Fufufafa, Burner Account, dan Transformasi Panopticon Society
TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Burner Account kaskus, fufufafa, hingga saat ini masih menyita perhatian. Hal ini lantaran tak kunjung ada kepastian terhadap pemilik akun amoral tersebut. Kepemilikan yang dikaitkan dengan Wakil Presiden Terpilih, Gibran Rakabuming Raka, telah dibantah oleh ybs secara langsung. Sedangkan di sisi lain, secara kontradiktif beberapa pakar telematika, semacam Roy Suryo, menegaskan Gibran adalah pemilik akun tersebut.
Akibat adanya sentimen ini, sesuai perhitungan Drone Emprit, persepsi dan asosiasi negatif terhadap Gibran mengalami kenaikan hingga saat ini. Hal ini menandakan bahwa stigma yang dibentuk oleh persepsi kolektif di media sosial sangat berdampak pada kapasitas citra diri seseorang bahkan sekelas anak presiden.
Advertisement
Fufufafa sebagai Burner Account
Di era digitalisasi, semenjak McLuhan meramalkan ‘global village’ dan Baudrillard melanjutkannya sebagai ‘dunia simulasi’, media sosial telah banyak memberikan perubahan signifikan terhadap norma komunal. Boleh dikatakan, konservasi masyarakat terhadap moralitas kian dekadensif dan distorsif.
Lebih jauh, interaksi yang hadir bukan lagi pertemuan tatap muka sosial yang memiliki potensi daya normatif dan konservatif. Akibatnya, dalam lingkup relasional ini, orang menjadi lebih nyaman dengan kehidupan daring yang ‘tersembunyi’ dan sublim. Demikian seringkali ruang simulasi menyembunyikan seseorang dari beban moral.
Realitas baru yang disebut ‘simulakra’ ini menawarkan ‘kehidupan baru’ bagi setiap orang di dalamnya. Foto-foto yang direkonstruksi melalui filter, symbolic value, drama para artis, hingga dialektika politik yang manipulatif, menjadi produk yang laris dinikmati. Dalam konteks hiperrealitas inilah, fufufafa lahir ke dunia virtual.
Bagaimanapun kesamaran pemilik akun fufufafa, menjadi aksioma bagi premis ‘kepalsuan’ yang disampaikan. Sebab pada akhirnya, kita harus sadari bahwa subjek yang ada di dalam ‘dunia simulasi’ seringkali menutupi identitasnya. Dengan alasan inilah, burner account kemudian muncul.
Burner account sendiri secara spesifik merujuk pada sejumlah akun media sosial non-permanen dan memiliki identitas anonim. Tujuannya jelas, sejalan adagium Jawa, “nabok nyilih tangan; tentu saja tangan si anonim. Di satu sisi, pengguna akun burner menyembunyikan informasi pribadi mereka, lantas di sisi lain, mereka melakukan pengungkapan verbalitas yang eksplisit dan sarkas terhadap hal-hal yang cenderung konfliktual.
Sebagai burner account, Fufufafa telah menyita perhatian publik. Bukan hanya subjek Gibran secara atributif sebagai terduga pemilik akun, namun interest netizen juga diorientasikan terhadap berbagai postingan yang dinilai cacat moral. Selain penghinaan terhadap keluarga presiden terpilih, sejumlah unggahan menunjukkan adanya objektivasi seksualitas. Perilaku terakhir inilah yang paling banyak dibahas, sebab bagi netizen, menjadi anomali apabila tindakan ini ternyata benar-benar dilakukan seorang wakil presiden terpilih.
Realitas Masa Lalu Fufufafa, Bukti Transformasi Panopticon Virtual
Tatkala manusia membenamkan diri dalam dunia virtual, dengan perspektif bahwa ‘tak seorang pun tahu siapa aku’, lantas menyajikan beragam tindakan yang ‘gelap’ dan destruktif, semacam penghinaan dan eksploitasi seksual, sangat potensial bahwa ybs tengah memakai burner account. Sebab logika normatif, tak seorang pun di dunia maya akan membawa dirinya pada kegelapan penjara dengan sukarela.
Hal ini juga berlaku pada akun Fufufafa. Kehadiran pemiliknya yang ‘ghaib’ telah menghadirkan spekulasi yang liar dan tak terkendali. Sebagian netizen bahkan berupaya membuktikan keterlibatan Gibran dengan beragam cara. Tindakan ini menjelaskan bagaimana suatu sistem ‘panopticon society’ telah bekerja dalam ruang digital.
Pada dasarnya dalam skema orisinal, panopticon society beresonansi dengan pengawasan terhadap narapidana. Jika dikonkretkan, ini semacam penjara melingkar yang mengelilingi satu menara pengawas besar. Menara ini selalu menyinari semua sel dengan lampu, sehingga seorang penjaga dapat mengawasi setiap narapidana.
Dalam Disciplin and Punish (1995), Foucault lalu merekonstruksi gagasan Jeremy Bentham tentang ‘panopticon’ tersebut, untuk menyampaikan 'dampak utama panopticon yang mendorong narapidana ke dalam keadaan visibilitas yang sadar dan permanen, sehingga menjamin berfungsinya kekuasaan secara otomatis'.
Hari ini, di era media sosial, manusia seperti terjebak dalam situasi yang linier dengan pandangan Foucault tersebut. Bedanya, jika panopticon society bekerja dalam ranah struktur kuasa sosial semacam sekolah, rumah sakit, dan berbagai macam instansi yang memungkinkan adanya ‘efek pengawasan otomatis’, panopticon virtual bekerja dalam bentuk pengawasan dari berbagai akun atau nitizen yang seringkali tak kasat mata.
Demikian, seiring meluasnya jangkauan internet itulah, gagasan unik tentang panoptisisme ini telah berubah. Alih-alih semua warga negara diawasi, kita semua kini dapat menikmati posisi sebagai pengawas sekaligus yang diawasi. Sama seperti konsep penjara asli, kita tidak pernah menyadari kapan orang akan mengawasi kita.
Seolah-olah kita terbenam dalam sorotan yang terus-menerus, diamati, dan dinilai setiap kali kita memposting, mencuit, atau berbagi, Kita menghuni tatapan penonton yang tajam, sehingga tak terelakkan mengatur perilaku kita dengan cara yang bahkan tidak sepenuhnya kita sadari. Tapi di antara semuanya, yang paling celaka, unggahan-unggahan kita akan selalu memiliki jejak digital, yang bagi siapapun bisa menyimpan dan melakukan reuploud di kemudian hari.
Kenyataan inilah yang terjadi pada akun kaskus Fufufafa. Sekalipun unggahan itu dilakukan beberapa tahun lalu, namun yang luput dari pemiliknya ialah bahwa setiap peselancar dapat bergerak untuk mengaksesnya. Netizen masa kini bukan sekadar pengamat sekilas lalu mereka konstan dan kritis tapi sekaligus reaksioner dan ceroboh.
Dengan parameter yang subjektif, mereka menjadi semacam hakim yang mengeksekusi apakah si A benar atau salah. Akhirnya, apabila seseorang pemilik akun luput menyembunyikan identitasnya, padahal ia cukup liar berpendapat, tinggal tunggu waktu seseorang akan menemukan sosoknya.
Burner account Fufufafa saat ini memang masih ambang dan tulisan ini pun bukan hendak memberikan preskriptif terhadap identitas pemiliknya. Namun dari kasus ini, marilah kita belajar, bahwa sekarang panopticon virtual telah hadir di sekitar kita. Kita tidak hanya mengawasi orang lain, tetapi kita juga merawat ketakutan untuk terus-menerus diawasi oleh siapapun.
Akhirnya akun-akun di media sosial akan selalu berada dalam ketegangan, antara menyembunyikan dirinya atau hadir sebagai diri sendiri sembari melakukan penyensoran diri yang terus-menerus. Kita berada di antara rasa takut akan pengawasan orang lain dan kebutuhan untuk mengunggah kehidupan kita di internet. Dalam situasi itu, panopticon virtual menciptakan daya kontrol sekaligus kecemasan terhadap manusia modern.
***
*) Oleh : Angga T. Sanjaya, Dosen Fakultas Sastra, Budaya, dan Komunikasi, UAD.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |