TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Fenomena "kotak kosong" dalam Pilkada di Indonesia semakin mengemuka sebagai tanda serius dari masalah mendalam dalam demokrasi kita. Ketika hanya ada satu pasangan calon yang maju dalam pemilihan kepala daerah, pemilih dihadapkan pada pilihan tunggal, memilih calon tersebut atau memberikan suara pada kotak kosong sebagai bentuk penolakan.
Meskipun mekanisme ini pada dasarnya membuka ruang bagi masyarakat untuk menyatakan ketidaksetujuan, tren kotak kosong yang terus berulang di berbagai daerah mengindikasikan bahwa demokrasi kita tengah menghadapi krisis.
Advertisement
Pada Pilkada 2024 mendatang, setidaknya 41 daerah diperkirakan akan menghadapi situasi calon tunggal melawan kotak kosong. Angka ini meningkat dibandingkan Pilkada sebelumnya, di mana pada 2018 ada 16 daerah yang mengalami kotak kosong, dan jumlah ini bertambah menjadi 25 daerah pada tahun 2020.
Pola ini menegaskan bahwa fenomena kotak kosong bukanlah hal sepele atau kasuistik, melainkan telah menjadi masalah struktural dalam sistem demokrasi di Indonesia. Kondisi tersebut juga terbaca dari penurunan indeks demokrasi Indonesia pada tahun 2024. Dimana menurut laporan V-Dem Democracy Index 2024, peringkat Indonesia turun dari posisi 79 ke 87, dengan skor yang menurun dari 0,43 menjadi 0,36.
Demokrasi Tanpa Kompetisi
Salah satu elemen kunci demokrasi adalah adanya kompetisi politik yang sehat. Robert A. Dahl, dalam konsep polyarchy-nya, menyatakan bahwa demokrasi yang fungsional membutuhkan adanya persaingan yang adil di antara berbagai kandidat dan partai politik. Kompetisi ini memungkinkan masyarakat untuk memilih pemimpin yang paling sesuai dengan harapan mereka dan menjadi mekanisme kontrol atas kekuasaan.
Namun, ketika hanya ada satu calon yang maju dalam Pilkada, elemen kompetisi ini hilang. Pemilih dihadapkan pada pilihan yang terbatas dan situasi ini berisiko mengarah pada monopoli kekuasaan baik di tingkat pusat maupun lokal. Di sinilah ancaman oligarki politik muncul, di mana segelintir elit politik atau partai besar mendominasi proses politik tanpa memberi ruang bagi calon alternatif.
Kotak kosong memang menawarkan ilusi pilihan, tetapi sebenarnya tidak memberikan solusi demokratis. Masyarakat yang menolak calon tunggal melalui kotak kosong tidak memiliki kandidat yang dapat mereka dukung sepenuhnya, sehingga ini lebih mencerminkan kekecewaan terhadap sistem daripada partisipasi aktif dalam demokrasi.
Fenomena kotak kosong juga berpengaruh besar pada tingkat partisipasi pemilih. Pilkada dengan calon tunggal cenderung diikuti dengan tingkat partisipasi yang rendah, karena pemilih merasa apatis mereka tidak melihat adanya peluang untuk mempengaruhi hasil pemilu.
Penelitian berbagai lembaga survei menunjukkan bahwa pemilih yang dihadapkan pada situasi kotak kosong cenderung tidak termotivasi untuk menggunakan hak pilihnya. Mereka merasa tidak memiliki wakil yang benar-benar dapat mewakili kepentingan mereka. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menyebabkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi itu sendiri.
Selain itu, kotak kosong sering kali tidak difasilitasi secara setara dalam proses kampanye. Sementara calon tunggal yang didukung oleh koalisi besar partai memiliki akses penuh terhadap sumber daya kampanye.
Pendukung kotak kosong tidak memiliki platform atau dukungan yang memadai untuk menyuarakan pendapat mereka. Ketidakseimbangan ini semakin memperlebar jurang partisipasi antara pemilih dan kandidat serta memperkuat dominasi elit politik lokal.
Salah satu penyebab utama munculnya fenomena kotak kosong adalah terbentuknya koalisi besar partai politik yang mendukung calon tunggal. Dalam beberapa kasus, hampir seluruh partai politik di suatu daerah mendukung satu calon, sehingga tidak ada ruang bagi calon alternatif untuk maju. Calon independen pun sering kali mengalami kesulitan karena persyaratan administratif yang ketat serta biaya politik yang tinggi.
Dinamika politik lokal juga turut berperan dalam memperkuat dominasi calon tunggal. Kandidat petahana atau mereka yang memiliki kedekatan dengan elit politik ditingkat pusat cenderung mendapatkan dukungan dari partai-partai besar, sementara calon alternatif kesulitan mendapatkan dukungan yang memadai. Ini menciptakan situasi di mana kekuasaan politik terkonsentrasi di tangan segelintir elit, tanpa ada mekanisme kompetisi yang sehat untuk menantang mereka.
Konsekuensi Jangka Panjang bagi Demokrasi
Kotak kosong bukan hanya masalah teknis dalam penyelenggaraan Pilkada, tetapi juga membawa konsekuensi jangka panjang bagi kualitas demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang sehat membutuhkan adanya check and balances, di mana kekuasaan eksekutif dan legislatif saling mengawasi dan menyeimbangkan. Namun, ketika calon tunggal terus memenangkan pemilu tanpa adanya kompetisi yang berarti, potensi penyalahgunaan kekuasaan semakin besar.
Untuk mengatasi masalah kotak kosong, diperlukan reformasi yang komprehensif dalam sistem politik dan pemilu di Indonesia. Salah satu solusi yang perlu dipertimbangkan adalah mempermudah persyaratan bagi calon independen untuk maju dalam Pilkada. Hal ini bisa dilakukan dengan menurunkan ambang batas dukungan minimal bagi calon independen serta memberikan insentif bagi partai-partai kecil untuk mengajukan calon alternatif.
Selain itu, partai politik harus memainkan peran yang lebih besar dalam mendorong regenerasi kepemimpinan. Mereka harus mampu memajukan kader-kader potensial untuk berkompetisi dalam kontestasi politik lokal.
Partai politik tidak boleh hanya fokus pada perebutan kekuasaan, tetapi juga harus memastikan bahwa proses demokrasi berjalan inklusif dan kompetitif. Dengan begitu, masyarakat akan memiliki lebih banyak pilihan dalam memilih pemimpin mereka.
Kotak kosong dalam Pilkada merupakan cermin dari masalah struktural dalam demokrasi Indonesia. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa pilihan politik masyarakat sangat terbatas dan cenderung dikendalikan sepenuhnya oleh oligarki politik.
Dalam jangka panjang, fenomena ini dapat melemahkan partisipasi politik masyarakat dan memperkuat dominasi elit politik lokal. Oleh karena itu, reformasi politik dengan tujuan memperkuat kompetisi dan inklusivitas sangat penting untuk memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia.
***
*) Oleh : Surya Darma, Mahasiswa Magister Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |