarnai wajah wayang menjadi merah menjelaskan bahwa wayangnya sedang marah hingga wajahnya berubah warna menjadi merah.
Jika ditarik lebih jauh, warna wajah pada wayang tradisional kita pun memiliki warna yang berbeda. Warna tersebut melambangkan sifat dari tokoh wayang seperti kemurkaan, dan ketidaksabaran. Wayang yang wajahnya diberi warna merah misalnya pada tokoh Duryudana, Dursasana, dan Aswatama.
Diskusi di kelas bisa berlanjut dengan penjelasan tentang karakter tokoh pewayangan. Apalagi jika anak pernah melihat pertunjukan wayang atau sendratari seperti sendratari Ramayana yang dilakukan di Candi Prambanan. Kebetulan salah satu anak di kelas kami pernah menonton sendratari tersebut. Ia kerap menceritakan potongan adegan atau tokoh dalam sendratari tersebut. Hal ini tidak hanya memperkaya pengetahuan guru dan teman sekelasnya saja, tapi sekaligus mendorong kemampuan anak dalam bercerita dan mengembangkan rasa ingin tahu.
Jika diperhatikan, kegiatan di atas merupakan kegiatan literasi budaya yang bisa dilakukan secara tidak langsung. Jika kurang menguasai bidang ini atau tidak memiliki pengetahuan yang cukup, guru bisa mengajak anak-anak menonton video. Diskusi bisa dilanjutkan berdasarkan video yang ditontonnya. Pemanfaatan teknologi ini berdampak pada peningkatan literasi digital anak. Banyak aspek bisa digali dan berdampak pada pertambahan pengetahuan siswa dengan cara yang menyenangkan, tidak melalui kegiatan belajar yang kaku dan monoton.
Karakteristik Kurikulum Merdeka
Uraian kegiatan di atas sebenarnya menunjukkan karakteristik Kurikulum Merdeka yang digagas oleh Kemdikbudristek yaitu pelaksanaan pembelajaran yang fleksibel. Kurikulum Merdeka memberikan keleluasaan kepada guru untuk melakukan pembelajaran yang sesuai dengan tahap capaian dan perkembangan masing-masing peserta didik dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal.
Kurikulum Merdeka di PAUD juga memberi berfokus pada materi esensial. Dengan kegiatan belajar yang fokus pada meteri esensial berdampak pada waktu yang cukup untuk pembelajaran mendalam terhadap kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi. Guru tidak perlu terburu-buru. Akibatnya, anak akan merasa lebih senang saat belajar. Sumber belajar dimaksimalkan dari sumber belajar nyata lingkungan sekitar. Sekolah dapat mendukung kegiatan belajar dengan menyiapkan buku bacaan anak dan dukungan teknologi yang memadai.
Karakteristik Kurikulum Merdeka jenjang PAUD selanjutnya adalah pembelajaran berbasis projek sebagai sarana pengembangan soft skills dan karakter sesuai profil pelajar Pancasila. Kegiatan pembelajaran semacam ini memberikan kesempatan lebih luas kepada peserta didik untuk secara aktif mengeksplorasi isu-isu actual, misalnya isu lingkungan, kesehatan, dan lainnya untuk mendukung pengembangan karakter dan kompetensi Profil Pelajar Pancasila yang sesuai dengan tahapan usia mereka.
Karakteristik Kurikulum Merdeka di PAUD selanjutnya adalah fleksibel. Guru lebih luwes dalam melakukan pembelajaran yang terdiferensiasi sesuai dengan kemampuan peserta didik dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal. Dalam ilustrasi di atas, pembelajaran yang kami lakukan bisa terhubung dengan kearifan lokal berupa makna warna merah pada wajah wayang yang dibuat oleh anak.
Lebih Luas dan Berdampak
Kurikulum Merdeka yang memiliki berbagai ide baik tersebut tentunya hanya akan menjadi sekadar wacana saja jika tidak dikaji, diimplementasikan, dievaluasi, dan disebarluaskan. Kurikulum ini sebenarnya memberikan keleluasaan kepada semua pihak yang terlibat untuk melakukan inovasi dan metode pengajaran.
Berbagi pengalaman implementasi pembelajaran yang dilakukan oleh guru/ pendidik menjadi aksi nyata yang perlu didukung. Satuan pendidikan melaporkan perubahan yang sudah dilakukan dan pada kesempatan itulah pihak lain dapat terinspirasi dari praktik yang sudah dilakukan pendidik/ sekolah lain. Dinas Pendidikan tidak hanya berperan mendisiminasikan surat edaran atau informasi penting terkait kurikulum ini saja. Pendampingan yang simultan di berbagai jenjang wilayah menjadi dukungan dan partisipasi aktif yang dapat dan sudah dilakukan.
Orang tua dapat mendukung pembelajaran yang telah dilakukan di sekolah dengan berbagai kegiatan seperti membaca buku bersama dan berdiskusi terkait kegiatan pembelajaran di sekolah. Para mitra dan komunitas guru dapat melakukan pendampingan dan melakukan upaya penguatan gerakan belajar bersama.
Dengan kerja sama yang baik dan sinergi dari berbagai pihak di atas, gagasan baik dalam Kurikulum Merdeka dapat mewujud. Dengan demikian, Indonesia lebih baik tidak lagi menjadi sekadar harapan.[]
***
*) Oleh: Katarina Retno Triwidayati, Penulis, pengajar di sebuah kelompok bermain, tinggal di Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |