Pertanian Modern di Era Prabowo: Mungkinkah Terwujud di Tengah Keterbatasan?

TIMESINDONESIA, PADANG – Pengembangan pertanian modern menjadi salah satu fokus utama Presiden Prabowo Subianto dalam kabinet barunya. Ia menekankan pentingnya memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan mewujudkan kedaulatan pangan.
Ambisi ini tentu patut diapresiasi, mengingat Indonesia adalah negara agraris yang seharusnya mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Namun, pertanyaannya, seberapa realistis gagasan ini bisa diwujudkan, terutama ketika dihadapkan pada dua tantangan besar: latar belakang pendidikan petani yang rendah dan minimnya regenerasi di sektor pertanian?
Advertisement
Salah satu hambatan utama dalam penerapan teknologi pertanian modern adalah rendahnya tingkat pendidikan mayoritas petani Indonesia. Menurut data BPS, sebagian besar petani Indonesia hanya lulusan sekolah dasar. Dengan latar belakang pendidikan seperti ini, wajar jika adaptasi terhadap teknologi modern menjadi tantangan tersendiri.
Teknologi pertanian modern, seperti penggunaan drone untuk pemantauan lahan, sensor tanah, dan sistem irigasi cerdas, memerlukan pengetahuan dasar tentang teknologi dan kemampuan untuk mengoperasikannya. Bagi petani yang terbiasa dengan cara-cara tradisional, inovasi semacam ini seringkali dianggap terlalu rumit atau tidak relevan dengan kebutuhan mereka sehari-hari. Tanpa pendampingan dan pelatihan yang intensif, program pertanian modern ini berisiko hanya menjadi jargon tanpa implementasi yang nyata di lapangan.
Selain masalah pendidikan, sektor pertanian Indonesia juga menghadapi krisis regenerasi. Generasi muda cenderung menjauhi profesi sebagai petani karena dianggap kurang menguntungkan dan tidak menarik.
Data menunjukkan bahwa rata-rata usia petani di Indonesia semakin tua, sebagian besar berusia di atas 50 tahun. Hal ini menciptakan celah besar dalam penerapan pertanian modern.
Generasi muda yang diharapkan menjadi penggerak utama teknologi pertanian justru memilih profesi lain yang dianggap lebih prestisius dan menjanjikan. Sementara itu, pertanian tetap dipandang sebagai pekerjaan kasar yang tidak memberikan hasil ekonomi yang signifikan. Jika regenerasi petani tidak segera diatasi, sulit membayangkan siapa yang akan menjalankan dan memanfaatkan teknologi pertanian modern di masa depan.
Meskipun tantangan ini terlihat besar, bukan berarti pertanian modern tidak mungkin direalisasikan. Syarat utama agar program ini bisa berjalan adalah dengan memperluas akses pelatihan dan edukasi bagi petani.
Pemerintah harus memastikan bahwa setiap inovasi teknologi didukung dengan program pendampingan yang memadai. Petani perlu mendapatkan pelatihan yang mudah dipahami dan aplikatif agar teknologi benar-benar dapat membantu mereka meningkatkan produktivitas.
Selain itu, pengembangan kurikulum pendidikan formal yang lebih berfokus pada agribisnis dan teknologi pertanian harus diprioritaskan. Sekolah kejuruan dan perguruan tinggi bisa menjadi pusat untuk mencetak petani-petani muda yang melek teknologi dan siap menerapkan pertanian modern. Di sinilah peran penting pemerintah untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang mendukung regenerasi petani.
Untuk menarik minat generasi muda, pertanian harus diperkenalkan sebagai industri yang menjanjikan. Pemasaran hasil pertanian melalui platform digital, konsep smart farming, dan inovasi agritech adalah beberapa cara yang dapat mengubah paradigma bahwa bertani tidak lagi sekadar bekerja di sawah, tetapi merupakan sektor yang menguntungkan dengan potensi besar.
Dengan adanya keterlibatan generasi milenial, harapan untuk menghidupkan kembali sektor pertanian menjadi lebih kuat. Mereka memiliki kelebihan dalam mengakses informasi, mengoperasikan teknologi, dan mengembangkan pasar digital untuk produk pertanian. Namun, tentu saja, langkah ini memerlukan insentif yang jelas dari pemerintah agar pertanian benar-benar dilihat sebagai pilihan karier yang menarik.
Pengembangan pertanian modern sesuai arahan Presiden Prabowo memang merupakan visi yang ideal. Namun, untuk mewujudkannya, kita harus jujur mengakui bahwa latar belakang pendidikan petani yang rendah dan minimnya regenerasi merupakan tantangan besar yang perlu segera diatasi. Tanpa upaya serius untuk memberdayakan petani melalui edukasi dan pelatihan teknologi, serta menarik minat generasi muda, pertanian modern bisa jadi hanya angan-angan.
Namun, dengan langkah-langkah yang tepat dan kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, mimpi pertanian modern bukanlah sesuatu yang mustahil. Teknologi dapat menjadi jawaban untuk meningkatkan produktivitas, tetapi tetap harus didukung oleh sumber daya manusia yang siap mengoperasikannya. Ini adalah tantangan besar yang harus kita hadapi bersama.
***
*) Oleh : Roza Yunita, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Andalas.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |