Kopi TIMES

Tantangan Quarter-Life Crisis Generasi Muda

Kamis, 24 Oktober 2024 - 15:55 | 366.46k
Fx. Wahyu Widiantoro, Staf Pengajar Psikologi UP45
Fx. Wahyu Widiantoro, Staf Pengajar Psikologi UP45
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Generasi muda Indonesia saat ini menghadapi berbagai tantangan kompleks di tengah perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi yang berlangsung dengan cepat. Situasi ini menciptakan tekanan yang signifikan, terutama terkait dengan fenomena quarter-life crisis dan permasalahan kesehatan mental. 

Data menunjukkan bahwa 6,1% penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan kesehatan mental (Kemkes, 2023). Kondisi ini diperparah dengan tingkat pengangguran yang mencapai 4,82% atau 7,2 juta jiwa per Februari 2024, dengan kelompok umur 15-24 tahun menyumbang angka tertinggi sebesar 16,42% (Badan Pusat Statistik, 2024).

Advertisement

Quarter-life crisis, yang kerap kali mewarnai perjalanan kaum muda, membawa kebingungan dan ketidakpastian tentang masa depan. Penelitian Rossi & Mebert (2011) mengamati bahwa tantangan dan hambatan yang dihadapi sering menghasilkan keraguan, ketidakberdayaan, hingga pesimisme pada diri individu dewasa muda. 

Teori Erikson (1968) menerangkan bahwa pada tahap ini, pencarian jati diri acapkali diiringi kebingungan identitas. Wilner dan Robbins (2001) menambahkan bahwa individu dewasa muda menghadapi tantangan besar dalam membuat keputusan terkait karir, keuangan, pengaturan hidup, dan relasi.

Salah satu pemicu utama tekanan mental adalah ekspektasi berlebihan, baik dari diri sendiri maupun lingkungan sosial. Media sosial turut berperan dalam membangun standar kesuksesan yang tidak realistis, ketika keberhasilan seolah harus dicapai secara instan dan dapat "dipamerkan" secara virtual. Fenomena ini menciptakan beban tambahan bagi generasi muda untuk terus membandingkan pencapaian mereka dengan orang lain.

Teori Learned Helplessness yang dikemukakan Seligman (1975) menjelaskan bahwa pengalaman kegagalan berulang dapat menimbulkan perasaan tidak berdaya dan putus asa. Sebagai solusi, praktik Mindfulness terbukti efektif dalam mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan mental (Kabat-Zinn, 2003). 

Pendekatan terapi komprehensif seperti Terapi Kognitif-Perilaku (CBT) dapat membantu mengubah pola pikir dan perilaku yang tidak sehat (Beck, 2011), sementara Terapi Penerimaan dan Komitmen (ACT) mendukung individu dalam menerima pengalaman sulit dan mengambil tindakan bermakna (Hayes et al., 2006).

Keterlibatan penulis sebagai konselor dalam kegiatan World Mental Health Day 2024 yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana menunjukkan bahwa dukungan psikologis memainkan peran krusial dalam membantu kaum muda mengelola berbagai tantangan hidup. 

Kegiatan yang berlangsung pada Minggu, 13 Oktober 2024 dengan tema "Hiduplah dengan Bahagia Tunjukkan Bahwa Kamu Berharga" ini memberikan ruang bagi para peserta untuk mendapatkan pendampingan profesional melalui sesi konseling yang mendalam dan konstruktif. 

Perlu disadari bahwa setiap individu memiliki perjalanan unik dalam mencapai tujuan hidupnya. Kesuksesan yang berkelanjutan justru sering terbangun melalui proses pembelajaran bertahap dan pengembangan potensi diri yang konsisten. Mengubah paradigma tentang kesuksesan dan ekspektasi sosial menjadi langkah krusial dalam menjaga kesehatan mental generasi muda. 

Dengan pemahaman bahwa setiap orang memiliki timing dan jalur berbeda, kita dapat lebih bijak menyikapi tekanan sosial dan ekspektasi berlebihan. Melalui kombinasi kesadaran diri, dukungan sosial yang tepat, dan akses ke layanan kesehatan mental profesional, kecemasan akan masa depan dapat diubah menjadi motivasi untuk pertumbuhan pribadi.

Dalam konteks ini, refleksi diri menjadi komponen esensial dalam perjalanan menuju pemahaman dan penerimaan diri yang lebih dalam. Melalui refleksi yang mendalam, kaum muda dapat mengidentifikasi nilai-nilai pribadi, aspirasi sejati, dan potensi unik yang mereka miliki. 

Proses ini memungkinkan mereka untuk membangun fondasi yang kokoh dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Ketika individu mampu mengenali dan menerima diri apa adanya, mereka dapat lebih bijak dalam menyikapi ekspektasi sosial dan tekanan eksternal.

Pengembangan potensi diri kemudian tidak lagi menjadi beban atau sekadar respons terhadap tuntutan sosial, melainkan manifestasi natural dari rasa syukur dan penghargaan terhadap anugerah yang dimiliki. 

Dengan demikian, perjalanan menuju kedewasaan dan pencapaian tujuan hidup menjadi proses yang lebih bermakna, diwarnai dengan ketulusan dalam mengembangkan diri dan kepercayaan diri dalam menghadapi berbagai kemungkinan masa depan. (*)

***

*) Oleh : Fx. Wahyu Widiantoro, Staf Pengajar Psikologi UP45.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES