Earmarking Pajak Rokok: Solusi atau Problematika?

TIMESINDONESIA, PADANG – Selama ini masyarakat lebih sering mendengar bahwa pajak yang dipungut oleh pemerintah terhadap rakyat digunakan untuk pembiayaan pembangunan negara dan pembayaran gaji PNS. Bukanlah sebuah kekeliruan, namun sedikit orang-orang ketahui bahwa secara spesifik beberapa pajak yang dipungut pemerintah digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang terkait dengan pemungutan pajak itu sendiri.
Hal ini dilakukan bukan tanpa tujuan, sesuai dengan fungsi pajak sebagai regulerend, pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur dan melaksanakan kebijaksanaan pemerintah untuk mencapai suatu tujuan dan mengurangi eksternalitas negatif yang ditimbulkan dari suatu aktivitas ekonomi atau objek yang dipajaki. Lalu apa yang dimaksud dengan eksternalitas negatif?
Advertisement
Eksternalitas negatif merujuk pada dampak buruk yang dihasilkan oleh satu atau serangkaian aktivitas ekonomi. Salah satu contoh yang akan dibahas dalam artikel ini adalah konsumsi rokok. Dampak negatif dari merokok, yang diungkapkan oleh Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di laman Kementerian Kesehatan, mencakup tingginya angka perokok aktif di Indonesia, yang berkontribusi pada masalah kesehatan serius seperti gangguan pernapasan, penyakit jantung, kanker, dan bahkan kematian.
Konsumsi rokok tidak hanya memberikan dampak negatif terhadap perokok aktif, tetapi juga kepada non-perokok yang terpapar asap rokok. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Environmental Protection Agency (EPA) menunjukkan bahwa asap rokok tidak akan hilang dalam jangka waktu berjam-jam; residu asap rokok dapat menempel pada furnitur, karpet, dinding, pakaian, dan area lain yang terpapar.
Meningkatnya angka perokok aktif yang merokok di ruang publik semakin memperburuk situasi ini, terutama bagi balita, bayi, dan ibu hamil yang berada di tempat tersebut. Oleh karena itu, perlunya fasilitas pelayanan publik yang mengatur tata kelola perokok, seperti area khusus merokok di ruang publik, membangun area bebas merokok, sosialisasi dan penegakan hukum untuk perokok yang merokok sambil berkendara, sehingga non-perokok dapat terhindar dari dampak buruk asap rokok.
Menurut Verhoef & Nijkamp (2000), dalam hal ini pemerintah memiliki peran untuk mencegah dan memperbaiki eksternalitas negatif yang diterima oleh masyarakat secara umum. Bersamaan dengan fungsi pajak sebagai regulerend, pemerintah melalui Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 menetapkan sistem earmarking pajak.
Earmarking pajak adalah praktik di mana persentase tertentu dari penerimaan pajak dialokasikan untuk tujuan yang telah ditetapkan pemerintah di awal dan bukan untuk anggaran umum. Sehingga, penggunaan perolehan pajak pajak ini bisa lebih tepat sasaran, efisien dan transparan.
The International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD) dalam International Tax Glossary (2015) mengemukakan bahwa earmarking, yang juga dikenal sebagai appropriated tax atau hypothecated tax, merujuk pada pendapatan pajak yang tidak hanya dialokasikan ke anggaran umum, tetapi juga digunakan untuk membiayai program atau proyek tertentu, seperti pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur. Konsep ini bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana publik, sehingga masyarakat dapat memahami kemana arah penggunaan uang pajak yang mereka bayar.
Penetapan earmarking pajak rokok ini merupakan salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan local taxing power dalam menyediakan fasilitas pelayanan publik khususnya yang terkait dengan dampak negatif dari adanya konsumsi rokok. Berdasarkan Pasal 31 UU nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, penerimaan pajak rokok, baik bagian provinsi maupun kabupaten/kota dialokasikan paling sedikit 50%, untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat.
Sebagaimana tertuang dalam Perpres nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, Pelayanan kesehatan masyarakat dapat berupa pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan smoking area, kegiatan masyarakat berupa sosialisasi tentang bahaya merokok, iklan layanan masyarakat terkait bahaya merokok. Selain itu, penerimaan pajak rokok juga akan dialokasikan pemberantasan peredaran rokok ilegal, penegakan aturan mengenai larangan merokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Earmarking telah banyak diterapkan secara konsisten oleh negara maju dan berkembang, dengan tujuan yang beragam sesuai dengan prioritas masing-masing negara. Sebagai contoh, pemerintah Australia menetapkan earmarking untuk memprioritaskan fasilitas dan pelayanan kesehatan.
Di Amerika Serikat, Pajak alkohol dan rokok dialokasikan untuk pembiayaan program kesehatan masyarakat, termasuk kampanye pengurangan konsumsi dan perawatan bagi masyarakat yang terdampak. Di Swedia, pajak karbon yang dikenakan pada emisi gas rumah kaca dialokasikan untuk mendanai energi terbarukan dan program perlindungan lingkungan, mendukung transisi menuju ekonomi yang berkelanjutan.
Di Indonesia, praktik earmarking telah diterapkan sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam Undang-Undang ini, diatur bahwa sebagian dari pendapatan pajak daerah dialokasikan untuk tujuan tertentu, seperti pembangunan infrastruktur dan layanan publik. Namun, penerapan earmarking ini tidak lepas dari sejumlah catatan dan kritik dari kalangan ekonom dan masyarakat.
Beberapa isu terkait earmarking antara lain pemerintah menjadi rentan terhadap kesulitan dalam membiayai kebutuhan mendesak dari sektor lain. Earmarking dapat menyebabkan anggaran pemerintah menjadi semakin kaku. Dalam situasi tertentu yang memerlukan alokasi dana cepat, pemerintah mungkin kurang responsif dalam memenuhi kebutuhan tersebut akibat keterbatasan yang ditimbulkan oleh sistem earmarking.
Deran (1965) dalam Enoch et al (2003), memberikan kritik atas earmarking berupa: Pertama, earmarking mengganggu pengendalian anggaran yang efektif. Kedua, earmarking mengarah pada mislokasi dana, memberikan kelebihan pendapatan kepada beberapa fungsi tertentu sementara fungsi-fungsi lainnya tidak mendapat dukungan.
Ketiga, earmarking berdampak pada tidak fleksibelnya struktur pendapatan, yang berakibat pada kesulitan legislatif membuat penyesuaian yang tepat ketika kondisi berubah. Keempat, peraturan tentang earmarking seringkali masih tetap berlaku lama setelah ketiadaan kebutuhan atas keberadaan kebijakan tersebut.
Catatan lain terkait penerapan earmarking pajak adalah pelaksanaan tata kelola yang dinilai masih belum optimal. Misalnya, proses pengalokasian dana dinilai masih belum tepat sasaran dan rawan untuk disalahgunakan oleh kepentingan pribadi atau kelompok.
Sebagai contoh, menurut data yang dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada laman website kpk.go.id tahun 2022, terdapat sebanyak 22 gubernur dan 148 Bupati atau Walikota di Indonesia yang tersandung masalah dalam mengelola Earmarking Tax.
Selain itu, terkait alokasi penggunaan dana, beberapa kritik dan kontra terhadap pelayanan fasilitas pelayanan publik seperti smoking area disampaikan beberapa akun pengguna platform thread. Fasilitas smoking area yang disediakan oleh pemerintah dinilai masih belum layak dan jumlah yang tersedia masih belum memadai.
Meskipun demikian, penggunaan earmarking menjadi solusi dan penyelamat pemerintah ketika menghadapi kesulitan pendanaan di bidang kesehatan. Seperti defisit yang dialami BPJS pada tahun 2018, untuk menutup kerugian tersebut, BPJS mendapat suntikan dana sebesar Rp5 triliun. Agar menjadi lebih efektif, Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 143/2023 menetapkan kontribusi pajak rokok untuk program jaminan kesehatan ditetapkan sebesar 37,5% dari realisasi penerimaan pajak rokok.
Banyak permasalahan lainnya yang timbul akibat adanya rokok termasuk permasalahan sosial. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan (2024), prevalensi perokok pada anak sekolah usia 13-15 tahun naik dari 18,3% (2016) naik menjadi 19,2% (2019). Indonesia tengah mengalami fase pertumbuhan perokok aktif dimana mayoritas perokok aktif didominasi oleh anak dan remaja.
Hal ini disebabkan industri produk tembakau yang agresif. Selain itu, saat ini banyak ditemukan orang-orang yang merokok di ruang terbuka seperti pada saat mengendarai motor dan menyetir mobil sehingga abu rokok yang masih menyala dapat membahayakan pengendara lain.
Oleh karena munculnya beragam permasalahan akibat dari rokok baik secara sosial maupun kesehatan, pemerintah memilki tugas penting dalam mencegah dan mengelola konsumsi rokok di tengah masyarakat. Meskipun upaya untuk mengurangi penggunaan rokok sangat penting, sebagai masyarakat kita juga harus menyadari bahwa rokok tidak dapat dihapuskan sepenuhnya.
Untuk itu, pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang komprehensif termasuk kampanye pendidikan yang efektif tentang bahaya merokok, penegakan hukum terhadap iklan rokok, serta peningkatan pajak sebagai langkah untuk menekan konsumsi. Pada akhirnya alokasi earmarking menjadi solusi untuk mengurangi dampak negatif dari rokok, melindungi kesehatan masyarakat dan menciptakan lingkungan yang lebih sehat bagi semua.
Kesimpulannya, meskipun terdapat banyak kritik dan kontroversi terhadap earmarking pajak rokok, penerapan earmarking yang baik dapat memberikan potensi dan manfaat yang besar terhadap masyarakat. Earmarking pajak rokok dapat menjadi perisai andalan untuk mendukung program kesehatan yang krusial.
Agar lebih optimal, penerapannya perlu diimbangi dengan tata kelola yang baik. Tata kelola yang baik dengan penerapan pengendalian internal yang dapat meminimalisir risiko kecurangan, korupsi atau tindakan yang hanya menguntungkan beberapa pihak.
Keberhasilan earmarking pajak ini tentunya memerlukan komitmen bersama baik pemerintah dan masyarakat untuk menanggulangi masalah kesehatan yang diakibatkan oleh konsumsi rokok dan menjamin kualitas hidup yang lebih baik bagi seluruh rakyat. (*)
***
*) Oleh : Fitriyeni Oktavia, SE., M.Ak., Dosen PNS Departemen Akuntansi FEB Unand.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |