Kopi TIMES

Pegayaman Merajut Kerukunan antar Umat Beragama

Kamis, 24 Oktober 2024 - 09:18 | 31.86k
Hadi Suyono, Direktur Center for Community Empowerment Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Hadi Suyono, Direktur Center for Community Empowerment Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Berkendara menggunakan sepeda motor sendirian, berangkat dari Denpasar menuju Kampung Muslim Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, menelan waktu selama 2,5 jam. Meski menempuh perjalanan dengan menghabiskan durasi cukup lama, tak terasa capek.  

Kebugaran terjaga saat bepergian ke Pegayaman, karena memperoleh asupan pemandangan indah. Kanan atau kiri jalan yang mulus, disuguhi oleh landscape persawahan khas Bali yang elok. Pada bagian lain, sepanjang pengembaraan ke Pegayaman tampak pegunungan, lembah dan ngarai, tentu saja panorama tersebut sedap dipandang mata. 

Advertisement

Sebelum melanjutkan kunjungan ke Pegayaman. Satu tempat yang tak kalah eksotis disinggahi adalah danau Beratan. Di danau Beratan dapat berhenti sebentar untuk menikmati sajian lingkungan  alam mempesona.

Penjelajahan dilanjutkan kembali. Sebentar kemudian, ternyata sampai di Pegayaman merupakan desa yang dikelilingi oleh perkebunan dan persawahan. Untuk masuk ke Pegayaman, berjarak kurang lebih 1,5 kilo meter dari jalan utama. 

Ketika tiba di perbatasan desa, langsung disambut oleh gapura berhiaskan huruf Arab. Gapura ini bisa digunakan sebagai penanda, Pegayaman merupakan kampung muslim. Ornamen gapura menggunakan huruf Arab menjadi karakteristik tersendiri bagi kampung Pegayaman yang membedakan dengan kampung-kampung sebelah. Kampung di sekitar Pegayaman mempunyai gapura unik, seperti pada umumnya gapura yang menghiasi kampung-kampung lain di Provinsi Bali, secara mayoritas warganya pemeluk Hindu.

Bertandang ke Pegayaman, tempat pertama kali saya tuju adalah balai desa. Kehadiran saya di balai desa, tujuan utamanya memohon ijin pada pemerintah setempat, berkaitan dengan research yang saya lakukan mengenai kehidupan minoritas agama, tetapi memiliki kemampuan menumbuhkan harmoni dengan pemeluk agama mayoritas di masyarakat multikultural. Bersyukur, kehadiran saya diterima dengan hangat oleh sekretaris desa. Perangkat desa ini mewakili kepada desa yang kebetulan tidak  berkantor, karena sedang sakit. 

Setelah mengajukan permohonan ijin. Saya pun berbincang-bincang dengan sekretaris desa, bernama Ketut Hatta Amrullah di ruang kerjanya. Mengobrol dengan dirinya, menjadi tahu mengenai kelebihan yang dimiliki oleh komunitas muslim di Pegayaman sebagai minoritas, namun dapat menjalani kehidupan harmoni dengan warga mayoritas beragama Hindu. 

Penuturan dari lelaki berusia 47 tahun ini, mengenai kemampuan warga Pegayaman terampil merawat kerukunan dengan umat Hindu, merujuk pada pengalamannya yang sejak lahir hingga tumbuh dewasa, selalu tinggal di desa tersebut. 

Pak Hatta membeberkan pengalamannya. Potensi yang dimiliki oleh warga Pegayaman merawat perdamaian dengan umat Hindu, berakar pada metode pendidikan di keluarga, terutama penanaman nilai-nilai yang disemai oleh  orang tuanya. Masih teringat jelas di memori dirinya, orang tua pernah memberikan pemahaman, yaitu meraih keinginan di dunia, jangan di luar batas kemampuan dan jalani hidup apa adanya. 

Prinsip hidup itu menjadi acuan membangun relasi yang diimplementasikan pada kemampuan menyesuaikan diri dengan komunitas mayoritas beragama Hindu. Realisasi dalam perilaku kehidupan sehari-hari, tampak pada kesadaran warga Pegayaman sebagai minoritas banyak memiliki ketidaksamaan dengan warga mayoritas yang tinggal di desa lain. 

Atas dasar keberagaman ini, warga Pegayaman sebagai minoritas sadar diri, dalam merakit hubungan interpersonal maupun sosial perlu menampilkan kesahajaan melalui tutur kata dan perilaku. Warga Pegayaman tak perlu bertindak terlalu menonjolkan diri di luar batas. 

Tindakan warga kampung muslim Pegayaman ternyata berbuah positif. Buktinya adalah kaum muslim Pegayaman bisa hidup rukun dengan mayoritas beragama Hindu. Kerukunan tumbuh baik, tak lepas karena distimulasi kesederhanaan warga Pegayaman yang membuat dirinya mampu mawas diri untuk memagari terhadap segala ucapan dan perbuatan, tidak menyentuh hal-hal bersifat sensitif.

Perilaku tersebut bermanfaat menciptakan rasa nyaman dan teduh bagi warga mayoritas Hindu, saat bekerjasama dengan warga Muslim Pegayaman. Proses interaksi sosial ini, merupakan penyumbang utama membangun harmoni antara warga muslim Pegayaman dengan warga beragama Hindu yang bermukim di desa lain.

Setelah bediskusi dengan Pak Hatta, eksplorasi mengenai kehidupan harmoni antara warga di kampung muslim Pegayaman dengan warga pemeluk Hindu di Buleleng, bertemu dengan Ketut Muhammad Suharto. Tokoh masyarakat ini mendalami secara serius mengenai sejarah, perjuangan, adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan norma-norma yang dilakoni oleh komunitas muslim di Pegayaman. Karena aktivitas ini, Pak Ketut Muhammad Suharto dipandang sebagai  budayawan yang tinggal di Pegayaman.

Salah satu penguat, Pak Ketut Muhammad Suharto sebagai budayawan adalah menulis buku berjudul “Ensiklopedia Desa Muslim Pegayaman Buleleng Bali.” Dia memberikan buku ini pada saya, sebagai kenang-kenangan. Membaca buku yang diterbitkan pada tahun 2023 tersebut, membukakan cakrawala pengetahuan tentang rekam jejak kampung muslim Pegayaman yang dirintis oleh panglingsir merupakan laskar, berasal dari Blambangan berjumlah 100 orang.

Para panglingsir kumpi bukit bisa sampai ke desa Pegayaman ada ceritanya. Waktu itu, I Gusti Anglurah Panji Sakti melakukan ekspansi kekuasaan ke wilayah Blambangan. Ternyata Raja Buleleng ini, berhasil menaklukkan Blambangan. Setelah sukses menguasai Blambangan. I Gusti Angglurah Panji Sakti, kembali lagi ke Buleleng dengan membawa 100 laskar muslim yang bisa disebut panglisir kumpi bukit. Laskar muslim saat berada di Bali, diberikan area seluas 1.548 hektar pada tahun 1647. Dari sini sejarah kampung Pegayaman mulai bersemi. 

Kampung Pegayaman sampai saat ini masih terus tumbuh dan berkembang, berdasarkan karya buku Ketut Muhammad Suharto, berkah dari pondasi yang diletakkan oleh para leluhur merupakan laskar muslim. Mereka para tentara muslim tidak menjalani kehidupan eksklusif, meski diberikan kewenangan oleh raja mengusai suatu wilayah yang bernama Pegayaman. 

Strategi ini menjadi pilihan leluhur, karena menyadari sebagai pendatang yang minoritas. memerlukan kehidupan harmoni dengan warga asli yang mayoritas. Tujuan dari merenda harmoni, agar mereka dapat hidup tentram, jauh dari konflik. 

Cara yang dilakukan oleh perintis untuk  bisa hidup harmoni dengan warga lokal adalah meramu akulturasi. Prakteknya melalui adaptasi pada adat lokal berdasarkan rambu-rambu, sepanjang tidak bertentangan dengan aqidah sebagai seorang muslim.  

Nilai-nilai akulturasi yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti memanggil urutan anak sesuai dengan kebiasaan yang ada di Bali. Anak pertama dipanggil wayan, anak kedua dipanggil nengah, anak ketiga dipanggil nyoman, dan anak keempat disebut ketut. 

Dalam berbahasa juga menggunakan bahasa Bali yang memenuhi standar madya dan halus. Sama halnya dengan sistem pertanian menggunakan kearifan lokal, terutama subak merupakan organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan di Bali untuk bercocok tanam.

Akulturasi itu berhasil ditanamkan dari generasi ke generasi berikutnya. Kemampuan menjaga nilai-nilai akulturasi, menghasilkan kerukunan antara umat Islam dan Hindu di Sukasada, Buleleng Bali, bisa lestari hingga kini.

Kemampuan kaum muslim di Pegayaman mampu menumbuhkan harmoni dengan umat Hindu, layak menjadi model bagi wilayah lain mengupayakan situasi damai pada masyarakat multikultur, terutama keragaman agama. (*)

***

*) Oleh : Hadi Suyono, Direktur Center for Community Empowerment Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES