Muhammadiyah dan Fatwa Haram Politik Uang Jelang Pilkada

TIMESINDONESIA, LAMONGAN – Politik uang atau vote buying telah menjadi masalah yang mengakar dalam lanskap politik Indonesia, terutama selama pemilihan kepala daerah (Pilkada). Praktik tidak etis dan amoral ini merusak proses demokrasi dan mengikis kepercayaan publik terhadap pemilu, sering kali mempengaruhi hasil dengan cara yang tidak mencerminkan kehendak rakyat.
Toleransi pembelian suara dan korupsi dalam sistem politik dapat menimbulkan konsekuensi jangka panjang yang melemahkan lembaga-lembaga demokrasi dan mengikis kepercayaan publik. Ketika praktik-praktik tidak etis ini dibiarkan terus berlanjut tanpa akuntabilitas hukum atau sosial yang memadai, hal ini akan menciptakan budaya impunitas di mana para pemimpin memprioritaskan keuntungan pribadi atau politik di atas kepentingan publik.
Advertisement
Korupsi dalam pemilu mendistorsi proses demokrasi, sehingga memungkinkan individu yang tidak memenuhi syarat atau hanya mementingkan diri sendiri untuk meraih kekuasaan, seringkali dengan mengorbankan kebutuhan dan kepentingan para pemilih. Seiring berjalannya waktu, hal ini akan melemahkan tata kelola pemerintahan, menghambat keterlibatan masyarakat, dan melanggengkan kesenjangan, karena manfaat jabatan publik dimonopoli oleh segelintir orang yang memanipulasi sistem demi keuntungan mereka sendiri.
Pada akhirnya, kegagalan dalam mengatasi praktik jual-beli suara dan korupsi akan melemahkan fondasi demokrasi, sehingga menyebabkan stagnasi kemajuan masyarakat dan kekecewaan yang meluas di kalangan warga negara.
Dalam beberapa tahun terakhir, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah, telah mengambil sikap tegas terhadap praktik ini dengan mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa politik uang adalah haram (dilarang dalam Islam). Tulisan ini mencoba mengulik dan mempromosikan dasar fatwa Muhammadiyah, dampaknya terhadap politik Indonesia, serta implikasi lebih luas dalam memerangi korupsi dalam sistem pemilu.
Muhammadiyah adalah salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia yang didirikan pada tahun 1912 oleh Ahmad Dahlan. Organisasi ini telah berkembang menjadi gerakan sosial-keagamaan yang sangat berpengaruh dengan jutaan anggota serta jaringan sekolah, rumah sakit, dan universitas yang luas.
Muhammadiyah dikenal dengan pendekatan modernis terhadap Islam, menekankan rasionalitas, pendidikan, dan reformasi sosial. Pengaruhnya meluas tidak hanya dalam masalah agama tetapi juga dalam isu-isu sosial dan politik, menjadikan sikapnya terhadap politik uang sangat signifikan dalam konteks Pilkada.
Salah satu prinsip utama Muhammadiyah adalah pentingnya integritas moral dalam semua aspek kehidupan, termasuk politik. Organisasi ini secara konsisten mendukung pemerintahan yang bersih, langkah-langkah anti-korupsi, dan promosi standar etika baik di sektor publik maupun swasta. Dengan sejarah panjang terlibat dalam diskusi tentang moralitas publik, Muhammadiyah adalah suara kritis dalam upaya melawan politik uang.
Pada tahun 2020, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah mengeluarkan fatwa yang menyatakan politik uang dalam pemilu sebagai haram. Fatwa ini didasarkan pada beberapa prinsip Islam utama, termasuk larangan suap dan korupsi. Politik uang dianggap sebagai bentuk suap (risywah), yang secara tegas dilarang dalam ajaran Islam. Fatwa tersebut juga menggunakan konsep mashlahah (kepentingan umum), menekankan bahwa pemilu harus melayani kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Sebaliknya, politik uang merusak kepentingan publik dengan mempromosikan pemimpin yang mungkin tidak memiliki kualifikasi atau komitmen untuk melayani rakyat, tetapi terpilih karena insentif finansial. Ini merusak esensi demokrasi yang seharusnya mewakili kehendak kolektif rakyat, bukan kepentingan pihak yang memberikan uang paling banyak.
Elemen penting lainnya dari fatwa ini adalah seruan untuk amanah (kepercayaan). Pemimpin dipercayakan untuk memerintah dengan adil dan bijaksana. Pemimpin yang terpilih melalui cara-cara tidak etis seperti politik uang dipandang melanggar kepercayaan ini sejak awal masa jabatannya.
Oleh karena itu, fatwa Muhammadiyah menyerukan baik kepada pemilih maupun calon pemimpin untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kepercayaan dan akuntabilitas, mengingatkan mereka bahwa kepemimpinan bukan hanya posisi politik, tetapi juga tanggung jawab moral dan spiritual.
Meskipun fatwa ini mewakili pernyataan moral keagamaan yang signifikan, dampak praktis dan efektifnya dalam mengekang politik uang dalam Pilkada masih perlu dilihat instrumen-instrumen lain dalam sistem Pilkada. Sistem Pilkada di Indonesia, yang melibatkan pemilihan langsung kepala daerah seperti gubernur, wali kota, dan bupati, sangat rentan terhadap politik uang karena sifatnya yang sangat lokal. Dalam banyak kasus, pemilih di daerah-daerah kecil merasa terpaksa menerima uang atau hadiah sebagai imbalan atas suara mereka karena kesulitan ekonomi atau kurangnya pendidikan politik.
Fatwa Muhammadiyah memberikan narasi tandingan secara religius dan etis terhadap praktik-praktik ini. Bagi umat Islam yang taat, fatwa ini berfungsi sebagai pengingat moral bahwa menerima suap, baik dalam bentuk uang atau hadiah selama pemilu, adalah pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Islam. Hal ini mungkin akan menghalangi beberapa pemilih untuk terlibat dalam politik uang, terutama mereka yang menghormati otoritas Muhammadiyah dalam masalah-masalah agama.
Selain itu, fatwa ini menekan para calon pemimpin politik untuk melakukan kampanye yang lebih bersih. Para calon yang dikaitkan dengan politik uang dapat menghadapi kerusakan reputasi, terutama di komunitas yang memiliki pengaruh Muhammadiyah yang kuat. Namun, mengubah praktik politik yang sudah mendarah daging memerlukan lebih dari sekadar pernyataan moral; diperlukan reformasi sistemik dalam proses pemilu, serta kampanye pendidikan untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya politik uang.
Implikasi Lebih Luas bagi Politik Indonesia
Fatwa terhadap politik uang ini sejalan dengan upaya yang lebih luas di Indonesia untuk memerangi korupsi dalam politik. Indonesia memiliki sejarah panjang korupsi politik, dan meskipun telah ada banyak reformasi dan langkah-langkah anti-korupsi, praktik politik uang tetap menjadi masalah besar. Organisasi seperti Muhammadiyah dapat memainkan peran penting dalam perjuangan ini dengan memanfaatkan otoritas moral mereka untuk mempromosikan pemilu yang lebih bersih.
Selain fatwa, Muhammadiyah juga menyerukan penegakan hukum anti-korupsi yang lebih kuat dan peningkatan partisipasi publik dalam pengawasan pemilu. Ini mencerminkan pengakuan Muhammadiyah bahwa persuasi moral saja tidak cukup untuk menghilangkan politik uang. Langkah-langkah hukum dan kelembagaan sama pentingnya. Keterlibatan Muhammadiyah dalam mempromosikan integritas politik juga dapat menginspirasi organisasi keagamaan dan kelompok masyarakat sipil lainnya untuk mengambil peran yang lebih aktif dalam menangani politik uang dan bentuk-bentuk kecurangan pemilu lainnya.
Secara lebih luas, fatwa ini menunjukkan persimpangan yang signifikan antara agama dan politik di Indonesia. Meskipun Muhammadiyah secara tradisional mempertahankan sikap non-partisan, lebih fokus pada isu-isu sosial dan pendidikan, fatwa ini menandakan keterlibatan lebih langsung dalam etika politik. Ini menunjukkan bahwa organisasi ini bersedia menggunakan otoritas agamanya untuk memengaruhi perilaku politik, terutama dalam hal korupsi dan tata kelola pemerintahan.
Fatwa Muhammadiyah terhadap politik uang dalam Pilkada adalah langkah berani dan diperlukan dalam upaya berkelanjutan untuk mereformasi sistem pemilu di Indonesia. Dengan menyatakan politik uang sebagai haram, Muhammadiyah memanfaatkan otoritas agama dan moralnya untuk menantang praktik yang sudah mengakar kuat dan merusak demokrasi serta kepercayaan publik.
Meskipun fatwa ini sendiri tidak dapat memberantas politik uang, ini merupakan sikap moral penting yang, bila digabungkan dengan reformasi hukum dan pendidikan publik, dapat mengarah pada praktik politik yang lebih etis di Indonesia.
Fatwa ini menyoroti potensi organisasi keagamaan untuk secara positif memengaruhi budaya politik, terutama di negara seperti Indonesia, di mana Islam memainkan peran penting dalam kehidupan publik. Ketika Muhammadiyah terus memperjuangkan pemilu yang bersih, upayanya dapat membuka jalan bagi perubahan sosial yang lebih luas yang menjunjung tinggi nilai-nilai integritas, akuntabilitas, dan pelayanan publik dalam ranah politik.
***
*) Oleh : Anshori, Dosen Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |