
TIMESINDONESIA, SIDOARJO – Rollo Reece May, seorang tokoh psikologi eksistensial yang terkenal, pernah meramalkan bahwa teknologi akan membawa generasi muda ke sebuah era di mana mereka dengan mudah menemukan kepastian tentang dunia eksternal. Prediksi ini terdengar meyakinkan pada tahun 1960-an dan seiring berjalannya waktu, menjadi semakin relevan.
Saat ini, berkat kemajuan teknologi, informasi yang tadinya sulit didapatkan bisa diakses hanya dalam hitungan detik. Namun, May juga memperingatkan dampak psikologis dari kemudahan tersebut: kegelisahan.
Advertisement
Menurutnya, ketika semua misteri tentang alam dan dunia eksternal seolah-olah sudah terjawab, generasi muda akan kehilangan keingintahuan alami mereka. Dan lebih dari itu, mereka tidak lagi mampu mendengarkan suara dari dalam diri mereka sendiri.
Realitas ini tampaknya semakin nyata di tengah generasi muda saat ini. Kebanyakan dari mereka tidak lagi tergerak oleh rasa penasaran yang mendalam tentang sains, misteri alam, atau bahkan pertanyaan besar tentang kehidupan. Sebaliknya, dunia mereka sering kali didominasi oleh pencarian kepastian instan dan jawaban cepat melalui teknologi.
Alih-alih merenungkan atau mempertanyakan keberadaan diri, teknologi telah menyediakan "jawaban" yang serba cepat dan praktis. Namun, kehilangan misteri ini membawa konsekuensi besar: hilangnya refleksi mendalam dan ketidakmampuan untuk memahami diri sendiri. Mereka semakin jarang berhenti sejenak untuk mendengarkan apa yang terjadi di dalam diri, lebih memilih untuk mengejar apa yang tampak di luar.
Yang menarik, para pengambil kebijakan tampaknya tidak begitu menyadari atau bahkan mengabaikan fenomena ini. Alih-alih menciptakan ruang untuk introspeksi dan pengembangan diri, kebijakan publik justru cenderung mengarahkan anak muda ke jalur yang semakin mengaburkan kepekaan mereka terhadap suara batin.
Dorongan besar-besaran untuk menjadi content creator adalah salah satu contoh nyata. Di banyak tempat, narasi yang dominan adalah bahwa anak muda harus menjadi kreatif di ranah digital, harus mampu "berbicara" kepada dunia luar melalui platform-platform sosial, tanpa memikirkan apa yang terjadi di dalam diri mereka.
Paradoksnya, dalam era yang seharusnya dipenuhi dengan akses ke ilmu pengetahuan, para pembuat kebijakan kini lebih sering mendengarkan influencer ketimbang mendasarkan keputusan mereka pada temuan-temuan ilmiah. Tom Nichols, dalam bukunya The Death of Expertise, mengungkapkan fenomena ini dengan cukup tajam: semakin banyak keputusan besar dibuat berdasarkan popularitas influencer daripada otoritas keilmuan.
Fenomena ini membawa kita pada siklus sosial yang klasik, sebagaimana sering digambarkan dalam ungkapan "Hard Times Create Strong Men, Strong Men Create Good Times, Good Times Create Weak Men, Weak Men Create Hard Times." Dalam siklus ini, masa-masa sulit memaksa manusia untuk menjadi tangguh, berpikir kritis, dan bersikap mandiri.
Orang-orang yang tangguh kemudian menciptakan masa-masa baik, di mana kehidupan menjadi lebih mudah dan nyaman. Namun, kenyamanan ini sering kali membuat generasi berikutnya menjadi lemah, kehilangan kepekaan terhadap tantangan, dan akhirnya menciptakan masa-masa sulit berikutnya.
Saat ini, kita mungkin berada di titik di mana kenyamanan teknologi dan kepastian instan telah melemahkan sebagian besar generasi muda. Alih-alih menggunakan teknologi untuk memperdalam pengetahuan, banyak yang justru menggunakannya untuk hal-hal yang bersifat superfisial dan sekadar hiburan.
Misteri alam, filsafat, dan ilmu pengetahuan sering kali terpinggirkan oleh tren dan konten viral yang cenderung dangkal. Kegelisahan yang muncul bukan lagi berasal dari tantangan hidup yang nyata, melainkan dari hilangnya makna hidup yang mendalam.
Namun, siklus ini tidak harus menjadi sebuah keniscayaan. Justru di tengah kenyamanan ini, ada peluang besar untuk merefleksikan kembali apa yang penting. Teknologi, jika digunakan dengan bijak, dapat menjadi alat yang luar biasa untuk menggali makna dan memperdalam pengetahuan.
Anak muda masih memiliki potensi besar untuk kembali menghidupkan rasa penasaran mereka terhadap dunia, terhadap diri mereka sendiri, dan terhadap misteri kehidupan yang lebih besar. Tantangannya adalah bagaimana kita, sebagai masyarakat, merancang kebijakan dan pendekatan yang mendorong mereka untuk berpikir lebih mendalam, alih-alih terus-menerus mengejar kepastian instan.
Akhirnya, dunia memang akan terus berputar dalam siklusnya. Namun, dengan kesadaran yang lebih besar, mungkin kita bisa memutus rantai kelemahan ini dan membimbing generasi muda menuju masa depan yang lebih tangguh, kritis, dan penuh makna. (*)
***
*) Oleh : Mochammad Fuad Nadjib, Kepala SMA Islam Sidoarjo, Kepala Madrasah Diniyah Takmiliyah al-Maidah Durungbedug.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |